Intisari-Online.com - Indonesia sudah kadung dikenal sebagai penggelontor sampah plastik di lautan terbanyak kedua di dunia setelah China. Julukan yang bermula dari hasil penelitian Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, itu menyebutkan bahwa Indonesia “mengirimkan” sampah plastik sebanyak 1,2 juta ton per tahun ke lautan. Sementara China 3,53 juta ton.
Meski Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai penelitian itu tidak memiliki parameter yang jelas, tak terbantahkan bahwa sampah plastik telah mengotori lautan. Foto ikonik kuda laut yang “menyangklong” cottonbud seakan menjadi puncak gunung es kondisi itu. Juga 5,9 kg sampah plastik yang berada di perut paus sperma yang terdampar di Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada akhir 2018.
Selain itu, seperti yang dikatakan peneliti oseanografi LIPI, Muhammad Reza Cordova, kepada kumparan, merujuk pada perhitungan kasar dengan asumsi sederhana, diperkirakan 100 ribu hingga 400 ribu ton plastik per tahun yang dikonsumsi masyarakat Indonesia masuk ke wilayah laut.
Data lain menyebutkan, sebanyak 80 persen sampah baik plastik maupun non-plastik berasal dari kegiatan di darat. Sisanya, 20 persen, berasal dari kegiatan perkapalan, transportasi laut, dan bisa juga berasal dari luar wilayah Indonesia (transboundary debris).
Padahal, 70 persen wilayah Indonesia adalah laut. Kemudian, berdasarkan organisasi pangan PBB, FAO, diprediksi pada 2050 Indonesia akan lebih banyak mendapat sumber pangan dari laut ketimbang darat.
“Makan” plastik dong kita?
Membeli seperlunya
Banyak upaya dilakukan, baik oleh Pemerintah dan swasta, untuk mencegah meluasnya sampah plastik itu. Beberapa individu juga berkomitmen untuk mengurangi penggunaan plastik. Salah satunya melalui toko yang menjual barang curah alias tanpa kemasan.
Ditemui di tokonya, Naked Inc., di kawasan COMO Park, Kemang, Jakarta Selatan, Kiana Lee bercerita banyak soal toko yang di luar negeri dikenal dengan nama bulkstore itu. Sudah lama ia menjalankan hidup sehat. Walakin, sebatas dirinya sendiri. “Kalau saya masak, ya biasanya buat saya sendiri. Orang lain belum tentu sesuai dengan masakan saya. Termasuk Mama saya,” kata Kiana yang sudah lama mengonsumsi pangan organik ini.
Ketika bulan Februari 2019 Kiana berlibur ke Taman Nasional Tanjung Puting, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, ia bisa membuktikan sendiri betapa banyaknya sampah plastik. Jika sebelumnya ia tahu dari media saja soal sampah plastik ini, sekarang ia melihat dengan mata kepala sendiri.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR