Advertorial

Temukan Alasan Banyak Orang Baru Meninggal Setelah Urusan di Dunia Tuntas, Soraya Haque Ungkap Perjalanan Spiritualnya yang Rumit, Sampai Harus Pelajari Kitab Suci Berbagai Agama

Tatik Ariyani

Editor

la membaca banyak buku, melihat persoalan kehidupan dengan pelbagai cara pandang, dan ia pun mendalami agama.
la membaca banyak buku, melihat persoalan kehidupan dengan pelbagai cara pandang, dan ia pun mendalami agama.

Intisari-Online.com - Melalui akun resmi Instagramnya @sorayahaque, model dan bintang sinetron era 80an, Soraya Haque tiba-tiba saja membagikan kabar sedih.

Soraya mengunggah foto dirinya sedang memeluk suaminya, Ekki Soekarno yang sedang terbaring lemah, dengan alat bantu napas yang terpasang di bagian mulut Ekki.

Soraya juga menyertakan keterangan tentang perjalanan cinta mereka, serta rasa syukur Soraya memiliki suami seperti Ekki.

"Perjalanan suka duka sudah kita lewati berdua. Apapun kondisinya saya sudah membuktikan bahwa kita memang berjodoh selamanya. Kamu adalah saya. Dan saya adalah kamu," tulis Soraya, dikutip Kompas.com, Sabtu (18/1/2020).

Baca Juga: Lama Tak Muncul Batang Hidungnya, Soraya Haque Bagikan Potret Suaminya Ekki Soekarno yang Tengah Terbaring Sakit di RS: 'Apapun Kondisinya Kita Berjodoh'

Ucapan manis lain juga kembali dituliskan Soraya tentang sosok Ekki yang dianggap telah memenuhi janji-janjinya sebagai seorang suami.

"Secuil doa pagi ini, saya ingin menua bersama kamu, Ekki," tulis Soraya penuh harap.

Hingga kini, belum diketahui penyebab Ekki dirawat di rumah sakit.

Terlepas dari kondisi suaminya, Soraya Haque memiliki kisah perjalanan spiritual yang cukup rumit, bahkan sampai mempelajari kitab suci berbagai agama.

Baca Juga: Kisah Tragis Rara Oyi, Diperebutkan Raja dan Pangeran Mataram, Tapi Malah Dibunuh sang Pangeran Pilihannya Atas Perintah Raja yang Tak Rela Kalah Bersaing

Kisah perjalanan spiritual tersebut pernah dimuat dalam majalah Intisari Mindbody&Soulyang ditulis oleh Mayong S. Laksono.

Kegelisahan Hidup

Soraya, kelahiran Plaju, Sumatra Selatan, 7 Februari 1965, sejak kecil memang suka merenung.

Dibandingkan dengan dua saudaranya, sang kakak Marissa Grace dan sang adik Shahnaz Natasya, ia lebih suka mengamati sekeliling daripada bicara. Juga lebih mendalam menyikapi segala sesuatu.

"Sejak umur delapan tahun saya sudah suka memperhatikan semut yang berjalan berarakan, tertib berbaris saling menunggu giliran. Saya memperhatikan ulat pohon yang berubah jadi kepompong dan kemudian kupu-kupu. Kepada semut, manusia mesti belajar soal aturan dan urutan. Kepada ulat, manusia bisa belajar mengenai tahapan hidup, proses."

Baca Juga: Jaga Kesehatan Ginjal dengan 7 Minuman untuk Bersihkan Ginjal Secara Alami Ini, Salah Satunya dengan Teh Jahe

la pun mengikuti proses hidup. Terjun ke dunia model, menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, mengajar di sekolah modeling, memberikan pelatihan tentang kepribadian, memproduksi acara televisi, juga menjadi pembawa acara.

Menikah dengan penata musik Ekki Soekarno pada 1991, keduanya bagai saling melengkapi.

"Ekki itu guru saya. la yang melatih saya untuk sabar, nrimo, dan menyikapi berbagai persoalan hidup," kata Aya.

Dua peristiwa duka membawa Aya pada kegelisahan hidup. Yang pertama saat ibunya meninggal, 1991, dan yang berat adalah saat ayahnya meninggal tahun 2000.

Mungkin karena kematangan usia ketika peristiwa itu terjadi, menyebabkan Aya berpikir tentang arti hidup.

"Kita bekerja, menghasilkan sesuatu menjalani ritual agama, berbuat untuk diri sendiri maupun orang lain, terus mau ngapain? Hidup ini mau ke mana?" Aya mengulangi pertanyaan yang menggedor-gedor hatinya pada tahun 2000.

la membaca banyak buku, melihat persoalan kehidupan dengan pelbagai cara pandang, dan ia pun mendalami agama.

Setiap hal yang dia temukan, dia cari rujukannya dalam Al Quran, kemudian dia catat.

Baca Juga: Jadi Tamparan Keras untuk Orang-orang yang Suka Salahkan Baju Korban Pelecehan, Kasus di Bekasi Ini Bukti Bahwa Otak Pelakulah Sumber Masalahnya!

Tentang hubungan antarmanusia, tentang pasangan hidup, tentang lingkungan dan alam sekitar, dan banyak lagi.

la pun mempelajari kitab suci agama lain demi pemerkayaan wawasan.

Lima tahun Aya bergulat dalam kegelisahan dan pencarian. Setiap kali menemukan rujukannya dalamKitab Suci, dia tuliskan di buku catatan.

Lama-lama, tulisan tangan yang tersusun rapi dengan tinta warna-warni dalam beberapa buku itu kemudian dia susun. la belum tahu mau dijadikan apa karena merasa kegelisahan diri masih terus berjalan.

Sampai tahun 2005 catatan itu jadi dan Aya menemukan kesimpulan-kesimpulan.

"Yang namanya surga atau neraka, misalnya, itu sesungguhnya ada di dunia ini. Sesuatu yang indah dan ideal, definisi kita tentang surga, ya kita temukan kalau dunia kita terjaga dan kita berbuat baik dengan cara yang benar," katanya. "Sedangkan neraka itu inti Bumi, dia menarik kembali semua yang mati."

Siap menghadap Tuhan

"Lima tahun saya bergelut dengan pemahaman dan pencarian rujukan itu. Dari umur 35 dengan turning point saat meninggalnya papa tahun 2000, sampai saya umur 40."

Sejak itu, berbekal buku catatan yang hampir selalu ada di tas kerjanya, Aya menularkan pemikirannya ke banyak orang.

Dalam kumpulan ibu-ibu di daerah, kepada kawan-kawannya, saat ia membawakan acara televisi, dan segala macam kesempatan. la juga duta kegiatan sosial semacam Ikatan Sindroma Down Indonesia.

Baca Juga: Bukan Karena Biji Jambu atau Biji Cabai, Ini yang Jadi Penyebab Radang Usus Buntu Bahkan Sampai Pecah

Tak selalu diterima. Ketika ia bicara tentang kebangkitan, misalnya, orang menafsirkannya dengan agama Kristen.

Kalau ia menjelaskan tentang reinkarnasi (dan itu sesuatu yang dia percaya), orang menganggapnya sebagai kotbah Hindu.

Tapi bagi yang menyimak omongannya, Aya seperti mengajar dan membukakan pemahaman baru.

Kadang malah terkesan mengagetkan. Misalnya soal perkawinan beda agama, pengertian halal-haram, penggambaran makhluk hidup, soal aurat dan jilbab, dan banyak lagi. Semua itu dia lengkapi dengan rujukannya dalam Al Quran.

"Tapi saya tidak pernah memaksakan kehendak. Kalau pendapat saya diterima, syukur. Tapi kalau tidak ya nggak masalah. Cuma kebanyakan, karena penjelasan saya selalu merujuk pada Al Quran, yang saya ajak bicara bisa memahami setelah menemukan pembenaran dalam Quran."

Aya juga mempelajari hubungan antara manusia dengan alam semesta, mikrokosmos dengan makrokosmos.

la mempelajari juga hubungan alam fisik dengan alam spirit, dunia material dengan dunia spiritual.

"Kedua hal itu bisa saling ketergantungan. Saya mendapat pembuktiannya dengan menemui kerabat dari pasien di ICU atau pasien terminal. Orang bisa lama sekali dalam keadaan koma, dan baru meninggal setelah melepaskan semua beban duniawinya."

Aya mengingatkan, yang dia tularkan ke banyak kalangan itu tak mesti harus dihubungkan dengan agama. "Saya berbicara tentang sisi spiritual manusia, bukan aspek ritualnya. Itu lepas dari batasan agama."

Baca Juga: Dibawa untuk Anaknya, ASI Beku Wanita Ini Malah Dihancurkan oleh Bea Cukai, Siapa Sangka Ternyata Ada Sindikat Pasar Gelap yang Sedang Jadi Buruan Ini di Baliknya

Setelah sampai pada akhir masa pergulatan, Aya menjalani hidup secara lebih terarah. Lebih pasrah, lebih berserah, melihat kecukupan hidupnya dengan penuh syukur.

Ini terus berjalan hingga kini, tahun keempat masa internalisasi. Bentuk yang muncul sekarang antara lain tidak mengumpat kemacetan, sesegera mungkin membantu jika ada orang yang membutuhkan, menolong tanpa harus ketemu orangnya, mencoba berdialog ketika menyiram tanaman di halaman rumah, "berbicara" dengan kupu-kupu, dan sebagainya.

"Pokoknya yang bersifat menekan ego. Saya nggak mau orang yang saya bantu kemudian memuja-muja saya sehingga berakibat menaikkan ego saya."

Di masa empat tahun "pemerkayaan materi catatan" itu datang penerbit yang ingin membukukannya.

Baca Juga: Tiba-tiba Muncul dari Belakang Lalu Cium Pipi Sambil Ucapkan Ini, Inilah Kenangan Terindah dari Lina yang Pernah Dirasakan Sule

Aya pun mencari penyunting untuk mengubahnya menjadi narasi sehingga mudah dipahami.

Jadilah buku Rahasia Persatuan Jiwa dengan Tuhan itu terbit pada Juni 2009, dengan kata pengantar oleh tokoh lingkungan Emil Salim.

"Buku itu juga untuk menunjukkan bagaimana cara saya memandang kehidupan dan bagaimana spiritualitas saya. Soal konsep Tuhan, misalnya, saya merasa begitu dekat karena melihat lewat bukti sehari-hari. Dengan begitu saya siap menghadap Tuhan. Saya ingin menemui Tuhan dalam keadaan masih keren, masih sehatjasmani rohani. Saya tidak ingin menemui Tuhan ketika sudah stroke, cacat, bangkrut, dan tidak berdaya."

Artikel Terkait