Advertorial

Kecelakaan Maut di Tol Cipularang: Pakar Sebut Ada Gelombang Magnet 'Pengganggu' di Sekitar Lokasi Kejadian, Bisa Picu Halusinasi

Ade S

Editor

Kecelakaan maut yang melibatkan 21 kendaraan dengan 6 diantaranya terbakan di Cipularang membukan kembali 'keangkeran' km 90 Cipularang.
Kecelakaan maut yang melibatkan 21 kendaraan dengan 6 diantaranya terbakan di Cipularang membukan kembali 'keangkeran' km 90 Cipularang.

Intisari-Online.com -Kecelakaan maut terjadi di Tol Cipularang kilometer 91, Senin (2/9/2019).

Kecelakaan beruntun tersebut melibatkan 21 kendaraan dengan enam diantaranya terbakar.

Hingga berita ini diturunkan, dikabarkan 6 orang tewas sementara 8 orang mengalami luka-luka.

"Jadi laka beruntun pukul 13.00 WIB sementara jumlah kendaraan ada sekitar 21 kendaraan," ujar Kasatlantas Polres Purwakarta AKP Ricki Adipratama, seperti dilansir INTISARI dari kompas.com.

Baca Juga: Belasan Mobil Terlibat Tabrakan Beruntun di Cipularang, 6 Mobil Terbakar: Bukan Mistis, Ini Alasan Banyak Kecelakaan di Km 90-100 Tol Cipularang

Akibat kecelakaan ini arus lalu lintas di sekitar lokasi padat.

Kilometer 90-100 sendiri dikenal sangat rawan akan kecelakaan. Pedangdut Saiful Jamil pernah menjadi korbannya.

Menurut ahli, salah satu penyebabnya adalah keberadaan gelombang yang bisa mengganggu pengemudi.

Seperti apa gelombangnya serta gangguan apa yang ditimbulkan? Mari kita simak ulasan lengkapnya berikut ini.

Baca Juga: Mudik Lebaran, Dikira Masuk Angin Eh Fitri Malah Melahirkan di Mobil di Rest Area Cipularang

Di luar kehebatan teknisnya Cipularang juga menyimpan misteri. Ada banyak cerita misteri di baliknya. Ketik saja "misteri tol cipularang" di mesin pencari Google dan akan Anda temui ratusan ribu laman berkenaan soal itu. Meski bisa saja laman itu saling terkait, namun tetap saja meninggalkan kesan bahwa tol ini angker.Lepas dari keangkeran itu, tol Cipularang memang unik karena ia melintasi daerah yang patut diwaspadai. Seksi 2 di ruas Purwakarta - Plered, secara geologis berada di wilayah batuan sedimen.

Mulai sekitar Km 83 yang masuk kawasan Purwakarta Selatan hingga sekitar 7 km berikutnya ke arah Bandung, badan jalan harus melintasi dua wilayah batuan lempung, yaitu Batuan Lempung Subang dan Batuan Lempung Jatiluhur. Sedangkan selebihnya hingga ke Padalarang, berada di tanah batuan vulkanik.

Mendirikan suatu struktur bangunan di atas batuan sedimen yang terbentuk pada zaman tersier ini memang bukan perkara mudah. Umur batuan muda, sekitar lima juta tahun, membuat sifat pergeserannya tinggi alias gampang longsor. Longsoran-longsoran kecil bahkan sudah terjadi jauh sebelum pembangunan dilakukan.Masalah mulai timbul ketika batuan lempung yang dikupas kemudian terpapar udara atau air hujan. Kandungan mineral monmorilonit di dalam batuan akan mengembang.

Apalagi kadar monmorilonit di dua wilayah itu tergolong tinggi, bahkan di atas 50%. Batuan Lempung Subang dan Batuan Lempung Purwakarta seperti dibangkitkan dari tidur panjangnya.Sebenarnya, kondisi tadi bisa diantisipasi. Paling tidak, Dr. Imam Sadisun, geolog dari Institut Teknologi Bandung meyakinkan, antisipasi sang kontraktor (dalam hal ini PT Adhi Karya) terhadap ancaman longsor di Cipularang umumnya sudah baik. Ini sesuai dengan perencanaan awal proyek.

“Kita bisa melihat potongan lereng yang cukup landai di (wilayah) batuan lempung ini. Juga adanyatreatmenttimbunan tanah, jaring-jaring, ditambah drainase. Jadi, secara teoritis aman-aman saja,” jelas Imam. Jika kebetulan melintasi Cipularang, kita dapat menyaksikan sendiri antisipasi yang dimaksud. Dari jalur A (ke arah Bandung) antisipasi itu berada di kanan jalan.Wilayah batuan sedimen yang dilintasi langsung badan jalan bahkan tidak terlalu panjang. Sekitar 800 m, antara Km 91 - 92, yang menghubungkan Desa Pasir Munjul, Kecamatan Sukatani, dengan Kecamatan Pasir Honje.

Baca Juga: Sate Maranggi Cibungur Tak Terlindas Cipularang

Dengan segala pertimbangan, bahkan sempat mengemuka pemikiran untuk membangun sebuah jembatan di atasnya. Jembatan memang lebih mudah dikerjakan, meski biayanya tidak murah.Namun, entah mengapa, keputusan yang belakangan diambil justru menimbun wilayah yang labil itu. Timbunan setinggi 35 m dan menghubungkan dua bukit itu konon merupakan yang tertinggi di Indonesia!Terhadap solusi itu, Imam menyatakan tidak keberatan, karena secara teknis hal itu dapat dilakukan.

“Tapi syaratnya, harus dilakukan investigasi longsoran secara detail dan akurat. Penyelesaiannya juga jangan setengah-setengah,” tandasnya. Namun, hingga jalan tol resmi digunakan, ia mengaku belum melihat pemetaannya.

Waspadai jalur “S”

Masalahnya, berdasarkan pengamatan geolog kelahiran Purworejo ini, wilayah sekitar Pasir Munjul sebenarnya masih menyimpan potensi longsoran. Bahkan sifatnyamultiple succesive sliding, atau kumpulan longsoran kecil di dalam sebuah longsoran besar yang ujungnya di sistem lembah terbawah yaitu di sungai. Nah, akankah ini berbahaya? Imam tidak berkomentar lebih jauh.Yang jelas, hanya tiga bulan sejak diresmikan, prestasi Cipularang sudah tercoreng. Ruas jalan di Km 91+400 wilayah Dusun Batu Datar didapati amblas sedalam 50 cm. Akhir November 2005, terdapat tiga amblasan jilid dua, yaitu antara Km 91+600 – 91+925, yang berada di wilayah Pasir Honje. Akibatnya, jalan tol itu sempat ditutup sementara.Kabar ini tentu mengejutkan masyarakat pengguna jalan, karena menyangkut keselamatan mereka. Untungnya, pihak pengelola jalan, yaitu PT Jasa Marga, secara sigap langsung melakukan perbaikan. Bahkan khusus di kawasan rawan amblas ini didirikan pos pengamatan untuk memantau kondisi jalan selama 24 jam.

Baca Juga: Tol Cipularang: Berisiko Tapi Bisa Diantisipasi

Menurut PT Jasa Marga, kejadian di Pasir Honje disebabkan patahnya gorong-gorong saluran air di bawah jalan. Soal ini dibenarkan Dr. Adrin Tohari, geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang sempat mempelajari areal di sekitar lokasi amblasan.

“Patahnya kemungkinan akibat pergerakan tanah, tapi tidak terdeteksi sebelumnya. Jadi, ketika air menumpuk, terjadi lubang besar di dalam,” demikian analisisnya.Jika tidak tersalurkan, akumulasi air memang bisa jadi biang kerok amblasan di wilayah batuan sedimen. Apalagi diketahui, susunan batuan di TKP (tempat kejadian perkara) terdiri atas endapan vulkanik berupa tufa, lalu di bawahnya aluvial purba (bekas aliran sungai purba), sedangkan paling dasar barulah batuan lempung.Air dalam volume besar, seperti di musim hujan, akan mentok dan terakumulasi dalam batuan paling dasar setelah terserap oleh tufa dan aluvial. Dari sanalah mulai timbul pergerakan tanah.Kejadian di sekitar wilayah batuan sedimen Cipularang tentunya tidak mencerminkan kondisi di Cipularang seluruhnya. Secara umum, jalan tol dinyatakan layak digunakan. Hanya saja, tetaplah terus berdoa dan taatilah peraturan lalu lintas.Terlebih, dari sisi lalu lintas, wilayah ini kebetulan termasuk daerah rawan kecelakaan. Dari arah Bandung, jalannya menurun tajam dan berkelok seperti huruf “S”. PT Jasa Marga memasang banyak rambu agar pengguna jalan mengurangi kecepatan dan lebih berhati-hati.

Bikin halusinasi

Perhatian lebih mesti diarahkan ke turunan seperti huruf "S" tadi. Boleh percaya boleh tidak soal keangkeran di wilayah ini. Tapi singkirkan dulu syak wasangka itu dan dengar apa kata Agus Budi Wibowo, ahli radiestesi dari Jakarta.

Baca Juga: Belasan Mobil Terlibat Tabrakan Beruntun di Cipularang, 6 Mobil Terbakar: Bukan Mistis, Ini Alasan Banyak Kecelakaan di Km 90-100 Tol Cipularang

Sepanjang jalur tol yang membentang mulai dari pintu tol Dawuan (di jalur tol Jakarta - Cikampek) hingga Padalarang terdapat sejumlah potensi gangguan dari gelombang geopati. Asalnya dari tanah dan aliran air. “Bisa saja (gelombang geopati itu) berpengaruh pada mereka yang melintas,” katanya.Berdasarkan “pengelihatan” Agus melalui peta kawasan itu, setidaknya terdapat dua gangguan yang berasal dari tanah dan sembilan berasal dari air. Soal gangguan dari tanah, lokasinya antara Km 60 - 70 dan Km 86 - 90. Sedangkan gangguan dari aliran air umumnya membentang dari timur laut ke barat daya yang terbentang di jalan sepanjang 59 km itu.“Gangguan terbanyak berasal dari tanah, air, atau ‘lainnya’, ada di antara kilometer 83 dan 93 seperti yang ada di peta. Untuk tahu persisnya, saya harus ada di lokasi,” jelas murid Romo Lukman, ahli radiestesi dari Purworejo ini.Radiestesi itu ilmu yang mempelajari lokasi sumber medan magnet dari Bumi. Gelombang medan magnetik yang umumnya berasal dari tanah, aliran air, atau bahkan supranatural, diyakini dapat mengganggu manusia. Ilmu ini dapat juga dipakai mencari gangguan di rumah, atau pada tubuh, dalam pengobatan.Menurut Agus, gangguan yang timbul di jalan raya bisa saja mengganggu pengendara, walau mereka hanya melintas sekejap. Efeknya bisa berupa rasa tidak nyaman, pusing, atau bahkan halusinasi.

“Saya tidak tahu apakah ada kejadian aneh di sana. Saya hanya mendengarnya dari Anda,” tuturnya ketikaIntisarimengonfirmasi beberapa kabar burung tentang angkernya Cipularang.Untuk menetralkan gelombang negatif, menurut Agus, di suatu lokasi perlu ditanam kumparan khusus terbuat dari tembaga murni. Bagi pengguna jalan, kumparan sejenis bisa dipasang pada kaca spion kendaraan.

Alat itu biasanya digunakan sebagai penetral gelombang yang berasal dari getaran badan kendaraan agar tidak mengganggu manusia di dalamnya.Yang penting, saat melintas tol ini berhati-hati dan pastikan semua dalam kondisi fit, baik mobil maupun pengemudinya. Jika mengantuk tidur sebentar di tempat peristirahatan. Jaga kecepatan, syukur mau mematuhi aturan kecepatan yang sudah ditetapkan pihak pengelola jalan tol.

Baca Juga: 22 Tahun Kematian Putri Diana: 'Charles Ingin Saya Mati dalam Kecelakaan'

(Tjahjo Widyasmoro)

Artikel Terkait