Intisari-online.com -Dilansir dari data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Indonesia tergolong tinggi.
Akhir 2018 lalu, LPP Indonesia berada di posisi 1,39%.
Artinya, tiap tahun ada 4,2 juta sampai 4,8 juta bayi baru lahir di Indonesia.
Tahun 2019, rencananya BKKBN menargetkan LPP turun di bawah 1,2%.
Kondisi ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di satu negara ini.
Jumlah kelahiran bayi tahun 2019 di negara ini hanya mencapai angka 900.000.
Angka ini sangatlah rendah bahkan dalam sejarah negara tersebut sejak tahun 1975.
Jika Pemerintah Indonesia berharap LPP menurun, pemerintah negara Jepang justru berharap LPP mereka naik.
Baca Juga: Inilah yang Terjadi pada Tubuh Setelah Rutin Minum Teh Serai, 6 Manfaat Kesehatan Akan Anda Dapatkan
Mereka berharap laju kelahiran naik 1,8%, dari sebelumnya hanya 1.42% di tahun 2018.
Krisis yang terjadi di Jepang adalah satu krisis mengerikan yang disebut 'hilangnya populasi manusia'.
Pasalnya, saat laju kelahiran menurun, laju kematian yang ada di negara tersebut tidak serta merta ikut menurun juga.
Laju kematian penduduk Jepang juga masih tinggi, menyebabkan populasi natural penduduk Jepang menurun mencapai total 512.000 saja.
Baca Juga: Pelaku Penyerangan Novel Baswedan Dengan Air Keras Tertangkap, Sebenarnya Apa Itu Air Keras?
Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya jumlah pasangan yang menikah, banyaknya masyarakat yang memilih hidup sendiri, dan pilihan masyarakat untuk tidak menikah.
Hal ini meresahkan pemerintah, sebab pemerintah masih mengurusi 'populasi menua' tanpa adanya generasi baru untuk meneruskan dinasti mereka.
Permasalahan populasi menua di Jepang telah menjadi masalah sendiri ketika banyak sekali masyarakat lansia yang masih memerlukan penanganan pemerintah.
Kondisi ini dipercaya pemerintah Jepang akan tetap berlanjut.
Di tahun 2021, diramalkan hanya ada 886.000 bayi lahir di Jepang, termasuk bayi non-Jepang.
Jika menjadi lansia di Jepang sangat sulit, belum lagi dengan mantan penderita kusta di Jepang.
Selama hampir 10 tahun dari 2009 sampai 2018, hampir 130 mantan penderita lepra atau kusta di 13 sanatorium milik pemerintah Jepang memutuskan untuk kembali ke fasilitas tersebut setelah sebelumnya kembali ke masyarakat.
Penyebab terjadinya kondisi ini adalah karena kurangnya institusi medis yang mampu merawat dengan baik mantan penderita lepra yang umur dan kesehatannya sudah menurun.
Penderita pun sulit untuk terbuka tentang pengalaman mereka dengan kondisi takut akan prasangka masyarakat dan diskriminasi yang mungkin terjadi.
Angka statistik menunjukkan 18 tahun semenjak pemerintah nasional memutuskan bahwa menkarantina penderita lepra adalah hal yang salah, penderita yang ingin keluar dari sanatorium merasa hidup di luar fasilitas untuk mendapatkan rasa tentram adalah sebuah kesulitan yang baru.
Tahun ini, 1016 mantan penderita lepra dengan umur 77 sudah kembali ke masyarakat.
Tetapi 1211 dengan umur rata-rata 86 masih hidup di 13 sanatorium yang tersebar di seluruh Jepang.
Selama 10 tahun, terdapat 10-20 orang yang masuk kembali ke sanatorium setiap tahunnya dan mencapai jumlah total 129.
Alasan mantan penderita lepra takut untuk kembali ke masyarakat adalah karena diskriminasi mendalam dan bias yang sudah mendarah daging di masyarakat.