Advertorial
Intisari-online.com - Saat ini dunia seperti diambang ketakutan akibat kemunculan virus corona yang terus menyerang manusia.
Lebih dari 7.000 manusia terjangkit virus corona, dan setidaknya lebih dari 200 nyawa melayang karenanya.
Mungkin ini menjadi salah satu epidemi yang mengerikan pada era moderen ini.
Namun, jauh sebelum itu manusia memiliki sejarah oanjang dalam memerangi, jamur, bakteri dan virus.
Tak jarang, hal itu menyebabkan kematian, seperti halnya dengan pandemi yang pernah nyaris membunuh setengah populasi manusia ini.
Sebuah penyakit yang hampir mirip dengan virus corona tahun 1347-1351 telah membunuh sepertiga populasi di benua biru.
Tak hanya itu, di Asia 75 juta hingga 200 juta nyawa melayang akibat penyakit itu, yang artinya nyaris menghancurkan setengah populasi manusia dunia.
Menurut History.com wabah itu dikenal dengan Black Death, atau kematian hitam akibat virus yang diyakini bernama Yersinia pestis.
Hal itu menyebabkan penyakit pes yang dijuluki penyakit paling maut dalam sejarah manusia dan dunia.
Penyakit ini menyebar dari Eropa ke Asia pada abad ke-14, ke-17 dan awal tahun 1900-an.
Orang yang terkena penyakit ini biasanya karena digigit tikus yang membawa bakteri Yersinia pestis.
Selain itu hewan yang terinfeksi seperti anjing dan kucing juga bisa menginfeksi pemiliknya.
Bakteri ini bertahan karena tingkat rendah beredar di antara populasi tikus tertentu.
Hewan yang terinfeksi berfungsu sebagai reservoir jangka panjang bagi bakteri.
Saat ini tak ada vaksin yang bisa melawan wabah ini, tapi antibiotik modern dapat mencegah komplikasi dan kematian jika diberikan secara tepat.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Makanan Berwarna Kuning Harus Dimasukkan dalam Makanan Sehari-hari Anda
Selama wabah itu menyerang, sejumlah besar mayat perlu diproses, dan banyak mayat ditangani oleh dokter.
Ketika itu, orang tidak tahu bahwa wabah itu disebabkan oleh infeksi bakteri, tetapi mereka harus melakukan perlindungan dasar untuk mengisolasi mayat dari pembusukan.
Untuk mencegah bau busukumumnya menggunakan penutup dari linen atau katun untuk menutupi hidung dan mulut.
Mirip dengan prototipe masker masa kini, tetapi dapat dibayangkan bahwa efek perlindungannya minimal.
Pada abad ke-16, dokter Prancis Charles de Lorme (1584-1678), dokter Louis XIII, menemukan setelan dokter anti-infeksi, yang juga dikenal sebagai "jas paruh" untuk para dokter wabah.
Jas paruh itu mencakup topi, topeng berbentuk paruh, dan jubah yang hampir bisa menutupi seluruh tubuh.
Di antara mereka, topi dapat mencegah wajah pasien dari dekat dengan dokter, jubahnya dapat mencegah polusi cairan tubuh, dan topeng itu memiliki misteri besar.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Makanan Berwarna Kuning Harus Dimasukkan dalam Makanan Sehari-hari Anda
Tradisi medis dan humanistik Yunani kuno percaya bahwa orang yang mati karena penyakit menular adalah "najis", dan bau busuk yang mereka keluarkan dapat menyebarkan penyakit itu.
Bagian paruh dari setelan paruh dipenuhi dengan banyak rempah-rempah, dan dokter yang berpartisipasi juga akan memiliki "resep rahasia" sendiri.
Isi rempah-rempah dan paruh panjang memberikan perlindungan yang lebih baik.