Advertorial
Intisari-Online.com -Kekuatan militer di suatu negara jika akan melancarkan operasi tempur ke salah satu target umumnya terlebih dahulu mengirim pasukan intelijen.
Tujuan pasukan intelijen yang masuk ke daerah musuh secara diam-diam itu adalah untuk mengumpulkan informasi mengenai kekuatan tempur lawan.
Target lainnya yang diintai adalah wilayah yang akan menjadi operasi pendaratan pasukan baik dari laut maupun udara, dan berusaha membangun kontak dengan kelompok-kelompok perlawanan setempat.
Ketika militer Indonesia (ABRI) berencana akan melakukan operasi militer ke Timor Timur (sekarang Timor Leste) demi mendukung rakyat yang mau berintegrasi dengan RI, langkah awal yang ditempuh adalah melancarkan operasi intelijen terlebih dahulu.
(Baca juga:Ketika Pilot TNI AU Terjebak di Tengah Kelompok Bersenjata yang Telah Membunuh 4 Personel Kopassus)
Demi melancarkan operasi intelijen itu, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) mendirikan semacam markas (safe house) di Motaain, Belu, NTT yang berfungsi untuk membentuk jaringan dengan kelompok-kelompok pro integrasi yang ada di Tim-Tim.
Petinggi Bakin yang mengendalikan operasi intelijen di Motaain adalah Ketua G-1/Intelijen Hankam, Mayjen Benny Moerdani.
Sebagai tokoh intelijen yang dikenal agresif, meskipun belum ada kepastian kapan operasi militer terbuka oleh ABRI dilaksanakan, Mayjen Benny diam-diam telah menyusupkan personel intelijennya.
Para personel intelijen yang akan bertugas secara sangat rahasia itu dipimpin oleh Kolonel Inf Dading Kalbuadi yang juga komandan pasukan elite, Grup-2 Para Komando (Parako) atau Komando Pasukan Sandi Yuda (Kopassanda ).
Pasukan elit itu sekarang dikenal sebagai Kopassus dan Kopassanda sendiri saat itu bermarkas di Magelang, Jawa Tengah.
Tugas utama Kolonel Dading bersama anak buahnya adalah memasuki wilayah Tim-Tim sebagai sukarelawan dan tanpa menunjukkan identitas sebagai pasukan elit.
Jika dalam tugas-tugasnya sebagai personel intelijen sampai menimbulkan bentrokan senjata dan gugur, maka negara tidak akan mengakuinya mengingat status mereka adalah sukarelawan.
(Baca juga:Tatang Koswara Sniper Terbaik Dunia Asal Indonesia 25 Tahun Bungkam Soal Misi Rahasia di Timor Timur)
Sekitar 250 personel Parako yang bertugas sebagai intelijen kemudian dikirim perbatasan NTT-Tim-Tim dan dalam penugasannya mereka selalu menyamar.
Ketika dikirim ke Atambua, NTT lalu ke Motaain, personel Parako menyamar sebagai mahasiswa yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sedangkan senjata yang dibawa dimasukkan ke dalam karung yang telah dibubuhi tulisan berbunyi ‘alat-alat pertanian’.
Tugas utama para personel Parako adalah menyusup ke Tim-Tim dalam bentuk kelompok kecil untuk membentuk basis-basis gerilya dan melakukan penyerangan.
Sebagai sukarelawan dan tidak bersetatus anggota militer dalam melaksanakan operasi intelijennya secara terbatas (limited combat intelligence) para personerl Parako kebanykan memakai celana jean dan kaos oblong serta jarang menenteng senjata.
Di kemudian hari ketika operasi militer ABRI secara terbuka untuk mendukung proses integrasi ke RI digelar, para personel Parako ternyata masih suka mengenakan celana jean dan kaos oblong.
Dengan gaya bertempur yang terkesan sangar tapi santai itu, Kopassanda, mengutip Hendro Subroto dalam Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur (1996), pun mendapat julukan sebagai “The Blue Jeans Soldiers”.
Soal The Blue Jeans Soldier juga bisa dikulik dari buku Hendro Subroto lainnya yang berjudul Operasi Udara di Timor Timur terbitan Pustaka Sinar Harapan (2005).
(Baca juga:Pasukan Elite Inggris Pernah Mati Suri Lalu Bangkit Lagi Gara-Gara Konflik dengan Pasukan Indonesia)