Advertorial
Intisari-Online.com – Tahun 1917 sebagai bagian dari babak Perang Dunia I (1914-1918) menjadi ajang dimulainya peperangan modern di kawasan Eropa.
Hal ini ditandai dengan digunakannya secara masif armada kapal selam di laut, tank di darat, dan pesawat tempur di udara.
Untuk pesawat, yang awalnya hanya digunakan terbatas sebagai pengintai dan pengebom ringan, tahun 1917 mulai berubah peran sebagai penempur atau scout yang ditakuti musuh.
Istilah scout lebih populer saat itu dibanding fighter.
Dimensi kedirgantaraan yang menjadi ruang baru medan pertempuran, mulai dipandang akan lebih memberikan tingkat evektivitas yang tinggi dalam menghancurkan kekuatan musuh.
Namun, klausul ini jelas tidak langsung diterima begitu saja oleh banyak kalangan. Terlebih pada saat itu pun belum ada matra khusus bernama Angkatan Udara.
Pesawat tempur dioperasikan Inggris oleh Korps Penerbangan Angkatan Darat (RCF) dan Dinas Penerbangan Angkatan Laut (RNAS). Tahun 1918, Inggris baru melebur RCF dan RNAS menjadi Angkatan Udara (RAF), sekaligus menjadikannya AU tertua di dunia.
Pesawat tempur telah digunakan Inggris maupun Perancis saat meraih kemenangan di musim gugur tahun 1916. Namun, kedua negara kurang antisipatif terhadap langkah Jerman yang kemudian membuat pesawat-pesawat tempur yang lebih unggul.
Inggris dan Perancis kalah dalam jumlah dan superioritas pesawat. Demikian juga dengan taktik perang udara, dimana Jerman mempelajari banyak hal untuk mengalahkan kedua musuhnya tersebut.
Jerman membangun 37 skadron tempur (Jagdstaffeln atau Jasta) yang masing-masing diperkuat 14 pesawat Albatros D.III. Pesawat ini lebih unggul daripada B.E.2e, F.E.2b, F.E.8 buatan Royal Aircraft Factory maupun generasi terbaru Sopwith Pup, Sopwith Triplane, dan SPAD S.VII.
Ketiga pesawat terakhir hanya dipersenjatai satu senapan mesin, sementara Albatros D series telah menggunakan dua senapan mesin. Dari sisi performa terbang pun, Albatros seri D lebih unggul.
(Baca juga:(Foto) Cantiknya Aurora Borealis yang Dipotret dari Pesawat Tempur Amerika Serikat Ini)
April Berdarah
Dan, situasi buruk terjadi dalam perang udara April 1917 yang kemudian dikenal sebagai tragedi “April Berdarah”. Dalam satu bulan, Inggris harus kehilangan 365 pesawat dimana setengahnya adalah pesawat tempur.
Sebanyak 316 pilot dan observernya gugur. Pesawat-pesawat Jerman berhasil meraih kemenangan dengan menggasak musuh-musuhnya.
Jasta 11 pimpinan Manfred von Richthofen, merupakan skadron yang banyak menyumbang kemenangan bagi Jerman. Von Richthofen yang populer dengan julukan “The Red Baron” membukukan 89 kemenangan selama 15 bulan pertempuran di medan Eropa.
Dalam pertempuran di Arras dan Aisne, sebelah utara Perancis itu, Jerman mengklaim hanya kehilangan 66 pesawat. Pertempuran ini jelas melambungkan Jerman yang telah berhasil memenangi pertempuran udara.
Red Baron sendiri tewas dalam pertempuran tahun 1918 saat menerbangkan Fokker Dr I.
Inggris harus mengakui keunggulan musuh. Di kemudian hari, negeri itu bangkit dengan menciptakan pesawat-pesawat yang lebih superior dari pesawat Jerman.
Inggris pun mengirim pilot-pilot yang selamat untuk kembali ke skadron guna mempelajari taktik perang udara dan menyiapkan pilot-pilot barunya yang lebih andal.
Pilot RFC Inggris sendiri bukan tak ada yang berhasil menjadi sang pemenang (Aces). Di antaranya adalah Edward “Mick” Mannock yang membukukan total 73 kemenangan selama kariernya sebelum akhirnya tewas bersama pesawatnya yang terbakar di udara tahun 1918.
(Ditulis oleh Roni Sontani. Seperti pernah dimuat di Majalah Angkasa edisi Mei 2016)
(Baca juga:Agar Tidak Mudah Tertembak Jatuh, Pilot Tempur pun Butuh Kaca Spion di Dalam Kokpit Jet Tempurnya)