Advertorial
Intisari-Online.com -Sosok masinis yang menjadi terpidana dalam kasus kecelakaan kereta api di Bintaro, Oktober 1987, sempat kembali mencuat pada pertengahan Oktober silam.
Ya, setelah 32 tahun berlalu, sosok masinis dalam kecelakaan yang terkenal dengan sebutan Tragedi Bintaro tersebut tiba-tiba muncul kembali.
MelaluichannelYouTube Kisah Tanah Jawa, Slamet Suradio berbagi kisah tetang kecelakaan yang melibatkan KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakartakota dan KA 220 jurusan Tanahabang-Merak.
Slamet yang dihukum penjara atas kecelakan tersebut tetap merasa bahwa bukan dirinyalah yang bersalah dalam kecelakan tersebut.
Dia sendiri dihukum karena diduga memerangkatkan sendiri kereta dari stasiun tanpa adanya perintah atau aba-aba.
Sejak itulah kisah hidupnya menjadi penuh kemuraman, termasuk ditinggal istrinya sendiri.
Menariknya, sebuah artikel lawas mengungkapkan bahwa sang istri yang terpaut usia 22 tahun dengan dirinya sudah punya rencana meninggalkan sang masinis sejak persidangan mulai berlangsung.
Mari kita simak kisahnya.
Slamet akhirnya harus menjalani hukuman penjara selama kurang lebih 3 tahun 3 bulan.
Karena hal itu, istrinya pun meninggalkannya dan minta cerai.
Usai keluar dari penjara, Slamet pun harus menelan kenyataan pahit lantaran istrinya sudah direbut rekan sesama masinis.
Namun Slamet berusaha ikhlas atas keadaan tersebut.
Kini Slamet masih menunggu haknya sebagai pensiunan PT KAI.
Proses hukum yang sempat menjeratnya membuat Slamet tak bisa mendapatkan hak layaknya pegawai yang lain.
"Saya mohon hak saya dikeluarkan, uang pensiun," ungkap Slamet.
"Karena sekalipun saya dipenjara ‘kan bukan karena saya berbuat jahat, ‘kan ini musibah, kecelakaan," lanjutnya.
Soal Slamet yang ditinggalkan istrinya, ternyata sebuah artikel lawas seolah menjadi 'penanda' bahwa hal itu memang bakal terjadi.
Dalam artikel berjudul "Kasni Mencoba Setia" yang tayang di Tabloid Nova edisi April 1988, terungkap bahwa istri Slamet sudah berpikir tentang rencana berpisah dengan sang masinis sejak persidangan masih berlangsung.
Berikut ini artikel lengkapnya.
"Bagaimana kabar anak-anak? Tabah saja, ya. Saya tak usah dipikirkan!"
Kalimat itu senantiasa diucapkan SS. (52), masinis kereta api Rangkasbitung — Tanah Abang yang mendapat musibah di Bintaro Oktober tahun lalu, kepada istrinya, Kasni (30), setiap kali bertemu.
Dua kali seminggu Kasni mendengarnya, saat menjenguk SS di Rutan Cipinang.
Hampir dua bulan sudah SS meringkuk di Cipinang. Dan setiap kali menjenguk, Kasni tak pernah lupa membawa makanan untuk suaminya itu.
SS sebenarnya tak pernah meminta macam-macam, kecuali Senin (11/4) pekan lalu, minta dibawakan sepatu.
Baca Juga: Kisah Kudus, 10 Tahun Hidup Tanpa Listrik di Jakarta, 'Ya Sudah Biasanya Gelap-gelapan Seperti Ini'
"Sepatu itu akan dipakainya untuk datang ke persidangan. Soalnya sepatu dia satu-satunya untuk bekerja, hilang ketika terjadi kecelakaan Bintaro dulu," kata Kasni.
Waktu itu Kasni tak bisa memenuhi permintaan SS. Tapi keesoKan harinya, Selasa (12/4), ketika SS disidangkan untuk pertama kalinya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kasni membawakan sepatu yang diinginkan SS.
"Sepatu itu hasil pembelian rekan-rekannya," ujar Kasni, ketika ditemui NOVA. Sayang, sepatu itu tak sempat dipakai SS karena Kasni datang terlambat. SS disidangkan pukul 09.30, sementara Kasni baru datang pukul 11.00.
Sejak SS tak bisa bekerja lagi dan terus berada di bawah pengawasan pihak berwajib, Kasni mengaku terpaksa mencari penghasilan tambahan.
Sebulan belakangan ini, ia membuka -waning nasi di Stasiun Dipo Lokomotif Tanah Abang. Sebab Kasni kini hanya menerima separoh dari gaji yang biasa diterima suaminya setiap bulan. Jumlahnya Rp. 69.000.
Uang sebanyak ini, jelas tak mungkin cukup untuk menghidupi tujuh anak selama sebulan.
Tujuh anak itu, memang bukan anak kandung Kasni semua. Sebab, ketika menikah dengan SS sembilan tahun silam, SS adalah duda beranak lima. Kasni sendiri waktu itu janda beranak satu.
Perkawinannya dengan SS, membuah seorang putri. Kini berusia- delapan tahun. Keadaan anak-anak itu sekarang nyaris cerai berai. Dua orang dititipkan di Parung Panjang, Bogor. Lima lagi di rumah neneknya.
Karena ketiadaan biaya, empat anak tirinya yang kini duduk di bangku SMP dan SLTA, terpaksa berhenti sekolah. Rumah kontrakan di Parung Panjang, telah pula habis masa sewanya Maret lalu.
"Sampai saat ini, saya belum mengangsur uang kontrakan sebesar tujuh- ratus lima puluh ribu itu," kata Kasni sendu.
Kasni memang pernah menerima sumbangan. Januari lalu, misalnya, ibu-ibu Dharma Wanita Dirjen Perhubungan Darat, mengunjungi sambil menyerahkan bingkisan.
"Tapi saya kan ngga bisa terus-menerus mengandalkan belas kasih orang," ujarnya lirih.
Bagi Kasni, peristiwa kecelakaan kereta api yang meminta korban jiwa 129 orang itu, memang sebuah mimpi buruk.
Bukan saja karena kasus itu telah menyeret suaminya ke pengadilan sebagai terdakwa, tapi Buang Sarino, anak tirinya paling sulung, ikut pula tercatat sebagai korban kecelakaan. Kakinya patah.
Siswa STM Muhammadiyah, Rangkas Bitung ini, memang ikut menumpang kereta api yang dikemudikan ayahnya pada hari naas itu. Bersama teman-temannya, Buang bermaksud praktek kerja di Stasiun Tanah Abang.
Kasni sendiri, katanya, sudah punya firasat sebelumnya. "Malam sebelum kejadian itu saya bermimpi, di rumah saya ada kendurian. Banyak tamu berdatangan," katanya.
Sementara hari-hari penuh derita dilewati Kasni, kini harapannya cuma satu: Mudah-mudahan di persidangan nanti, suaminya terbukti tidak bersalah, sehingga bisa berkumpul lagi bersama Kasni dan tujuh anak mereka.
Untuk itu, Kasni menuturkan, akan mencoba sttia menunggu SS bebas. Tapi sampai kapan penantian itu, Kasni tak bisa memastikan. "Kalau dia dipenjara seumur hidup, apa iya saya mampu menunggu dan tak kawin lagi?" tanyanya, seperti pada diri sendiri.
Ya, niat untuk meninggalkan Slamet sudah muncul dari Kasni sejak sang masinis masih menjalani persidangan.