Advertorial
Intisari-Online.com -Dalam Perang Dunia II para pilot tempur telah dilengkapi parasut untuk persiapan melompat (bail out) dari pesawatnya jika tertembak meriam penangkis serangan udara atau pesawat tempur lawan.
Cara bail out dari pesawat tempur atau pesawat pengebom itu cukup rumit karena pesawat harus tetap terbang stabil meski dalam kondisi rusak, pilot lalu membuka kanopi dan kemudian melompat untuk ‘terjun payung’.
Jika pilotnya dalam kondisi tidak terluka dan pesawat masih bisa terbang stabil sebelum meluncur jatuh, proses bail out umumnya berlangsung lancar.
Tapi jika pilotnya terluka dan pesawat susah untuk terbang stabil, proses bail out butuh perjuangan keras.
Baca juga:Kisah Seorang Tentara yang Berhasil Tumbangkan Pesawat Tempur Jepang Hanya Dengan Pistol Kecil
Pasalnya pilot harus berpacu dengan pesawat yang dalam hitungan menit sedang meluncur jatuh, sementara pilot sendiri harus bisa bail out pada ketinggian tertentu.
Proses bail out dalam pesawat pengebom bahkan berlangsung lebih rumit dan ‘rusuh’ karena yang keluar dan melompat untuk menyelamatkan diri terdiri dari beberapa awak dan harus bergiliran.
Baik pilot pesawat maupun kopilot pesawat pengebom baru bisa melompat pada giliran akhir karena harus bertugas menyetabilkan terbang pesawat yang dalam kondisi rusak.
Maka jika para awak lain seperti operator senjata, operator bom, dan operator navigasi tidak bisa keluar dari pesawat dalam waktu tepat, pilot dan kopilot umumnya akan gugur bersama pesawatnya yang meluncur jatuh.
Baca juga:Agar Tidak Mudah Tertembak Jatuh, Pilot Tempur pun Butuh Kaca Spion di Dalam Kokpit Jet Tempurnya
Pasca PD II, ketika para pilot tempur mulai menggunakan jet tempur proses bail out tetap menggunakan parasut tapi langsung menyatu dengan kursi lontar bertenaga roket.
Proses bail out menggunakan jet tempur berubah istilahnya menjadi eject karena dalam kondisi darurat pilot tinggal menarik tuas untuk eject disusul terbukanya kanopi lalu melesatnya kursi lontar ke udara.
Pilot tempur yang melesat menggunakan kursi lontar pun ketika parasut mengembang, kursi lontarnya masih menyatu dan selanjutnya meluncur ke darat.
Umumnya para pilot jet tempur terpaksa eject karena pesawatnya tertembak rudal musuh dan tidak langsung membunuh pilotnya, karena kehabisan bahan dan kerusakan mesin.
Sebelum pilot memutuskan eject, ia terlebih dahulu melapor ke markas (Air Force Base/AFB) untuk memberitahu posisinya agar bisa mendapat pertolongan dari tim SAR.
Tapi dalam peperangan pilot tempur dilarang memberi tahu posisinya karena jika musuh tahu posisi pilot yang eject , dia akan cepat tertangkap oleh musuh.
Tim pencari biasanya akan menyelamatkan pilot yang eject berdasar pantauan radar dan komunikasi rahasia yang selanjutnya dilakukan oleh pilot.
Dalam situasi perang pilot tempur eject dari pesawat merupakan hal biasa karena AFB memiliki doktrin, lebih baik kehilangan pesawat daripada kehilangan pilot.
Pasalnya pilot yang eject dan bisa diselamatkan masih bisa menerbangkan jet tempur berikutnya untuk bertempur lagi.
Tapi dalam kondisi damai (non perang), saat latihan terbang tempur, ada juga pilot yang terpaksa eject karena pesawatnya mengalami kerusakan mesin, kehabisan bakar, atau pilotnya kehilangan orientasi untuk melakukan pendaratan.
Namun ada juga pilot tempur yang eject dengan alasan yang sebenarnya ‘konyol’ karena secara tiba-tiba diserang rasa gatal yang amat sangat pada bagian tubuh tertentu dan tidak bisa digaruk.
Setiap terbang pilot tempur memang memakai pakaian lengkap (full gear) hampir seperti astronout sehingga mengalamai kesulitan untuk menggaruk bagian tubuhnya yang gatal.
Dalam kondisi didera rasa gatal yang amat sangat itu maka pilot pun terpaksa eject, meski dalam laporannya ke AFB, pilot bersangkutan beralasan karena pesawatnya mengalami kerusakan mesin.