Advertorial
Intisari-Online.com - Bertahun-tahun, pelajar di dua desa di Kabupaten Maros bertaruh nyawa menyeberangi sungai besar untuk menuntut ilmu di sekolahnya.
Hal tersebut dikarenakan pemerataan pembangunan di Sulawesi Selatan (Sulsel) tidak merata.
Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulsel, Musaddaq mengatakan, prinsip keadilan dan pemerataan pembangunan tidak terjadi di 24 kabupaten/kota di Sulsel.
Padahal pada 2012, Pemprov Sulsel meminjam Rp500 miliar untuk pembangunan infrastruktur di Sulsel.
(Baca juga:Kisah Sedih Namun Juga 'Konyol' dari Para Wanita yang Pasangannya 'Kecanduan' Mobile Legends!)
"Jika pembangunan merata, tidak ada lagi kejadian seperti di Kabupaten Maros. Pelajar di dua desa di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros tidak lagi menyeberangi sungai besar yang dalam menggunakan ban mobil dan berenang untuk ke sekolahnya," katanya.
Musaddaq menjelaskan, dana pinjaman ratusan miliar dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP) banyak digelontorkan ke proyek reklamasi Pantai Losari yang dikenal denggan Center Point of Indonesia (CPI).
Padahal setelah dana digelontorkan, Pemprov Sulsel mengalihkan proyek tersebut ke investor.
"Pembangunan CPI saya kira tidak mencerminkan pemerataan, karena hanya bertumpu di Kota Makassar saja.”
“Sementara masih banyak daerah lain yang infrastrukturnya memprihatinkan. Sedangkan skema pinjaman ratusan miliar ke PIP mas, tidak termasuk pembangunan jembatan di CPI," bebernya.
Sebelumnya diberitakan, bertahun-tahun pelajar di dua desa di Kabupaten Maros bertaruh nyawa menyeberangi sungai besar untuk menuntut ilmu di sekolahnya.
Tak tanggung-tanggung, sungai yang diseberanginya berarus sangat deras dan dalam.
Meski nyawa menjadi taruhan, pelajar di dua desa di Kecamatan Tompobulu tetap semangat menuntut ilmu untuk menggapai cita-citanya.
Mulai pelajar SD, SMP, dan SMA setiap harinya menyeberangi sungai yang sangat dalam.
Mereka tidak punya pilihan lain, lantaran sungai ini yang menjadi satu-satunya akses yang bisa mereka lalui.
Sementara itu, jembatan yang telah lama direncanakan dibangun tak kunjung selesai.
Jika musim penghujan datang, para pelajar ini terpaksa tidak bisa ke sekolah. Lantaran air sungai meluap dan sangat deras.
Bukan hanya pelajar saja yang terisolir, tetapi ratusan warga di dua desa tersebut tak bisa berbuat apa-apa ketika musim penghujan datang dan air sungai meluap sangat deras.
"Kondisi ini sudah sejak awal adanya kampung kami di sini.”
“Setiap hari, baik warga maupun anak sekolah bertaruh nyawa menyeberang sungai ini. Kita tidak punya pilihan lain, karena ini satu-satunya jalan," kata seorang warga, Abdullah saat ditemui, Minggu (8/4/2018). (Hendra Cipto)
(Baca juga:Transgender di Indonesia: Saat Dorce Merasa Sedih karena Dipanggil ‘Saudara’)
(Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul "Pelajar Bertaruh Nyawa di Maros Bentuk Tidak Meratanya Pembangunan")