Hal itu terjadi setelah para sekutu dan pendukung sebelumnya di Barat menjauhkan diri darinya karena krisis pengungsi Rohingya.
Dimulai pada Agustus 2017 dan masih berlangsung hingga kini, ribuan Rohingya telah terbunuh sementara ratusan ribu lainnya telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh karena tindakan keras militer Myanmar.
Sementara itu, Suu Kyi menolak disalahkan atas pembantaian tersebut yang oleh PBB dan pihak lain yang disebut sebagai kemungkinan "genosida".
Kekuatan ketiga dalam hubungan luar negeri Myanmar adalah Jepang, yang melihat bahaya geopolitik yang bergeser di kawasan itu dan dengan demikian tidak mengikuti Barat untuk mengecam Myanmar.
Dari 21 hingga 24 Agustus, Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi melakukan kunjungan ke Papua Nugini, Kamboja, Laos, dan Myanmar untuk memperkuat kehadiran Tokyo di empat negara Asia Tenggara.
Turnya yang berlangsung di tengah pandemi menggarisbawahi pentingnya misinya: untuk melawan pengaruh regional China yang meningkat.
Motegi menjanjikan bantuan teknis kepada Suu Kyi untuk menekan penyebaran Covid-19 serta setuju untuk memfasilitasi perjalanan dengan lebih baik bagi pebisnis dan pelajar antara kedua negara.
Masih harus dilihat apakah janji Motegi kepada Suu Kyi akan cukup untuk mengurangi pengaruh Beijing yang sudah kuat atas Myanmar.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR