Advertorial
Intisari-Online.com – Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Adat istiadat di suatu daerah belum tentu sama dengan daerah yang lain, begitu juga dengan tata cara pernikahannya.
Tata cara pernikahan di salah satu desa-di Kecamatan Kertek, Wonosobo, umpamanya.
Dalam undangan pernikahan lazimnya tuan rumah memberitahukan penyataan bersedia-tidaknya ia menerima tamu di rumah.
Namun, di desa itu pemberitahuan disampaikan dengan cara khusus, yakni dengan memasang bendera kain berwarna putih, kuning, atau merah di halaman rumah, jika tuan rumah tidak bersedia menerima tamu di rumah.
(Baca juga:Beginilah Penampakan Pulau Terpadat di Dunia, Ukurannya Hanya Dua Kali Lapangan Sepak Bola)
Jika di rumah si empunya hajatan tidak terpasang bendera, sejak kira-kira 2 - 4 hari sebelum hari "H", para tetangga akan datang kondangan sambil membawa amplop berisi uang.
Si empunya hajatan pun akan menyiapkan hidangan.
Pernah kejadian seorang tetangga berkunjung ke rumah tetangganya yang sudah jelas memasang bendera.
Karena memang belum menerima tamu, si tamu disuguhi hidangan ala kadarnya.
Ketika tamu tersebut hendak memberikan amplop, tuan rumah pun menolak.
Tentu saja ia merasa malu, sudah disuguhi makanan, kok amplopnya ditolak.
Lain lagi tata cara pernikahan di suatu daerah di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
(Baca juga:(Video) Gara-gara Temannya, Pengantin Pria Ini Terus-terusan Tertawa Justru di Upacara Pernikahannya)
Lazimnya, pada pesta pernikahan diadakan acara lempar bunga ke arah tetamu yang masih lajang.
Namun, kebiasaan di daerah iniyang dilempar bukan bunga, melainkan sarung.
Tujuh buah sarung ditumpuk bersusun melingkar ke atas.
Pengantin pria masuk ke dalam tumpukan sarung, sementara para tamu berdiri mengelilinginya.
Sang pengantin lalu melemparkan sarung itu satu demi satu ke arah tetamu. Jadilah para tamu saling berebut sarung. Heboh!
Menurut kepercayaan mereka, siapa yang mendapat sarung akan segera menyusul naik ke pelaminan.
Dari ketujuh sarung yang dilempar, kain sarung terakhirlah yang dianggap paling ampuh "khasiatnya", sehingga selalu ditunggu-tunggu untuk diperebutkan oleh para tamu yang masih lajang.
(Yustina W. – Intisari Maret 2004)
(Baca juga:Tak Hanya Islam, Inilah Agama dan Kebudayaan yang Juga Memiliki Tradisi Puasa)