Advertorial
Intisari-Online.com - Sebuah pemberontakan yang bersejarah pernah dilakukan oleh pelaut Indonesia.
Kejadian yang kurang lebih terjadi 80 tahun lalu ini, melibatkan kapal perang terbesar yang dimiliki Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Dikutip dari buku Zaman Perang karya Hendi Jo, Kisah ini berawal ketika para pelaut Indonesia dan Belanda sedang menggelar pemogokan umum
Mereka menolak penurunan gaji, yang diputuskan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda bernama De Jonge (1931-1936).
(Baca Juga:Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu)
(Baca Juga:Ketika Kapal Selam TNI AL RI Nagabanda Dihajar Habis-habisan oleh Kapal Perang Belanda hingga Nyaris Karam)
Masalah penolakan ini membuat para pelaut mogok bekerja.
Pada 27 Januari 1933 suasana kota Surabaya mencekam akibat pemogokan para pelaut.
Perwira pelaut Belanda berusaha mengisolasi kejadian ini agar para pelaut di luar Surabaya tidak mengetahuinya.
Namun, berita pemogokan tesebut tetap saja terdengar di telinga pelaut di luar Surabaya.
Termasuk para pelaut di kapan Zeven Provincien yang saat itu sedang berlabuh di Sabang, Aceh.
Maud Boshart yang merupakan seorang korporal Belanda yang mendengarkan kejadian itu dari radio.
Pelaut Belanda ini memang dikenal berpikiran radikal dan menolak haluan mayoritas teman-temannya yang sangat moderat.
Setelah mendengar kabar tersebut, para awak kapal Zeven Provincien menggelar rapat untuk melakukan pemogokan.
Mengetahui kabar pemogokan itu telah tersiar, komandan dan para awak kapal melakukan breafing.
“Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga dikapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Eikenboom, komandan kapal tujuh.
Pidato ancaman tersebut tidak menurunkan semangat perlawanan para awak kapal.
Dua awak kapal berdarah Indonesia, Paraja dan Rumambi memimpin sebuah gerakan untuk melakukan pemberontakan di atas kapal.
Para awak kapal berdarah Indonesia ini bekerja sama dengan para pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan tersebut.
(Baca Juga:Seperti Ombak Mencintai Pantai, Begitulah Kasih Inggit Garnasih ke Bung Karno yang Berakhir Pilu)
Pada 4 Februari 1933, pemberontkan dimulai dengan para awak kapal mengambil alih kendali kapal dari tangan pelaut Belanda.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Paraja dan Gosal yang merupakan pelaut asal Indonesia, sedangkan dari Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.
Mereka membawa kapal berlayar menuju Surabaya.
Selain itu, mereka juga menyiarkan pemberontakan ini dalam siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia.
Mendengar pemberontakan ini, pihak Belanda mulai panik.
Mereka mulai mengirimkan kapal untuk mengejar para pemberontak tersebut.
Begitu memasuki Selat Sunda, pihak Belanda mengirimkan kapal perang "Java", yang dikawal dua kapal torpedo, dan sebuah pesawat pembom Dornier.
Kapal Zeven Provincien sudah diperingatkan oleh pihak Belanda agar segera menyerah.
Namun, mereka tetap berlayar menuju Surabaya dan mengancam menyerang.
Kemudian, pesawat Dornier mulai mengancam dengan berputar-putar di atas kapal Zeven Provincien.
Akhirnya 10 Februari 1933, tepat jam 09.18 pagi, serangan pertama dilakukan oleh Belanda.
Tapi serangan pertama masih gagal, bom kedua coba dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal.
Para pemberontak mencoba melawan, namun beberapa orang mengalami luka-luka.
Martin Paradja yang memimpin pemberontakan tewas saat pemboman itu.
Kondisi kapal Zeven Provincien sudah benar-benar lumpuh.
(Baca Juga:Waspada! 6 Tanda Ini Bisa Menunjukkan Anak Anda Akan Menjadi Psikopat Saat Dewasa Nanti)
20 awak Indonesia dan 3 awak Belanda dinyatakan tewas akibat serangan tersebut.
Seperti yang di ceritakan Maud Boshart dalam memoarnya untuk mengenang kejadian tersebut.
Dia menyaksikan seorang karibnya terluka membentuk lubang sebesar kepalan tangan orang dewasa di dadanya.
"Saya menangis, saya tidak dapat menahan air mata saya ketika menyaksikan pemandangan seperti itu", kenangnya.
Kapal Zeven Provincien akhirnya takluk.
Sementara itu 545 awak bangsa Indonesia dan 81 awak bangsa Belanda ditahan akibat pemberontakan itu.
Atas kejadian tersebut Gubernur Jendral De Jonge mendapatkan kecaman dari media-medai Eropa dan Amerika Serikat.
Pemberontakan ini menjadi bukti sebuah perlawanan hebat dari bangsa Indonesia.
Menjadi salah satu dari episode dari sejarah panjang pergerakan nasional di Indonesia.
Bahkan sejarah mencatat, bukan hanya di Hindia dan negeri Belanda saja, dunia pun dibuat geger oleh kejadian itu. (Agilvi Oktora Nurradifan)
(Baca Juga:Keren! Foto-foto Ini Buktikan Bahwa Para Tentara Juga Punya Selera Humor dan Berhati Lembut)