Advertorial

Italia Darurat Covid-19 Padahal Fasilitas Kesehatan Sudah Gratis di Negara itu, Ventilator Terbatas Sampai Pendeta Lansia ini Meninggal Dunia Setelah Berikan Ventilatornya untuk Anak Muda ini

May N

Editor

Intisari-online.com -Italia kini tengah hadapi pandemi Covid-19 lebih parah dibanding negara-negara lain.

Seorang pendeta di Italia meninggal dunia setelah ia menyerahkan ventilatornya kepada pasien lain yang lebih muda, ungkap media lokal yang dilansir USA Today.

Don Giuseppe Berardelli (72) merupakan kepala pendeta di Casnigo, kota di bagian utara Italia berjarak 50 mil dari Milan.

Menurut portal berita Prima Bergamo, Berardelli meninggal dunia antara tanggal 15-16 Maret 2020.

Baca Juga: Anak ini Ceritakan Kisah Pilu Kronologi Ayahnya yang Dokter Meninggal Dunia Karena Terpapar Virus Corona: 'Keluarga Bahkan Ga Lihat Wajah Papaku Sejak Papaku Masuk Isolasi'

Ia dirawat di rumah sakit di Lovere.

Petugas medis berkata pada media lokal Araberara bahwa Berardelli dibelikan ventilator oleh anggota jemaah gerejanya.

Namun Berardelli menolak menggunakannya dan memberikan ventilator itu pada pasien lain yang lebih muda.

Karena adanya lockdown, maka tidak ada upacara pemakaman untuk Berardelli.

Baca Juga: Ilmuwan Ungkap Skenario Terbaik Musnahkan Virus Corona dari Muka Bumi Ini, Hingga Hilang Tak Tersisa, Bagaimana Caranya?

Namun, orang-orang di kotanya bertepuk tangan ramai-ramai dari balkon mereka.

Terbatasnya ventilator di Italia menjadi masalah serius.

Dokter bahkan harus memilih pasien mana yang harus mereka selamatkan.

Diberitakan Tribunnews sebelumnya, seorang dokter asal Israel yang kini bekerja di rumah sakit Italia berkata staf medis tak lagi bisa memberikan ventilator kepada pasien yang berusia 60 tahun ke atas.

Dr Gal Peleg, yang bekerja di Parma, berkata mesin pernapasan buatan itu begitu terbatas sehingga penggunaannya harus dibatasi.

Baca Juga: Tetap Bertahan Jadi Garda Terdepan Lawan Covid-19 Meski Sempat Ditentang Keluarga, Seorang Petugas Medis Ungkap Alasannya, Membuat Hati Bergetar!

Dr Peleg mengatakan departemennya memastikan pasien virus corona yang sakit parah bisa mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya meskipun ada aturan karantina yang ketat, N12 mengabarkan via Daily Mail (22/3/2020).

Pada hari Minggu (22/3/2020) para menteri di Roma memutuskan untuk me-lockdown negeri, serta memerintahkan semua bisnis yang tidak penting di negara itu ditutup.

Tetapi meskipun Italia telah mengimbau social distancing, jumlah pasien meninggal dunia Sabtu (21/3/2020) bertambah 739 kasus menjadi 4.825 secara nasional, menandai hari paling mematikan bagi sebuah negara dalam pandemi global sejauh ini.

Belajar dari Kasus Corona di Italia: Isolasi, Social Distancing Memang Perlu Dilakukan Lebih Awal

Baca Juga: Sungguh Berat, Ditentang Keluarga untuk Jadi Garda Terdepan, Tenaga Kesehatan ini Sebut Ikhlas Bertugas di Ruang Isolasi Covid-19

Tragedi yang terjadi di Italia; penularan super cepat dengan angka kematian yang tinggi, dijadikan sebagai peringatan dan pelajaran bagi tetangga Eropa dan Amerika Serikat, di mana virus datang dengan kecepatan yang sama.

Dari apa yang terjadi di Italia, langkah-langkah untuk mengisolasi daerah yang terkena dampak dan membatasi pergerakan populasi yang lebih luas perlu diambil lebih awal, diberlakukan dengan kejelasan dan ditegakkan dengan ketat.

Upaya Italia menahan penularan virus corona, dengan mengisolasi kota-kota terlebih dahulu, kemudian wilayah, kemudian seluruh negara, nyatanya masih kalah cepat dengan penyebaran virus.

"Sekarang kita sedang mengejar," ujar Sandra Zampa, sekretaris di bawah Kementerian Kesehatan, yang mengatakan Italia melakukan yang terbaik.

Baca Juga: Anaknya Dibiarkan Menjadi 'Zombie Pemakan Daging Manusia', Sang Ibu Kemudian Mengungkap Sebuah Kisah yang Sangat Menyentuh Dibaliknya

"Kami ditutup secara bertahap, seperti yang dilakukan Eropa; Prancis, Spanyol, Jerman. AS juga melakukan hal yang sama."

"Setiap kali ada yang ditutup, orang-orang menyerahkan sedikit kehidupan normalnya."

"Karena virus ini tidak memungkinkan kita hidup normal."

Pemerintah di luar Italia sekarang terancam mengikuti jalan yang sama, mengulangi kesalahan yang sudah terjadi dan mengundang bencana serupa.

Baca Juga: Keluarga PDP Covid-19 di Sulawesi Ini Nekat Bawa Pulang Jenazahnya dengan Mobil Pribadi, Sampai Rumah Plastik Jenazah Dibuka lalu Dimandikan, Padahal Ini Bahayanya

Setelah apa yang terjadi, pejabat Italia memberikan pembelaan bahwa krisis seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di zaman modern.

Mereka menegaskan bahwa pemerintah sudah merespons dengan cepat dan kompeten, segera bertindak atas saran para ilmuwan dan bergerak lebih cepat pada langkah-langkah drastis.

Namun, catatan tindakan Italia justru menunjukkan peluang yang terlewatkan serta langkah yang salah.

Pada hari-hari awal wabah melanda, Conte dan pejabat tinggi lainnya berusaha menciptakan rasa aman palsu yang membuat virus menyebar tanpa kewaspadaan.

Baca Juga: 'Ibu, Apakah Aku akan Mati?', Celoteh Bocah 5 Tahun yang Terbaring Tak Berdaya Karena Corona di Ranjang Rumah Sakit, Padahal Sebelumnya Tubuhnya Sangat Sehat

Mereka menyalahkan tingginya jumlah infeksi di Italia karena banyaknya orang tanpa gejala di wilayah utara.

Bahkan begitu pemerintah Italia menganggap lockdown universal diperlukan untuk mengalahkan virus, pemerintah gagal mengkomunikasikan dengan masyarakat.

Hal ini menyebabkan tidak adanya ancaman yang cukup kuat tidak bisa membujuk orang Italia agar mematuhi aturan.

"Ini tidak mudah dalam demokrasi liberal," kata Walter Ricciardi, anggota dewan Organisasi Kesehatan Dunia dan penasihat utama untuk kementerian kesehatan.

Baca Juga: Tak akan Ada Mudik Lebaran Tahun Ini! Opsi Terburuk Jika Wabah Corona Masih Tak Terbendung, Ini Tiga Skenario yang Dibuat

Ia mengatakan pemerintah Italia telah bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih cepat, dan menganggap ancaman virus itu jauh lebih serius, daripada tetangga-tetangga Eropa atau Amerika Serikat.

Namun, ia mengakui bahwa menteri kesehatan kesulitan untuk membujuk pemerintah untuk bergerak lebih cepat.

Ditambah lagi, adanya pembagian kekuasaan Italia antara Roma dan daerah lain yang terpecah, membuat pesan menjadi tidak konsisten.

"Kami harusnya melakukannya 10 hari sebelumnya, mungkin ada perbedaan," ujar Walter Ricciardi.

Baca Juga: Sudah Dijelaskan Banyak Ahli: Sabun, Hand Sanitizer dan Air Hangat Bisa Melawan Penyakit Covid-19, ini Penjelasannya Jika Anda Masih Ragu

(Tiara Shelavie)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pendeta di Italia Meninggal Dunia setelah Berikan Ventilatornya pada Pasien Corona yang Lebih Muda

Artikel Terkait