Advertorial
Intisari-online.com -Flu spanyol maupun pes bubo telah membunuh antara 100 juta orang di dunia dan separuh populasi Eropa.
Namun rupanya kedua pandemi ini telah mengubah 'bentukan' populasi manusia yang tumbuh di era setelah pandemi.
Bagaimana dengan Covid-19? Akankah generasi mendatang mengalami perubahan yang sama?
Tahun 2008, ahli ekonomi muda bernama Craig Garthwaite mencari para orang sakit yang ia temukan di National Health Interview Survey (NHIS).
Survey itu dilaksanakan tiap tahun oleh biro Sensus Amerika Serikat sejak 1957 silam.
NHIS adalah lembaga tertua yang berusaha untuk melacak kesehatan warga Amerika.
Survey menanyakan para warga apakah mereka memiliki variasi penyakit termasuk diabetes, gangguan ginjal dan beberapa jenis penyakit jantung.
Garthwaite mendapatkan pola aneh, yaitu orang yang lahir antara Oktober 1918 sampai Juni 1919, 60 atau 70 tahun kemudian memiliki diabetes.
Kondisi tersebut dialami oleh orang yang lahir dari ibu yang mendapat penyakit pandemi influenza di awal bulan kehamilan mereka.
Sementara bagi para ibu yang mengidap influenza di akhir kehamilannya akan melahirkan anak yang nantinya mengidap gangguan ginjal.
Sementara yang terserang influenza di tengah kehamilan mereka memiliki generasi mendatang yang sakit jantung.
Penelitian lain tunjukkan konsekuensi lain, yaitu anak-anak yang tumbuh selama pandemi tumbuh menjadi lebih pendek, lebih miskin, mendapat pendidikan saat dewasa dan memiliki disabilitas fisik lebih tinggi daripada yang diharapkan.
Para bayi dan anak-anak yang tumbuh di tengah pandemi sama sekali tidak tahu bayangan hitam yang mengikuti mereka ketika ada pandemi flu tersebut.
Namun mereka adalah bukti hidup fakta mengerikan bahwa pandemi, bahkan yang sudah terlupakan, memiliki dampak panjang yang mengerikan.
Tidak seperti perang, flu adalah marabahaya yang tidak terlihat, karena pada saat itu virus tidak teridentifikasi sampai tahun 1931.
Virus itu sebarkan ketakutan di antara para imigran dan orang asing, serta kemarahan di antara para politikus yang memainkan virus tersebut.
Layaknya perang, influenza dan TBC membunuh lebih banyak pria daripada wanita, mengacaukan rasio gender bertahun-tahun mendatang.
Dapat dikatakan, perubahan mendadak dalam peran gender berhubungan dengan virus.
Kita mungkin tidak dapat menghentikan dampak perang dan flu.
Namun satu hal untuk merangkum semuanya adalah dampak pandemi memiliki kekuatan sebagai "perang untuk hentikan semua perang".
Selanjutnya ada keanehan dalam pandemi Covid-19 ini.
Umumnya, epidemi akan membentuk yang disebut ilmuwan sebagai "kurva bentuk U" yang tunjukkan pola kematian manusia.
Kematian tingkat tinggi akan terjadi pada pasien berumur sangat muda dan sangat tua, sedangkan kematian tingkat yang cukup rendah akan terjadi di antara usia dewasa yang sudah bekerja.
Sehingga epidemi secara simultan menghapus masa lalu dan masa depan suatu negara: menghapus para anak-anak kecil generasi masa depan dan membunuh semua orang tua yang menjadi sumber kebijaksanaan dan pengalaman.
Namun, Covid-19 tidak mengikuti aturan kurva tersebut.
Penyakit ini hanya menargetkan para orang tua.
Hingga akhirnya, cara penanggulangan masing-masing negara tunjukkan bagaimana masyarakat menghargai para orang tua.
Jika kita melihat bagaimana negara-negara mulai tergesa terapkan new normal atau membuka negaranya lagi, dapat dianggap para orang tua justru 'dikorbankan' agar roda ekonomi berputar kembali.
Semoga, pandemi Covid-19 akan berhenti seperti Sars 2003, yang berhenti hanya dengan usaha heroik komunitas dan kerja sama seluruh warga.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini