Advertorial

Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak, Seperti Inilah Kisah Bung Karno di Akhir Masa Kekuasaannya

Mentari DP

Editor

Intisari-online.com -Siapa yang tidak mengenalPresiden Soekarno.

Presiden Soekarno merupakan presiden pertama Indonesia yang menjabat padaperiode 1945–1967.

Namun siapa sangka, di akhir masakepemimpinannya, ada sebuah kisah tragis daribapak proklamator Indonesia ini.

Kisah ini dicuplik dari buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno"terbitan Penerbit Buku Kompas 2014dan ditulis olehAsvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti

Baca Juga: 'Aku Masih Muda, Sehat, dan Rajin Olahraga, Enggak Tahu Bagaimana Virus Corona Ini Bisa Ada di Tubuh Aku'

Pada suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno minta sarapan roti bakar seperti biasanya.

Langsung dijawab oleh pelayan, “Tidak ada roti.”

Soekarno menyahut, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang.”

Dijawab, “Itu pun tidak ada.”

Baca Juga: Sering Ditanyakan, Presiden Jokowi Ungkap Alasannya Tak Pilih Lockdown Demi Perangi Virus Corona

Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”

Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.”

Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana.

Maulwi Saelan, mantan ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya.

“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno.

Di saat lain, setelah menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana, Maulwi mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.”

Maulwi Saelan tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu.

Baca Juga: Data Pasien Virus Corona Tersebar di Media Sosial? Awas, Penyebar Bisa Dipidana 4 Tahun Penjara atau Denda Rp750 Juta

Ketika kekuasaan beralih, Maulwi Saelan ditangkap dan berkeliling dari penjara ke penjara.

Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur.

Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.

Ternyata itu hari pembebasannya.

Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI.

“Sudah, begitu saja,” kenangnya. (Yoyok)

Baca Juga: Banyak Acara Pernikahan Dibubarkan Polisi: Awas, Mereka yang Masih Suka Berkumpul di Tengah Wabah Covid-19 Seperti In Bisa Dipidana!

Artikel Terkait