Advertorial
Intisari-Online.com - Berkuliah di luar negeri sudah lama jadi harapan Efmundus Kolis.
Tidak heran, pria kelahiran 14 Agustus 1994 ini begitu gigih belajar bahasa Inggris.
Berawal dari semangatnya belajar bahasa, Monndo—begitu ia akrab disapa—juga belajar menghadapi perbedaan kultur dari berinteraksi dengan dua orangtua angkatnya yang asal Belanda.
Dari sana, Monddo juga dapat mempraktikkan bahasa Inggris sambil menjaditour guide bagi foreigner yang hendak ke Raja Ampat.
Keberanian dan tekad Monndo dalam belajar juga kelak mengantarkannya mengikuti pertukaran pemuda ke Australia dan Korea Selatan saat berkuliah pendidikan bahasa Inggris di Universitas Victory, Papua Barat.
Lulus kuliah, ilmunya dibaktikan pada adik-adik di Papua Barat dengan mengajar bahasa Inggris tanpa dipungut biaya.
Monndo semula tinggal di Kaas, salah satu kampung terpencil distrik Beraur, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Orangtuanya petani, sehari-hari mengurusi kebun singkong pisang, dan merica, yang membiayainya bersekolah.
Mimpi berkuliah di luar negeri itu sudah muncul ketika ia sekolah.
Awalnya ia belajar bahasa Inggris otodidak dengan buku untuk pemula yang dibelinya di kota.
Kosa kata yang tidak diketahuinya dilihat di kamus, lalu dibuat jadi kalimat.
Saat SMA itulah ia mulai ikut kegiatan belajar bahasa Inggris yang diadakan di kampus da Vinci Polytechnic Papua International, Sorong, Papua Barat.
Kelas bahasa itu gratis, untuk anak SD-SMA dan umum.
Sepulang sekolah pukul dua, Monndo berangkat untuk ikut belajar. Setiap pukul 3 kelas dimulai, Senin sampai Jumat.
Berjalan kaki
Dari km (kilometer) 20 ke km 24, Monddo berjalan kaki untuk ikut belajar bahasa Inggris, sehingga kerap terlambat.
Ia ceritakanlah kesulitan transportasi ke sana. Rupanya, pengajarnya saat itu—yang merupakan Direktur da Vinci—bilang, mulai besok, Monndo pindah tinggal dengannya.
Rupanya, sang direktur kampus berpikir bahwa walau tempat jauh, datang telat, tapi niat belajar Monndo tetap ada.
Alhasil, pindahlah Monddo untuk tinggal di km 24. Direktur politeknik itu mengangkatnya jadi anak angkat.
Di rumah yang disediakan pemda untuk tenaga pengajar kampus da Vinci itu Monndo belajar disiplin dan giat.
Pagi hari, ia belajar bahasa Inggris. Malam hari, bahasa Belanda.
Jika tak belajar, Monndo membantu membersihkan rumah dan masak.
Seringkali ketika tamu ayahnya datang dari Belanda, Monndo akan diminta jadi tour guide, sekaligus tugas praktik bahasa Inggris.
Momen belajar bahasa Inggris itulah yang sangat penting bagi Monndo. Apalagi kesempatan interaksi dengan orang dari luar negeri begini.
Ia menuturkan, tidak ada yang diskriminatif dan rasis padanya.
Mereka malah memotivasinya terus belajar, terlebih saat tahu Monndo berasa dari keluarga sederhana, namun bisa berbahasa Inggris karena ingin maju dan berkembang.
Baca Juga: Kisah Herayati Anak Tukang Becak yang Lulus S2 Hanya Dalam 10 Bulan, Seperti Ini Kabarnya Sekarang
Biaya kuliah dari honorpemandu wisata
Lulus SMA pada 2013, Monndo pun berencana kuliah jurusan pariwisata di Bali.
Namun, mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarganya, ia pun masuk da Vinci, di jurusan yang sama.
Nasib, beberapa bulan belajar, kampusnya ditutup.
Ayah angkatnya pun harus kembali ke Belanda.
Di waktu yang hampir berbarengan, Gus, seorang Belanda menikah dengan di orang Sorong dan tinggal di Kota Sorong, yang kelak tinggal di rumah itu dan jadi ayah angkat keduanya.
Pada 2015, ia memantapkan diri masuk jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Victory Sorong. Gus lalu mengabari ayah angkatnya.
Monndo berpikir, keputusannya ini sudah disesuaikannya dengan kemampuan keluarganya.
Kendati demikian, ia berjanji pada diri sendiri, keputusannya ini tidak akan menghalanginya mencari pendidikan lebih tinggi lagi kelak di luar negeri.
Seperti ayah angkat sebelumnya, Gus membiayai hidup sehari-hari Monndo selama berkuliah.
Namun untuk biaya kampus, Monndo berusaha mengumpulkan uang sendiri dari menjadi tour guide.
Kali ini tamunya banyak dari kawan-kawan Gus sesama pensiunan marinir Belanda yang hendak pelesir ke Raja Ampat.
“Kurang Rp300-500 ribu, baru saya sampaikan ke beliau,” cerita Monndo.
Pertukaran pemuda
Persentuhan Monndo bertahun tahun dengan bahasa Inggris mengantarkannya sebagai peserta program pertukaran budaya Papua-Australia di Perth pada 2017.
Kegiatan ini hasil kerja sama Sinode GKI di Tanah Papua dan Sinode of Western Australia di Perth.
Tim dari Australia datang ke Jayapura menyeleksi mahasiswa-mahasiswa dari kampus-kampus Kristen.
Calon peserta dites dasar-dasar bahasa Inggris, rencana kegiatan di Australia, dan wawancara.
Monndo terpantik ikut kegiatan ini karena negaranya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari—ajang yang bagus untuknya praktik bahasa.
Monndo menuturkan, dirinya terinspirasi dari banyak generasi papua yang dari kelaurga sederhana, tapi bisa meniti pendidikan tinggi, seperti Billy Mambrasar, salah satu staf khusus milenial Presiden Joko Widodo.
Melihat banyak anak Papua berprestasi belajar ke luar negeri, ia juga ingin naik tingkat lebih tinggi.
Dari 15 yang masuk seleksi awal, luluskan Monndo untuk berangkat ke pertukaran pemuda itu, mewakili mahasiswa Papua dan Papua Barat.
Rektornya memberi restu untuk berkegiatan tiga bulan di Perth, karena turut membawa nama baik kampus.
Sisa tiga bulan di semester tiga berkuliah kemudian dikebutnya belajar di rumah untuk ujian.
Di Perth sendiri, ia mengikuti kelas bahasa Inggris, menjalani program pertukaran budaya, ke gereja, presentasi budaya ke jemaat tentang budaya Papua dan Indonesia secara umum.
Monndo juga menampilkan tarian khas Papua, Pangkur Sagu, lengkap dengan atribut mahkota hingga ukir cat tubuh.
Dengan teman-temannya, Monndo juga berkemah dengan keluarga host-nya selama di Perth.
Selama tinggal dan beraktivitas bersama, tidak ada perlakuan tidak baik yang dijumpainya. Monndo merasa diperlakukan laiknya anak sendiri.
Begitu pun ketika ia terpilih jadi perwakilan di program Pertukaran Pemuda Antar Negara pada 2018.
Kala itu ia intens mengikuti rangkaian roadshow alumni PPAN di kampusnya, hingga mengecek persyaratan.
Dari tes writing, community development, tes psikologi, dan public speaking sesuai tema, loloslah Monndo untuk terbang ke Korea Selatan.
Meski tak berbahasa utama bahasa Inggris, negara ini cukup menarik baginya untuk dieksplor.
Meski kabar soal rasisnya penduduk Korea Selatan sempat didengarnya, waktu itu Monndo merasa tak terprovokasi, kecuali jika nanti dirasakannya sendiri.
Namun setibanya di Korea, rupanya para tim dari Ministry of Gender, Equality, and Family (MOGEF) Korea Selatan, siswa-siswa sekolah, dan anak-anak di youth centers yang dikunjunginya di Seoul, Pyeongchang, dan kota-kota lain tak seperti yang dikabarkan.
Saat tur di masing-masing kota, anak-anak sekolah yang ditemuinya menjawab dengan detail dan ramah semua pertanyaannya dan teman-teman rombongan dari Indonesia.
Dengan teman sepemberangkatannya pun, Monndo cepat karib, meski hanya bersama 9 hari.
“Dari jam 9-5 bergiliran pulang ke kota masing-masing, pada nangis saat pisah,” ujarnya tertawa.
Meneruskan ilmu
Lulus pada 2019, Monndo sendiri sudah satu tahun mengabdikan diri di kursus bahasa Inggris Black Pearl Malamoi, Sorong, Papua Barat.
Kursus hasil kerjasama pemerintah daerah dengan Sinode di Papua dan Australia ini mengajak alumni pertukaran pemuda, termasuk Monndo, untuk mengajar bahasa Inggris pada anak-anak di sejumlah distrik di Papua.
Kesemuanya digratiskan untuk anak-anak yang belajar.
Di cabang Malamoi, anak-anak datang dari pinggiran Sorong, pusat kota, kabupaten, bahkan dari distrik yang berjarak 20 km dari tempat kursus.
Harapannya, lebih banyak lagi anak-anak kecil Papua yang bisa belajar mengikuti jejaknya untuk giat belajar.
Lewat kelas-kelasnya, Monndo dan teman-teman berupaya memberi pemahaman bahwa masalah uang tidak bisa membatasi kita meraih pendidikan.
Selama semangat dan ada impian, pasti bisa—seperti yang dijalani Monndo selama hidupnya hingga kini.
==
Kisah anak-anak Papua yang maju dengan pendidikan selengkapnya dapat dibaca di Majalah Intisari edisi Agustus 2020.