Advertorial

Kabar Bahagia, Pengobatan Covid-19 Dengan Obat dari WHO Tunjukkan Hasil Menggembirakan, Ini yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Vaksin Covid-19

May N

Penulis

Obat yang ditunjuk oleh WHO untuk diuji di Malaysia tunjukkan hasil menggembirakan, data bisa Anda lihat di sini
Obat yang ditunjuk oleh WHO untuk diuji di Malaysia tunjukkan hasil menggembirakan, data bisa Anda lihat di sini

Intisari-online.com -Beberapa waktu yang lalu beredar kabar jika WHO akan mencoba obat bernama Remdesivir untuk obati Covid-19.

Obat yang diuji di Malaysia tersebut rupanya dikembangkan oleh perusahaan farmasi Gilead Sciences.

Melansir South China Morning Post, ada kabar baik dari perkembangan pengobatan tersebut.

Dua pertiga dari pasien Covid-19 dengan kondisi parah mengalami peningkatan kondisi setelah menerima pengobatan Remdesivir tersebut.

Baca Juga: Temuan Baru Covid-19: Dua Jenis Ras ini Disebut Ahli Punya Risiko Sakit Covid-19 Dengan Parah Menilik Alasan Sosial, Budaya dan Biologis, Asia Salah Satunya

Obat yang awalnya digunakan untuk obati sakit Ebola tersebut memiliki kualitas menangkal virus.

Dalam penelitian dipublikasikan di New England Journal of Medicine Sabtu kemarin, Gilead Science mengatakan pengujian klinis telah dilakukan kepada 53 pasien.

"Kami tidak bisa menggambar kesimpulan pasti dari data ini," ujar Jonathan D Grein, direktur epidemiologi rumah sakit Cedars-Sinai Medical Centre di Los Angeles yang juga pimpinan penelitian ini.

"Namun observasi ini menunjukkan hasil yang membahagiakan."

Baca Juga: 150 Markas Pangkalan Militer Terdampak Gempuran Virus Corona, Pentagon: Jangan Pernah Coba-coba dengan Kami

Gilead Sciences berikan obat tersebut ke negara Amerika Serikat, Eropa dan Kanada serta Jepang.

22 pasien dari Amerika, 22 di Eropa atau Kanada dan 9 di Jepang.

Mereka menerima 200 mg injeksi Remdesivir pada hari pertama, diikuti dengan 100 mg Remdesivir setiap hari selama pengobatan 9 hari.

Peneliti mengatakan selama pertengahan waktu dalam 18 hari, 36 pasien yang harus dibantu pernapasannya telah membaik.

Baca Juga: Ibarat 'Beli Satu Dapat 2' Pria 'Malang' Ini Terpaksa Menjalani Karantina 3 Kali Berturut-turut hingga Jadi Trending Topic di China: 'Saya Dikarantina Lagi'

Termasuk 17 dari 30 pasien yang menerima ventilator.

Selanjutnya, total 25 pasien telah dipulangkan.

Meski begitu, ada tujuh pasien yang meninggal dan satu kondisinya makin memburuk.

Termasuk di antara mereka 6 dari 34 pasien yang menerima ventilator dan 1 dari 19 pasien tanpa ventilator.

Baca Juga: Tetap Waspada, Bukan Tidak Mungkin Indonesia Bisa seperti Amerika dengan Kasus 1.000 Meninggal Per Hari, Peringatan WHO Tak Main-main Perihal Covid-19

Studi tunjukkan 32 pasien laporkan gejala sebagian besar seperti peningkatan enzim hepatik, diare, muncul ruam dan hipotensi (tekanan darah rendah).

Gejala ini lebih umum ada di pasien yang menerima ventilator untuk bernapas.

12 dari mereka mengalami gejala ini ditambah sindrom malfungsi organ, cedera ginjal parah dan hipotensi lagi.

Walaupun menunjukkan hasil menggembirakan, peneliti akui adanya batasan dalam penelitian ini karena jumlah sampel yang sedikit dan waktunya terbilang pendek.

Baca Juga: Negara Mereka Makin Carut Marut Karena Covid-19, Siapa Sangka Hidup Warga Italia Bergantung pada Bantuan Mafia, 'Mereka Lihai Mencari Celah!'

Sampai saat ini remdesivir belum disetujui untuk dijual bebas di negara manapun.

Gilead Sciences sedang lakukan fase penelitian kedua dari tiga fase di area yang jumlah kasus Covid-19 tinggi seperti Amerika, Eropa dan Asia.

Mereka bertujuan untuk mendapatkan jawaban terkait pengobatan ini dalam waktu yang dipendekkan dari 10 hari menjadi 5 hari.

Dalam surat terbuka pada Sabtu, perusahaan sudah mengatakan pengujian klinis telah diluncurkan di seluruh dunia untuk tentukan apakah Remdesivir adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk Covid-19.

Baca Juga: Dulu Sering Dipermalukan, Kekayaan Mantan OB yang Kini Punya 650 Restoran Ini Hampir Saingi Hotman Paris hingga Sukses Bikin 'Pengacara Kondang' Itu Syok

Dua pengujian pertama dilakukan pada awal Februari di 10 rumah sakit di Wuhan.

Eksperimen dilakukan untuk pasien dengan gejala menengah hingga parah.

Perusahaan mengatakan mereka diberitahu bahwa studi pasien dengan gejala parah di China dihentikan karena pendaftaran terhenti.

Percobaan awalnya bertujuan untuk merekrut 452 kasus parah tetapi akhirnya melibatkan lebih dari 200 pasien, kata wakil menteri ilmu pengetahuan dan teknologi China Xu Nanping pada akhir Februari.

Baca Juga: 7 Tahul Lalu Dilepaskan ke Alam Liar, Saat Singa Ini Bertemu Kembali dengan Tuannya Reaksinya Justru Bikin Hati Meleleh

Penelitian ini tidak dapat merekrut pasien yang cukup terutama karena standar skrining yang ketat bahwa pasien yang telah menerima perawatan eksperimental lainnya dalam waktu 30 hari dari waktu mereka disaring akan dikeluarkan dari percobaan.

Hasil tes untuk kasus-kasus moderat di Wuhan diharapkan akan diumumkan pada 27 April.

Lan Ke, pimpinan Laboratorium Virologi Wuhan University mengatakan tingkat kematian Remdesivir lebih rendah daripada tingkat kematian oleh pengobatan HIV Kaletra.

Juga, selisih tingkat kematian dengan yang umum terjadi pada awal wabah ini merebak juga jauh.

Baca Juga: Tak Mau Ikuti Saran Medis, Pasien PDP Covid-19 di Kalimantan Mengamuk, Pecahkan Kaca Rumah Sakit Hingga Ancam Perawat, Akhirnya Begini Nasibnya

Tingkat kematian setelah pengobatan Remdesivir sebesar 13%, sedangkan obat HIV sebesar 22% dan tanpa pengobatan mencapai 17-78%.

Namun, ada peringatan terkait membandingkan tingkat kematian karena ada beberapa faktor yang harus diperhatikan seperti standar berbeda dari peralatan dan pengobatan medis.

Berapa Lama Vaksin Siap Ada di Pasar

Dr Jerome Kim, pimpinan Institut Vaksin Internasional (IVI) dan juga seorang ahli di bidang evaluasi dan pengembangan vaksin, menyebutkan kepada This Week in Asia yang dikutip dari South China Morning Post mengenai berapa lama vaksin akan siap.

Baca Juga: Dokter Spesialis Paru Buka-bukaan Terkait Sulit dan Lamanya Mendapatkan Vaksin Covid-19 serta Kemungkinan Kapan Berakhirnya Wabah

Rata-rata, diperlukan 5-10 tahun untuk sebuah vaksin mencapai persetujuan dan bisa dijual bebas.

Ada tingkat kegagalan lebih dari 90%, yang tunjukkan seberapa menantangnya pengembangan vaksin, bahkan untuk firma multinasional.

Namun selama pandemi, proses ini bisa dipercepat.

Setelah wabah virus Corona pertama kali diumumkan, hanya diperlukan 2 setengah bulan bagi ilmuwan untuk lakukan pengujian vaksin kepada manusia.

Baca Juga: Ucapannya Soal Pandemi Terbukti Benar, Bill Gates Kembali Ramalkan Akan Terjadi Wabah Tiap Berapa Tahun Sekali, Sarankan Hal ini

Normalnya, ada tiga urutan fase pengujian.

Fase pertama adalah uji keamanan yang dilakukan dengan kurang dari 50 orang dan melihat apakah ada respon tubuh kepada vaksin.

Fase kedua melihat respon tubuh terhadap vaksin di dalam populasi yang lebih besar.

Fase ketiga adalah pengujian sebenarnya dari efikasi vaksin dan juga bisa libatkan ribuan relawan.

Baca Juga: Tak Heran Korut Miliki 0 Kasus Virus Corona, Ternyata Kim Jong Un Sudah Ancam Pejabatnya dengan 'Konsekuensi Serius' Jika Negaranya Terinfeksi

Saat pandemi, fase pertama dan kedua bisa dilakukan bersamaan.

Jika produk kandidat vaksin tunjukkan respon imun yang sangat kuat, fase ketiga bisa dimulai sebelum fase kedua selesai.

Ada pro dan kontra dalam memendekkan waktu pengujian vaksin.

Jika dipercepat, akan ada risiko karena normalnya, perlu dijawab terkait pertanyaan sebelum diujikan kepada manusia.

Baca Juga: Tak Seperti di Indonesia, Nasib Jenazah Pasien Covid-19 Justru Dimuliakan Dengan Cara ini di Madinah, Tempat Pemakamannya Pun Istimewa

Untuk Covid-19, masih ada pertanyaan tidak terjawab seperti apakah orang terinfeksi bisa tahan terhadap infeksi kedua; apakah infeksi melawan antibodi atau sel pembunuh atau keduanya; apakah vaksin bisa melindungi hewan dari Covid-19; dan apakah vaksin Covid-19 aman bagi manusia.

Saat krisis ini, tim monitoring pengujian vaksin lakukan review dengan jarak tertentu.

Jika tim temukan bukti vaksin tawarkan proteksi tingkat tinggi, maka pengujian akan dihentikan untuk percepat vaksin untuk disetujui.

Namun, jika tim temukan kondisi merugikan dari vaksin, mereka akan hentikan relawan untuk mendapatkan vaksin tersebut.

Baca Juga: Pada Mulanya Adalah Tato Kalimat Syahadat, Pria yang Diduga Mantan Yakuza Ini Pilih Jadi Mualaf dan Beribadah Sampai Makkah: 'Memang Saya Anak Berandalan'

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini

Artikel Terkait