Intisari-Online.com - Di beberapa desa di Minahasa, Sulawesi Utara, ada komplek pemakaman kuno. Makam leluhur orang Minahasa.
Di pemakaman itu jenazah tidak dimakamkan di dalam tanah, melainkan ditaruh di dalam kubur batu.
Kubur batu itu disebut waruga. Kata waruga berasal dari dua kata, yaitu waru dan ruga. Waru artinya rumah.
Sedangkan ruga artinya raga atau badan.
BACA JUGA: Catat! Ikan Nila Bukanlah 'Ikan Mutan' Tanpa Tulang atau Ikan Beracun, Ini Buktinya
Jadi waruga artinya rumah tempat raga orang yang sudah meninggal.
Waruga adalah peti yang terbuat dari sebongkah batu besar berbentuk segiempat yang tengahnya diberi ruang.
Peti itu ditutup dengan tutup berbentuk atap rumah. Tutup peti itu terbuat dari batu juga.
BACA JUGA: Di Bawah Rezim Saddan Hussein, Pesepakbola akan Disiksa dan Dipenjara jika Timnas Irak Kalah
Waruga di desa tertentu memiliki tutup yang polos tanpa hiasan, sementara di desa lain tutupnya diberi hiasan berupa pahatan.
Pahatan itu berupa gambar manusia, hewan, tumbuhan, dan berbagai bentuk hiasan lainnya.
Hiasan itu menunjukkan profesi jenazah. Misalnya hiasan berbentuk tumbuhan berarti jenazah berprofesi sebagai petani.
Orang Minahasa menggunakan waruga sejak abad ke-9.
BACA JUGA: Hebat! Wanita Ini Hidup dengan 'Separuh' Otak tapi Berhasil Selesaikan Kuliah S2
Di dalam waruga, jenazah diletakkan dengan posisi duduk telungkup menghadap ke arah utara.
Duduk telungkup itu maksudnya kedua telapak kaki menempel ke pantat. Lalu kepala menempel ke lutut.
Sejak tahun 1860 orang Minahasa tidak menggunakan waruga lagi, karena pemerintah Belanda melarangnya.
Waruga itu jumlahnya 370 buah. Awalnya tersebar di hampir semua desa di Minahasa, tetapi kemudian dikumpulkan di kelurahan Rap Rap, kelurahan Airmadidi Bawah, dan desa Sawangan.
Kini lokasi waruga-waruga tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara.
BACA JUGA: Masha yang Psikopat dan Dasha yang Penuh Empati, Ini Kisah Kembar Siam yang Memilukan
Artikel ini pernah tayang di Bobo.grid.id dengan judul "Waruga, Kubur Batu dari Minahasa"
Source | : | Bobo.grid.id |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR