Advertorial

Ada 'Agresivitas Terpendam' di Balik Reaksi 'Bahagia' Warganet Terhadap Kabar Penusukan Wiranto, 'Mereka Merasa Terbalaskan'

Ade S

Editor

Guru besar psikolog UGM mencoba menganalisis tentang banyaknya warganet yang 'bahagia' dengan kabar penusukan Wiranto.
Guru besar psikolog UGM mencoba menganalisis tentang banyaknya warganet yang 'bahagia' dengan kabar penusukan Wiranto.

Intisari-Online.com -Ada reaksi tak biasa dari sebagian masyarakat Indonesia terkait penusukan yang dialami olehMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, Kamis (10/10/2019).

Reaksi tak biasa yang dimaksud, yang oleh sebagian orang dianggap ironis, adalah adanya masyarakat yang merasa bahagia.

Ya, dari sebagian besarkomentar tentang tragedi yang menimpa Wiranto, sebagian orang yang justru merasa "senang".

Psikolog Sosial Hening Widyastuti dalam artikel sebelumnya menyampaikan bahwa hal ini terkait dengan hubungan sebab akibat dari peristiwa masa lalu.

Baca Juga: Terungkap, Ini Alasan Wiranto Ditusuk dengan Kunai, Ada Perintah Khusus dan Memang 'Tidak Sembarangan'

Lantas, bagaimana kata ahli lain atas reaksi warganet yang mengomentari tragedi Wiranto ditusuk?

Guru besar psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro sependapat dengan Hening.

Kepada Kompas.com, Koentjoro menyampaikan bahwa reaksi warganet yang justru tak simpatik dengan apa yang menimpa Wiranto merupakan wujud agresivitas yang terpendam.

Agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik atau verbal.

Baca Juga: Mengapa Penusukan Wiranto Jadi 'Kabar Gembira' Bahkan Dianggap 'Berita Menyenangkan' oleh Sebagian Besar Masyarakat?

"Jadi begitu ada kabar itu (Wiranto diserang dan ditusuk), meledak sebagai suatu kegembiraan. Ini semuanya adalah dampak dari yang kemarin-kemarin, pemilu kemarin," kata Prof Koen melalui sambungan telepon, Jumat (11/10/2019).

"Ini hubungan dari, kalau istilah saya, terjadi echo chambering yang kemudian membuat bias kognitif," sambung dia.

Prof Koen menjelaskan, ketika echo chambering atau keyakinan-keyakinan tertentu bergaung pada suatu kelompok sudah menjadi bias kognitif, maka akan menimbulkan kebencian yang sangat kuat dalam diri seseorang.

"Ketika kebencian sudah sangat kuat, dan ada kejadian seperti kemarin (yang menimpa Wiranto), maka kemudian mereka akan bersyukur," jelasnya.

Sederhananya, Koen menjelaskan rasa bahagia dan tak simpatik yang diungkapkan sebagian orang adalah dampak dari peristiwa sebelumnya. Ada hubungan sebab akibat, antara peristiwa sebelumnya dengan sekarang.

"Ini tidak berdiri sendiri-sendiri. (Fenomena) ini muncul karena peristiwa-peristiwa yang lalu," tegas dia.

Koen menjelaskan, keyakinan-keyakinan yang ada dalam kelompok bisa saja gaungnya menipis, tapi bukan berarti hilang sepenuhnya.

Ketika mendadak ada suatu kesempatan yang berhubungan dengan kebencian tadi, maka akan meledak dan memunculkan kegembiraan.

Baca Juga: Pelaku Penusuk Wiranto Ternyata Tak Tahu Jika Korbannya Adalah Wiranto, Hanya Nekat Beraksi Karena Hal Ini

"Seakan-akan (kebenciannya) terbalaskan," ungkapnya.

Tidak berhubungan dengan pelaku

Dikatakan Koen, peristiwa semacam ini tidak ada hubungannya dengan motif dari pelaku kejahatan, dalam hal ini pelaku yang menusuk Wiranto.

Dia menjelaskan, ada banyak kelompok yang memiliki kebencian pada seseorang, di mana masing-masing memiliki alasan berbeda.

"Siapa saja yang bisa membuat seseorang (yang dibenci) sakit, maka yang lain akan terpuaskan," jelasnya.

(Gloria Setyvani Putri)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menurut Guru Besar UGM, Ada Echo Chambering dalam Sinisnya Warganet pada Wiranto".

Baca Juga: Saat Wiranto Terima 'Supersemar' dari Pak Harto, SBY: Apakah Panglima akan Mengambil Kekuasaan?

Artikel Terkait