Advertorial
Intisari-Online.com - Ketika sedang mengantar anak ke dokter, saya sempat mencuri dengar pembicaraan dua sosok ibu muda soal anak-anak mereka. Mereka sedang membicarakan anak-anak mereka yang bisa juara di sana-sini. Intinya, mereka bangga dengan jiwa kompetisi anak mereka yang tinggi.
Saya lantas teringat dengan perdebatan kecil teman-teman saya soal kompetisi ini. Masih perlukah anak-anak dididik dalam semangat kompetisi?
“Perlu dong. Kalau enggak mereka bisa kalah dalam persaingan. Baik kerja maupun pergaulan. Bukankah kita ini juga hasil sebuah kompetisi? Ketika jutaan sperma yang berbondong-bondong menuju ovarium, bukankah hanya satu yang membuahi sel telur?” kata seorang teman.
Baca Juga: Salut! Murid Sekolah Ini Berhasil Juarai Kompetisi Sains, Padahal Gaji Gurunya Hanya Rp30.000/Bulan
“Ah, sontoloyo kamu. Sok tahu proses pembuahan. Emang mereka, yang jutaan sperma itu benar-benar berkompetisi? Siapa tahu yang bisa bertemu dengan sel telur itu memang sudah dipilih oleh Yang Kuasa. Sementara yang lain hanya mengantarkan saja. Jadi tidak ada yang kalah dan menang dalam hal ini,” yang lain menimpali sok filosofis.
“Ya, betul juga sih. Apalagi kalau melihat fenomena anak-anak muda sekarang ini. Sepertinya mereka memberi contoh kepada kita-kita yang sudah menua ini arti kolaborasi. Seperti jutaan sperma tadi yang bersama-sama mengantarkan sperma terpilih menuju suatu tujuan,” kata teman yang lain.
Disadari atau tidak, kompetisi memang menciptakan pemenang dan pecundang. Dua kutub yang berseberangan. Satu bersorak, yang lain diam tak bergerak. Merenungi kekalahan.
Baca Juga: Medium Tank Pindad Kolaborasi Indonesia-Turki Sukses Lewati Medan Tersulit di Indonesia
Sementara, kolaborasi adalah kerja bersama untuk saling mendukung dan menghargai satu sama lain demi tujuan bersama. Tak ada yang kalah, begitu juga tak ada yang mengaku menang.
Kita. Bukan aku atau kamu!