Arra menuturkan, bakat untuk membaca garis tangan sudah dimilikinya sejak remaja. Ternyata setelah dia secara serius mempelajari teorinya lewat buku, semuanya cocok. Dia hanya tinggal mendalami saja.
Adapun soal kemampuan mata batinnya juga sudah dirasakan sejak lama, hanya saja Arra semula menampiknya.
Penolakan pada tahap awal itu juga terjadi pada Honga. Semata karena dia ada perasaan tidak percaya pada ramalan dan selalu ingin berpikir logis.
Namun kini justru dia merasakan kemampuannya ini sebagai anugerah. Setelah memperlajari secara serius pada 1998, baru pada 2002 Honga yang tidak mau ditulis nama aslinya ini menjalani pekerjaannya secara profesional.
Sementara Karahiyang, justru awalnya menekuni ilmu penyembuhan. Awalnya dia memakai medium air, kemudian beralih ke telur ayam kampung.
Belakangan setelah berkenalan dengan kartu tarot dia merasa cocok untuk menekuni dunia ramalan. “Intinya sih panggilan dan memang karena ingin menolong orang lain,” begitu tutur dia.
Menolong sesama memang bisa beragam cara, salah satunya bisa jadi dengan ramalan.
Ivan Sujana M.Psi, Psikolog Klinis: “Semua Takut Akan Ketidakpastian”
Orang-orang yang pergi ke peramal sesungguhnya sangat bisa dipahami.
Pada dasarnya semua manusia mencari kepastian dan tidak ada yang suka dengan ketidakpastian. Dunia ini makin uncertain, sehingga dapat dipahami jika orang ke peramal untuk mendapat hint, “what should I do”.
Sebenarnya bukan masa depannya yang ditakutkan, tapi ketidakpastiannya. Sesuatu di masa depan, karena belum terjadi, maka sifatnya tidak pasti.
Nah, untuk mengurangi kecemasan itu orang-orang ini berusaha memperjelas uncertainty-nya dengan mencari certainty lewat peramal.
Kecemasan bisa dihilangkan dengan membuat pengalihan. Hedonism misalnya. Dengan mencari entertainment, juga merupakan salah satu yang digunakan masyarakat untuk “melupakan sesaat” kecemasan mereka.
Antara ke entertainment dengan peramal memang sama-sama bertujuan “melupakan sesaat” kecemasan. Bedanya, kalau ke entertainment si pelaku tidak menghadapi masalah yang dipikirkan dan sifatnya hanya pengalihan.
Sementara kalau ke peramal, mereka berusaha in touch dengan masalah tersebut.
Misalnya mereka bertanya: bisnis apa yang baik tahun ini? Itulah keresahan mereka. Jadi mereka deal dengan masalah itu meskipun deal-nya dengan melihat masa depan.
Yang dilakukan peramal – juga psikolog - hanya memberikan petunjuk. Penentuan tetap di orang itu, karena pada dasarnya setiap orang punya
kapasitas untuk membuat keputusan, dengan atau tanpa peramal. Terkadang kita tidak yakin dengan keputusan kita, apalagi kalau menyangkut keputusan besar.
Sehingga yang dibutuhkan adalah assurance, peneguhan. Kalau sudah ada assurance, tanpa ke peramal sekalipun dia akan memilih itu.
Antara assurance dan uncertainty ini terkait. Semakin merasa tak pasti kita semakin membutuhkan assurance.
Jika tidak ada assurance kita makin cemas. Berputar-putar di situ saja.
Semua Orang Bisa Meramal
Anda boleh percaya, sesungguhnya semua orang bisa meramal. Menurut Arra caranya kita hanya tinggal menangkap “kata-kata” yang terlintas di pikiran kita. Namun semua itu hanya bisa ditangkap dengan kepekaan kita.
“Untuk tahu kita harus memakai intuisi, feeling. Tapi masalahnya mereka tidak menemukan itu di dalam dirinya,” tutur Arra.
Karahiyang menambahkan, masalahnya dalam tahap pengujian untuk meramal, terkadang terjadi kesalahan karena ada keraguan.
Padahal jangan pernah memaksakan diri untuk berbicara sesuatu, karena nanti justru akan bertabrakan dengan ego kita. Kuncinya sesungguhnya adalah pasrah tapi tetap ada keyakinan diri.
Penulis | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR