Advertorial
Intisari-online.com - Port Moresby merupakan kota terbesar di Papua New Guinea (PNG). Kota berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa ini memiliki status sama seperti provinsi lainnya di PNG dan memiliki nama resmi National Capital District (NCD).
Saya kebetulan menginap di salah satu hotel terbaik di Port Moresby yang berada di kawasan 10 km, berjarak sekitar 5 menit dari bandara.
Namun yang membedakan hotel ini dengan hotel-hotel lainnya, ada pada pintu gerbang yang selalu tertutup rapat dengan penjagaan ketat.
Tembok tinggi dan kawat berduri juga mengelilinginya. Wah, mirip penjara saja, komentar kolega saya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pengamanan di hotel juga cukup ketat. Untuk masuk ke lift kita harus punya kunci akses, demikian juga untuk pindah dari koridor ke koridor lain, tak terkecuali untuk menuju ke restoran di lantai 7.
Tepat di pintu lobi, selain satpam berseragam putih hitam, ada juga sekuriti berseragam hitam-hitam dengan senjata terhunus selalu siap siaga di tangan.
Lucunya, pengamanan superketat seperti ini ternyata bukannya membuat kita merasa aman, tetapi membuat saya bertanya-tanya, ada apa dengan kota ini?
Sebagian pertanyaan ini terjawab ketika pihak concierge melarang kami untuk berjalan kaki keluar hotel.
Kami hanya boleh bepergian dengan mobil atau taksi resmi yang dipanggil oleh hotel. Ketika sempat berkelana ke pusat kota alias CBD Port Moresby, suasana terlihat biasa-biasa saja.
Namun hampir setiap bangunan, baik hotel dan perkantoran, selalu dijaga ketat dan dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri dan kamera CCTV.
Di jalan-jalan, memang tampak People Mover Vehicle (PMV) atau angkutan umum, namun yang berkeliaran di jalan dengan bebas umumnya hanya mereka yang ras Melanesia.
Meski PNG merupakan negara multietnis dan multiras serta banyak pekerja asing, orang-orang ini kebanyakan bepergian dengan kendaraan pribadi.
Kawasan-kawasan tertentu juga dihindari pada malam hari.“Port Moresby is one of the most dangerous capital city in the world,” demikian komentar resepsionis hotel berwajah Asia Tenggara.
Gadis manis ini ternyata berasal dari Filipina. “I am not familiar with the city because I am not from here,” terang dia, ketika saya minta saran tentang tempat-tempat yang wajib dikunjungi. Jadi, meski gadis ini sudah enam bulan bekerja, selama itu pula dia cuma hidup di antara hotel dan di asrama karyawan saja.
Alasannya, karena di luar tidak aman! Memang, tingkat pengangguran yang sangat tinggi (konon mencapai sekitar 60%) dan maraknya penggunaan narkoba ikut memperburuk suasana keamanan Port Moresby.
Kota-kota lain dan kawasan pesisir di PNG seperti Lae, Wewak, New Britain, dan Pulau Manus, situasinya juga mirip, namun tidak separah kota ini.
Gangster Punya klub rugby
“Nama saya Rajalinggam,” begitu seorang pria setengah baya memperkenalkan diri. Dengan kendaraan putihnya, dia siap mengantar kami ke tempat “meeting” di kawasaan Jackson International Airport.
Pria yang bisa berbahasa Indonesia ini ternyata pernah tinggal dan bekerja di Indonesia cukup lama dan kebetulan dari etnis India yang berasal dari Malaysia.
“Hampir 90% pekerja di kawasan bandara merupakan pendatang,” demikian terang dia ketika mobil sudah meluncur melewati pintu gerbang yang dijaga ketat.
Raja pun bercerita, dia hanya bepergian dari tempat tinggal ke kantor setiap hari dan selalu berusaha pulang kerja sebelum Matahari tenggelam.
Ada beberapa tempat rawan di mana para raskol (dalam bahasa Tok Pisin berasal dari rascal alias begal) sering mengadang, merampok, kadang uga melukai korbannya.
Menurut informasi ada beberapa kelompok raskol kenamaan di sana seperti Bomai, Kip Koboni, Mafia, dan 585.
Kelompok Bomai termasuk yang paling ditakuti dan konon bermarkas di kawasan 4 Miles. Mereka melakukan segala bentuk kriminalitas dari mencuri, menggarong, membegal, membajak kendaraan, dan bahkan sampai memperkosa.
Oleh karena itulah di kota ini bukan saja para ekspatriat, tetapi juga penduduk lokal yang sudah mapan ikut menggunakan jasa pengamanan.
Ada pula kelompok Kip Koboni yang bermarkas di Kaugere, sebelah selatan kota. Bahkan kelompok ini memiliki klub rugby tersendiri yaitu Kaugere Buldog. Anggotanya umumnya berasal dari Suku Motu yang berasal dari pesisir di sekitar Port Moresby.
Pertarungan antarkelompok suku juga kadang-kadang meramaikan dunia hitam di Port Moresby. Selain Suku Motu, ada juga suku dari pegunungan yaitu Suku Tari.
Mahalnya rasa aman membuat pendatang maupun sebagian elite penduduk lokal hanya bisa menikmati keindahan kota ini dari balik kendaraan atau bangunan yang dikurung alat pengamanan.
Untuk bepergian terkadang harus beriringan dan dikawal ketat bak rombongan pejabat di Tanah Air. Karena kondisi itu, tak heran jika bisnis yang paling menguntungkan di kota ini adalah sekuriti.
Dampak lain, harga-harga serta biaya hidup menjadi jauh lebih mahal dibandingkan dengan di kotakota lainnya.
Dalam pengamatan saya, harga hotel di kota ini juga merupakan salah satu yang paling mahal di dunia, tak terkecuali Tokyo maupun New York. (Taufik Hidayat, kontributor Majalah intisari)