Advertorial

Endemik Penyakit Cacing Pita di Simalangun, Petugas Temukan Cacing Sepanjang 10.5 Meter

Masrurroh Ummu Kulsum

Editor

Dokter Umar Zein selaku Ketua Tim Peneliti Cacing Pita FK UISU, menyebutkan, penemuan itu bermula pada Oktober 2017 saat ada pasien berobat ke kliniknya.
Dokter Umar Zein selaku Ketua Tim Peneliti Cacing Pita FK UISU, menyebutkan, penemuan itu bermula pada Oktober 2017 saat ada pasien berobat ke kliniknya.

Intisari-Online.com - Penyakit cacing pita dapat diakibatkan karena mengonsumsi daging babi yang tidak dimasak atau kurang sempurna memasaknya.

Tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) menemukan kasus endemik penyakit cacing pita (Taeniasis) mencapai 171 kasus di Nagori (Desa) Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Dari kasus itu ditemukan cacing pita sepanjang 10,5 meter.

Dokter Umar Zein selaku Ketua Tim Peneliti Cacing Pita FK UISU, Senin (26/3/2018), menyebutkan, penemuan itu bermula pada Oktober 2017 saat ada pasien berobat ke kliniknya.

BACA JUGA:Dikenal Jual Tas Dengan Harga Belasan Juta, Ternyata Tas Gucci Hanya Gunakan Bahan Seharga Ratusan Ribu

BACA JUGA:Setelah WiFi, Sebentar Lagi Akan Muncul LiFi. Apa Perbedaan LiFi dengan WiFi?

Pasien itu mengaku saat dia membuang kotoran mengeluarkan potongan-potongan cacing.

Berangkat dari pengakuan itu, Umar Zein mengajak tim dari FK UISU menuju ke lokasi asal pasien tersebut di Nagori Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, 21 Oktober 2017.

Setelah melakukan penelitian beberapa hari, tim memberikan obat untuk dikonsumsi warga.

Lalu, pada 2 November 2017, ditemukan kasus saat seorang warga membuang kotoran, dia mengeluarkan cacing pita sepanjang 10,5 meter.

"Bisa jadi ini merupakan cacing pita terpanjang di dunia," ujar Umar.

Lebih jauh, tim FK UISU menemukan 171 kasus serupa dengan cacing pita yang panjangnya beragam, mulai dari 2 meter hingga 8,6 meter.

"Total yang kami temukan 171 kasus. Ada juga warga yang membuang kotoran yang kemungkinan juga ada cacing pita," kata Umar.

Dia memperkirakan, mayoritas warga di enam desa di Kecamatan Silau Kahean juga terkena pengakit cacing pita.

"Di sini kan ada makanan khas Simalungun, yakni hinasumba atau holat yang bahan makanannya dari daging babi yang memang tidak dimasak," ujar Umar.

Atas temuan ini, pihak FK UISU melakukan kerja sama dengan tiga universitas asal Jepang dan empat universitas di Indonesia untuk melakukan penelitian.

Ketiga universitas dari Jepang tersebut adalah Department of Parasitology, Asahikawa Medical University; Laboratory of Veterinary Parasitology, Joint Faculty of Veterinary Medicine Yamaguchi University; dan Center of Human Evolution Modelling Research, Primata Research Institute, Kyoto University.

Sementara dari Indonesia, yakni Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali; Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang; Direktorat Pascasarjana Universitas Sari Mutiara, Medan; dan Departemen Farmakologi FK Universitas Methodist Indonesia, Medan.

"Tim telah selesai melakukan pemeriksaan molekuler terhadap empat sampel cacing pita asal Kabupaten Simalungun, termasuk draf artikel ilmiah," kata Umar.

Selanjutnya, artikel tersebut dikirim ke WHO guna melanjutkan penelitian atas penemuan endemi Taeniasis di Kabupaten Simalungun.

Sembari menunggu dukungan dari WHO, tim FK UISU akan kembali turun ke lokasi yang sama, di mana pertama kali ditemukan cacing pita di Kecamatan Silau Kahaean.

BACA JUGA:Selamat dari Holocaust, Namun Sekarang Wanita Ini Ditemukan Tewas dalam Keadaan Mengerikan

(Artikel ini pernah tayang di Kompas.com dengan judul "Cacing Pita Sepanjang 10,5 Meter Ditemukan di Simalungun, Penulis: Kontributor Pematangsiantar, Tigor Munthe")

Artikel Terkait