Advertorial

Tak Tahu Covid-19, Tak Tahu Negara yang Ditujunya Juga Sedang Perang, Inilah Kisah para Imigran di Rute Migrasi Paling Berbahaya di Dunia

Ade S

Editor

Intisari-Online.com -Hingga saat ini, setelah hampir setengah tahun dilalui, rasanya sulit menemukan orang yang tak mengetahui virus corona.

Namun, melalui sebuah rute migrasi yang dikenal paling berbahaya di dunia, terungkap sebuah fakta mengejutkan.

Masih banyak manusia dewasa di muka Bumi yang benar-benar tidak tahu bahwa saat ini dunia tengah 'diselimuti kabut' virus corona.

Mereka adalah sejumlah migran yang tiba di Somalia, seperti diceritakan oleagen migrasi AS yang mewawancarai orang-orang di perbatasan di Somalia.

Baca Juga: Covid Hari Ini 26 Juni 2020: Bertambah 3, Kini Ada 11 Gejala Virus Corona, 'Dunia Kini Dalam Fase yang Baru dan Berbahaya'

Sebuah persimpangan jalan di salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia: melintasi Laut Merah dengan penyelundup, melalui Yaman yang dilanda perang dan masuk ke negara-negara Teluk yang kaya.

Pertanyaan untuk migran sederhana. Asal? Tujuan? Mengapa kamu pergi?

Tetapi setelah infeksi pertama dikonfirmasi di Somalia, satu pertanyaan baru ditambahkan: Berapa banyak orang dalam kelompok Anda yang mengetahui coronavirus?

Hasilnya, selama sepekan terakhir,lebih dari setengah - 51% - dari 3.471 orang yang dilacak mengatakan mereka belum pernah mendengar tentang COVID-19.

Baca Juga: Bak Petir di Siang Bolong, Belum Selesai Pandemi Covid-19, Muncul Wabah Listeria dari Jamur Enoki, Sudah Tersebar di 17 Negara Bagian di AS, Intip Penyebab dan Gejalanya

"Pertama kali saya melihat ini, saya juga sangat terkejut," Celeste Sanchez Bean, seorang manajer program dengan agensi AS yang berbasis di ibukota Somalia, Mogadishu, mengatakan kepada The Associated Press.

Temuanini menjadi pengingat mengenai tantangan besar dalam menjangkau semua orang di duniaterkait informasi tentang pandemi, apalagi membuat mereka memakai masker wajah.

Para migran itu seringkali adalah para pemuda dari bagian pedesaan di negara tetangga Ethiopia.

Sebagian besar tidak memiliki pendidikan, dan berasal dari wilayah dengan akses internet rendah, kata Bean.

"Kami telah mewawancarai migran selama bertahun-tahun," katanya.

Dalam wawancara-wawancara sebelumnya, banyak migran bahkan tidak menyadari bahwa sedang terjadi perang di Yaman, negara yang justru sedang mereka tuju.

Mengingat hal itu, "Saya tidak sangat terkejut bahwa tingkat kesadaran akan virus corona masih sangat rendah."

Sebagai gantinya, dia berbesar hati bahwa jumlah mereka yang tidak mengetahui COVID-19 telah menurun selama belasan minggu ketika pertanyaan itu ditanyakan, turun dari 88% dari jumlah awal.

Baca Juga: Walau Ada Ribuan Kasus Covid-19 Setiap Harinya, Indonesia Diprediksi Jadi Negara dengan Pemulihan Ekonomi Tercepat Kedua Setelah China, Bahkan Kalahkan Malaysia

Siapa pun yang tidak mengetahui tentang coronavirus diberikan penjelasan singkat tentang pandemi, termasuk bagaimana virus itu menular dan deskripsi dari gejala dan langkah-langkah pencegahan.

Yang mengkhawatirkan Bean sekarang adalah temuan proyek baru yang memetakan rute migran melalui Somalia, sebuah negara yang tidak stabil akibat konflik selama beberapa dekade, dan menggabungkannya dengan data epidemiologis yang menunjukkan infeksi coronavirus.

“Sangat jelas bagi kami bahwa migran sedang transit di daerah dengan kasus corona sudah terkonformasi,” katanya.

"Ketika Anda memiliki migran dengan tingkat ketidaksadaran seperti itu, dikombinasikan dengan ini ... Saya tidak ingin mengatakan berbahaya, tetapi para migran menempatkan diri mereka dalam risiko."

Para migran juga telah menghadapi stigma di kota-kota seperti Bosaso, tempat kapal yang mengangkut mereka berangkat ke Yaman, karena beberapa penduduk menyalahkan merekasebagai pembawa virus, kata agen migrasi AS.

Sekarang dengan pandemi yang melukai ekonomi lokal, banyak migran tidak dapat menemukan pekerjaan yang memungkinkan mereka menghemat uang untuk perjalanan selanjutnya, kata Bean. "Jadi mereka berjuang lebih dari sebelumnya."

Kurangnya kesadaran tentang COVID-19 tidak terbatas pada migran.

"Saya pernah mendengar sesuatu yang terdengar seperti nama itu, tetapi kami tidak memilikinya di sini," Fatima Moalin, seorang penduduk kota Sakow di Somalia selatan, mengatakan kepada AP ketika dihubungi melalui telepon. "Muslim tidak mungkin mengidap hal seperti itu."

Baca Juga: Ketika Pesta Pernikahan Berujung Petaka, Sang Pengantin Pria Meninggal, 30 Tamu yang Hadir Positif Covid-19, dan 1 Desa di Lockdown

Lainnya di pedesaan Somalia, terutama di daerah-daerah yang dipegang oleh kelompok ekstremis al-Shabab yang terkait al-Qaeda, telah menolak keberadaan virus tersebut.

Pihak berwenang Somalia mengutip akses internet terbatas, kampanye kesadaran terbatas dan bahkan pembatasan ekstremis pada komunikasi dengan dunia luar.

Mereka yang mengetahui kabar tentang virus corona sebagian besar mendapatkannyaberkat siaran radio, dari mulut ke mulut dan pesan yang diputar oleh layanan telepon seluler.

"Perlahan informasinya sudah sampai di sana," kata Bean.

Somalia, dengan salah satu sistem kesehatan terlemah di dunia, kini memiliki lebih dari 2.800 kasus positif virus corona.

Artikel Terkait