Advertorial
Intisari-Online.com – Siapa sih yang tidak mengenal Kim Kardashian?
Salah satu sosialita dari keluarga Kardashian dikenal karena popularitas, kekayaan, dan kecantikannya.
Namun baru-baru ini, ada kabar tak baik menghampiri Kim Kardashian.
Apa itu?
Dilansir dari eonline.com pada Senin (9/9/2019), dalam premier reality show Keeping Up the the Kardashians pada Minggu (8/9/2019), Kim Kardashian sedang berkonsultasi dengan Dr. Daniel Wallace.
Hal ini terkait masalah kesehatan.
Diketahui Kim punya segudang aktivitas dan hal tersebut sering membuatnya mengalami masalah kesehatan.
Oleh karenanya, Kim menjalani sejumlah tes darah untuk menentukan penyebab masalah kesehatannya.
Nah, hasilnya mengejutkan.
"Antibodi Anda positif Lupus dan Rheumatoid Arthritis," jelas Dr. Daniel Wallace.
Sebelum menjelaskan diagnosisnya, Dr. Wallace lebih dulu menjelaskan beberapa gejala lupus, di mana beberapa gejala sering dialami Kim. Seperti nyeri sendi dan lelah berlebihan.
Meski demikian, Dr. Wallace mengingatkan bahwa hasil tes ini mungkin saja belum akurat.
Kim sendiri mengaku takut. Dan dia pun meminta dukungan dari keluarganya.
Selain Kim Kardashian, Selena Gomez juga pernah mengalaminya.
Pada tahun 2017 lalu, Selena Gomez mengungkapkan bahwa dia telah menerima cangkok ginjal dari sahabatnya, Francia Raisa.
Ginjal yang berasal dari sahabatnya sendiri tersebut dicangkok terkait penyakit lupus yang diderita oleh Selena.
Lupus yang tergolong penyakit autoimun ini memang menjadi ‘hantu’ bagi para wanita.
Gejalanya mirip penyakit biasa, namun dampaknya bisa sangat fatal.
Untuk mengetahui lebih jelas apa itu lupus, mari kita simak artikel berjudulAgar Senjata Tak Makan Tuanyang ditulis oleh M. Sholekhudin di MajalahIntisariedisi Juni 2006.
Gejalanya bermimikri
Ada banyak orang di dunia yang dibuat sakit oleh antibodi tubuhnya sendiri. Kalangan medis menyebutnya penyakit autoimun.
Penyakit ini sedikit seksis, karena lebih banyak menyerang wanita daripada pria.
Di seluruh dunia ada jutaan orang yang menderita penyakit autoimun.
Menurut Karnen Garna Baratawidjaja, dalam buku Imunologi Dasar (terbitan FKUI), angka kejadiannya diperkirakan sekitar 3,5% dari populasi. Salah satu penyakit autoimun yang populer adalah lupus.
Pada orang sehat, antibodi bertindak sebagai tentara yang melindungi tubuh dari serangan kuman.
Sedangkan pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS), sistem kekebalan itu melemah, sehingga mereka sangat rentan terinfeksi.
Pada penderita gangguan autoimun, antibodi menjadi hiperaktif dan liar. Bukan hanya bakteri yang diserang, organ tubuh sendiri pun menjadi sasaran.
Karena menyerang kawan sendiri, mereka disebut autoantibodi. Jika sedang liar, autoantibodi ini bisa menjadi ganas.
"Manifestasi penyakitnya bermacam-macam," kata dr. Nanang Sukmana, Sp.PD, KAI, pengajar pada Divisi Alergi dan Imunologi Klinik FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Pada sebagian orang, autoantibodi ini menyerang organ tertentu saja, misalnya pankreas atau kelenjar tiroid.
Jika menyerang sel pankreas (penghasil hormon insulin), ia bisa menyebabkan diabetes tipe satu (diabetes yang tergantung insulin). Jika menyerang kelenjar tiroid, ia menyebabkan tiroiditis.
Sementara pada sebagian orang yang lain, autoantibodi menyerang secara membabi buta, bukan organ tertentu saja.
Pada penderita lupus, misalnya, autoantibodi menyerang banyak organ, sehingga gejalanya sangat beragam.
Ketika menyerang kulit, ia bisa menyebabkan ruam di wajah dan sekujur tubuh. Dalam kondisi parah, kulit bisa bersisik dan mengelupas, sehingga tampak seperti ular yang sedang berganti kulit.
Jika menyerang mukosa mulut, ia menimbulkan seriawan yang tak sembuh-sembuh. Saat menyerang persendian, ia menyebabkan artritis rematoid.
Artritis inilah yang menyebabkan Rusnita hanya bisa berjalan dengan satu kaki. Ini pula yang menyebabkan jari-jarinya terasa nyeri, meskipun hanya dipakai untuk mengetik.
Lalu jika autoantibodi menyerang sel darah merah, ia menyebabkan anemia. Ini pula yang menjelaskan mengapa anemia Rusnita tak sembuh-sembuh, meskipun ia telah mimun obat-obatan penambah darah.
Selanjutnya, jika menyerang ginjal, fungsi filter darah akan menurun.
Bisa dikendalikan
Hingga kini, penyebab penyakit di atas masih belum berhasil diungkap tuntas. Obat yang benar-benar menyembuhkan pun belum ditemukan. Obat yang kini tersedia sebatas meredam gejala.
Sepertinya kabar buruk. Meski begitu, penyandang penyakit autoimun tetap punya kabar bagus.
Walaupun tak bisa sembuh, "Penyakit ini bisa dikendalikan sehingga penderita punya kualitas hidup yang baik," jamin Nanang Sukmana.
la tidak sekadar asal bicara, tapi telah membuktikan sendiri. Saat awal didiagnosis lupus nefritis, penyakitnya sudah stadium tiga, stadium gawat.
Tapi dengan perubahan total pola hidup dan disiplin ketat, kini ia bisa menjalankan aktivitas sehari-hari secara normal.
Ia tetap bisa berkebun, memasak, mengurusi anaknya yang masih berumur lima tahun, menulis, menjadi konsuhan, bahkan melakukan kegiatan kampanye peduli lupus.
Penderita bisa memperoleh kualitas hidup yang baik, asalkan disiplin menjalani terapi farmakologis dan pengaturan pola hidup.
"Keduanya sama penting. Jangan sampai hanya mengandalkan obat saja," saran Nanang.
Supaya antibodi tidak hiperaktif, ia harus diredam dengan obat-obat imunosupresan. Susahnya, ketika sistem kekebalan ditekan, tubuh jadi lebih gampang terkena infeksi.
Ditambah lagi, terapi ini juga menimbulkan efek negatif lain, misalnya risiko pengeroposan tulang dan peningkatan kadar gula darah.
Obat-obat tertentu menyebabkan pemakainya mengalami perubahan psikologis menjadi sensitif: gampang marah dan sedih.
Karena banyaknya efek negatif ini, terapi penyakit autoimun harus betul-betul menimbang rasio antara risiko dan manfaat.
Untuk mencegah pengeroposan tulang, pasien harus mendapat cukup asupan kalsium, baik dari makanan maupun dari suplemen.
Selain terapi farmakologis, penderita penyakit autoimun juga harus sungguh-sungguh memperhatikan pola hidupnya.
Semua pemicu harus dihindari sejauh-jauhnya. Salah sedikit saja, autoantibodinya bakal mengamuk.
Melihat hal ini, Nanang Sukmana dan Rusnita (salah satu penderita Lupus) punya beberapa resep.
Pertama, hindari stres. Urusan ini memang gampang diucapkan, tapi praktiknya tak semudah bicara.
Berdasarkan pengamatan Nanang, kebanyakan pasiennya mengalami perubahan kejiwaan setelah 3 - 6 bulan sejak didiagnosis menderita lupus. Bentuknya mulai dari stres ringan sampai depresi.
Umumnya, mereka sedih karena memikirkan penyakit yang mereka derita.
Maklum, penyakit ini tergolong berat dan membutuhkan perawatan jangka panjang atau bahkan seumur hidup.
Belum lagi masalah sosial akibat penyakit ini. Pada lupus yang menyerang kulit, penderita (terutama wanita) bisa mengalami depresi karena merasa tak cantik lagi.
Keadaan itu bakal diperparah oleh fakta, bahwa penderila tidak bisa seproduktif semula.
Seperti yang terjadi pada Rusnita yang terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Kondisi itu persis seperti lingkaran setan. Lupus membuat penderita stres. Sedangkan stres membuat lupus semakin berat.
Pada pasien dari kelas ekonomi pas-pasan, vonis lupus bisa menimbulkan problem fulus.
Sebagai gambaran, saat awal mendapat terapi, Rusnita harus menyiapkan minimal Rp 5 juta tiap bulan. Itu hanya untuk obat, belum biaya perawatan tubuh untuk menghindari efek negatif lupus di kulit.
Sekarang, di masa remisi (tahap penjagaan), ia masih harus merogoh kocek minimal Rp 2 juta per bulan.
Karena masalah-masalah itulah, dokter, keluarga, dan lingkungan harus turut memberi pengertian dan dukungan agar pasien tetap tenang. Ketenangan jiwa bisa diperoleh lewat banyak cara.
Sebagian orang mungkin menemukan ketenangan lewat meditasi dan belajar memahami makna hidup. "Kalau saya, meditasinya salat tahajud," kata Rusnita.
Resep kedua, hindari kelelahan. Mirip stres psikis, kelelahan fisik juga bisa membuat autoantibodi tak terkendali.
"Orang seperti saya harus strategis mengatur jadwal, jangan sampai capek. Jangan, terlalu banyak bikin janji," kata Rusnita.
Dalam berolahraga pun, penderita sebaiknya menghindari jenis olahraga yang terlalu membebani tubuh.
Yang penting, tubuh terlatih tanpa menimbulkan rasa capek yang berlebihan.