Advertorial

Benarkah Korut Melunak Gara-gara Nuklirnya jadi Senjata Makan Tuan?

Agustinus Winardi
Agustinus Winardi
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

intisari-online.co

Intisari-Online.com -Jumat (27/4/2018) untuk pertama kalinya seorang pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong Un melintasi garis demarkasi yang sejak tahun 1953 belum pernah dilewati oleh para pemimpin Korut.

Kim Jong Un yang melintasi garus demarkasi seorang diri lalu disambut oleh Presiden Korsel Moon Jae-in telah menjadi peristiwa luar biasa dan menjadi perhatian dunia internasional.

Kedua pemimpin yang bersalaman dan bahkan bergandengan tangan tampak seperti dua saudara yang merindukan pertemuan. Kim Jong Un sendiri tampak santai, banyak senyum, dan sama sekali tidak mencerminkan pemimpin otoriter yang haus kekuasaan.

Kehadiran Kim Jong Un bersama para stafnya disambut disambut dengan upacara adat dan tradisi Korea sebagi simbol betapa kuatnya keinginan kedua Korea untuk bersatu kembali.

Baca juga:Ancaman Serangan Nuklir Korut Masih Membayangi, Trump Kini ‘Diserang’ Janda Pasukan Baret Hijau

Tapi kehadiran Kim Jong Un yang sama sekali tidak mencerminkan rasa permusuhan itu ternyata masih dicermati oleh para pengamat politik dari Korsel, China, dan AS sebagai 'tindakan pura-pura' terkait program nuklir Korut yang mungkin saja akan berlanjut setelah pertemuan dengan pihak Korsel.

Pasalnya program nuklir Korut akan dinyatakan berhenti bukan karena Kim Jong Un tidak ingin memiliki nuklir lagi melainkan disebabkan oleh fasilitas uji ledak nuklirnya yang sedang rusak dan belum ada dana untuk memperbaikinya.

Korut yang sebelumnya sangat ingin memiliki senjata nuklir sebenarnya telah melakukan beberapa kali ‘serangan’ menggunakan bom nuklir ke wilayahnya sendiri.

Baca juga:Hargai Korut Bekukan Program Nuklirnya, Korsel Matikan Speaker Propaganda Raksasa yang Suka Bikin ‘Stress’ Kim Jong Un

Di era Kim Jong Un yang berkuasa sejak tahun 2011, Korut sedikitnya telah melakukan uji coba ledakan nuklir di kawasan Punggye-ri sebanyak enam kali sehingga getarannya bisa dirasakan sampai di China.

Punggye-ri merupakan pegunungan dan lokasi uji ledakan nuklir di bawah tanah itu bisa menciptakan gempa tektonik dan sangat membahayakan lingkungan alam sekitar.

Pasalnya unsur radioaktif hasil ledakan yang kemudian tersimpan di bawah tanah bisa mencul ke permukaan ketika mengalami kebocoran.

Para ahli geologi China, sesuai diberitakan media South China Morning Pos (Kamis/26/4/2018) bahkan sudah mengamati dan menyimpulkan lokasi uji ledakan nuklir di Punggye-ri telah runtuh dan debu radioaktifnya mulai muncul ke permukaan tanah.

Baca juga:Rakyat Korut-Korsel Senang Kim Jong Un Akan Hentikan Program Nuklir, Tapi Jepang dan AS Malah Ketar-Ketir

Diduga lokasi uji ledakan nuklir Punggye-ri mengalami keruntuhan setelah digunakan melakukan tes ledakan nuklir pada September 2017..

Dengan kerusakan seperti itu maka yang terjadi sesungguhnya adalah senjata makan tuan.

Pasalnya Korut ternyata mengalami kerugian yang sangat besar akibat ‘serangan’ nuklir yang dilakukan oleh Korut sendiri.

Untuk membangun fasilitas uji ledakan nuklir yang baru, Korut jelas membutuhkan biaya yang sangat besar.

Baca juga:Sebelum Olimpiade Musim Dingin di Korsel Diteror Virus, Mantan Agen Korut Sudah Pernah Beri Peringatan Keras

Apalagi Korut juga sedang mengalami kesulitan keuangan setelah diembargo ekonomi oleh PBB sejak bulan Agustus 2017.

Maka sebelum memiliki dana untuk membangun fasilitas uji ledak nuklir, Korut memilih menghentikan programn nuklir dan juga uji peluncuran rudal balistiknya.

Dalam kondisi sedang ‘bokek’ itu, Kim Jong Un ternyata bisa memanfaatkan peluang karena pada saat yang sama baik Korsel maupun AS sedang berupaya melakukan perudingan damai dengan Korut.

Kim Jong Un memanfaatkan momen itu untuk melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi dengan Korut dan AS guna membahas penghentian program nuklir Korut serta penyelesaian Perang Korea yang secara teknis masih berlangsung.

Jika perundingan itu memang berakhir dengan keputusan Korut untuk menghentikan program nuklirnya sekaligus mengakhiri Perang Korea memang sangat ideal.

Meski Korsel dan AS harus keluar banyak uang demi membantu keuangan ekonomi Korut, hasil KTT bisa dianggap sepadan.

Pasalnya situasi Semenanjung Korea jadi makin damai dan baik Presiden Korsel Moon Jae-in maupun Presiden AS Donald Trump, pamornya juga akan makin cemerlang.

Namun jika setelah mendapat dana Korut ternyata melanjutkan program nuklir lagi, seperti para pendahulu Korut juga melanjutkan program nuklir setelah mendapatkan bantuan keuangan, AS dan Korsel bisa dikatakan ‘lagi-lagi kena kibul’.

Padahal nuklir yang diledakkan di Korut untuk diuji coba dan menciptakan malapetaka adalah karena ulahnya sendiri.

Tapi yang harus ‘membayar’ ternyata AS dan Korsel.

Artikel Terkait