Advertorial

Begini Cara Purnomo Mengendalikan Gula Darahnya

Agus Surono
,
T. Tjahjo Widyasmoro

Tim Redaksi

WHO mengeluarkan fakta yang perlu kita renungkan: seperempat orang di dunia kurang berolahraga dan kurang bergerak.
WHO mengeluarkan fakta yang perlu kita renungkan: seperempat orang di dunia kurang berolahraga dan kurang bergerak.

Intisari-Online.com - Hipokrates, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran, pernah berujar, “Jadikan makanan Anda sebagai obat dan obat menjadi makanan.” Sampai beberapa dekade, anjuran itu benar adanya. Selain ditunjang makanan yang masih alami dan beragam, pada masa itu pun orang relatif banyak bergerak.

Pada waktu itu, penyajian makanan masih bisa dibilang instan yang sebenarnya. Dalam arti semua dipersiapkan segera dari awal. Dari hulu ke hilir. Tidak seperti sekarang yang segera tapi hanya proses di hilirnya. Modernitas yang berarti juga kehidupan yang gegas membuat makanan olahan pun bisa lekas disajikan. Ditambah dengan gaya hidup sedentary alias malas gerak, muncul kemudian penyakit yang sebelumnya emoh mampir.

Mager alias malas bergerak ini diam-diam menjadi kawan keseharian masyarakat modern. Diam-diam pula mengancam kesehatan kita. Badan kesehatan dunia, WHO, belum lama mengeluarkan fakta yang patut kita renungkan: seperempat orang di dunia kurang berolahraga dan kurang bergerak. Temuan ini tak jauh berbeda dengan penelitian WHO pada 2001 lalu.

Baca Juga: Bagi Anda Yang Mager, Lakukan Ini demi Mencegah Kematian Dini

Patut kita renungkan karena penyakit yang mengintai mereka yang malas bergerak bukan sembarang penyakit. Melainkan penyakit mematikan seperti diabetes tipe 2, beberapa jenis kanker, dan persoalan kardiovaskuler.

Menurut WHO pula, gaya hidup sedentari menjadi salah satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di dunia. Begitu pula dengan data dari European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC) pada 2008: kematian akibat kebiasaan malas gerak jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan kematian karena obesitas.

Jika gaya hidup sedentari diikuti dengan pola makan yang tidak seimbang dan kebiasaan tidak sehat seperti merokok atau minum alkohol, kita pun berisiko mengalami lebih banyak masalah kesehatan.

Pentingnya bergerak itu yang kemudian memunculkan jargon “olahraga sebagai obat”.

Baca Juga: Di Kampung Ini, Wanita Obesitas Dianggap yang Tercantik dan Wanita Langsing Justru Merasa Rendah Diri

Kasihan dengkul

Salah satu yang mempraktikkan “olahraga sebagai obat” adalah Purnomo Sidi (50). Sekitar umur 32 tahun dia sudah didiagnosis diabetes tipe 2. Ini merupakan kondisi ketika kadar gula dalam darah melebihi nilai normal. Tingginya kadar gula darah disebabkan tubuh tidak menggunakan hormon insulin secara normal. Hormon insulin itu sendiri adalah hormon yang membantu gula (glukosa) masuk ke dalam sel tubuh untuk diubah menjadi energi.

(Sementara diabetes tipe 1 adalah kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar gula atau glukosa dalam darah. Berbeda dari diabetes tipe 2 yang terjadi akibat resistensi insulin atau karena sel tubuh menjadi kebal atau tidak responsif terhadap insulin, diabetes tipe 1 terjadi ketika tubuh kurang atau sama sekali tidak memproduksi insulin. Akibatnya, penderita diabetes tipe 1 memerlukan tambahan insulin dari luar. Diabetes tipe 1 lebih jarang terjadi dibanding diabetes tipe 2. Diketahui hanya ada 10 % penderita diabetes tipe 1 dari seluruh kasus diabetes di seluruh dunia.)

Pernah pada suatu masa, kadar gula darah Purnomo mencapai 460. Sebuah angka yang tinggi mengingat kadar gula darah normal adalah di bawah angka 200. Purnomo pun lalu rutin menjalani pengobatan seminggu tiga kali untuk menurunkan kadar gula darah itu. Soalnya, kadar gula darah yang tinggi tidak baik bagi tubuh.

Ia pun mendatangi ahli gizi dr. Tan Shot Yen. Dari konsultasi ini muncul pemahaman bahwa untuk mengendalikan kadar gula harus mengubah gaya hidup. Juga mengatur pola makan dan berolahraga.

“Makanan yang masuk ke tubuh kalau enggak dibakar lewat berolahraga ya akan diubah menjadi lemak. Lama-lama obesitas,” kata Purnomo.

Bersepeda menjadi pilihan Purnomo karena, salah satu alasannya, termasuk low impact. Purnomo tahu diri, dengan berat badan yang sekitar 100 kg, sangat kasihan dengkulnya kalau ia harus joging.

Virus sepeda itu lantas mengantarkan Purnomo untuk ikut “Jelajah Sepeda Kompas” dari Sabang, Aceh menuju Padang, Sumatra Barat selama dua minggu. Sebelumnya ia sudah ikut beberapa kegiatan sepeda yang diselenggarakan oleh harian Kompas.

Baca Juga: Suka Bersepeda? Teruskan! Ini 4 Manfaat Luar Biasa yang Bisa Anda Dapatkan kalau Rutin Bersepeda

Selain dengan bersepeda jarak jauh, Purnomo yang tinggal di Klaten, Jawa Tengah ini menjaga kadar gula darahnya dengan bersepeda di seputaran Klaten yang masih menyediakan hawa pagi yang segar. Cara ini lebih banyak memberikan keuntungan bagi Purnomo yang sebelumnya pernah mencoba menjaga kadar gula darahnya lewat pola makan.

“Salah satunya, saya sempat dua tahun tidak makan nasi. Gantinya makan buah-buahan saja,” tutur pria yang kini mengelola rumah kopi “Nggone Mbahmu” ini.

Sejak rutin bersepeda, Purnomo jadi paham alarm tubuh jika ada yang tidak beres. Soal alarm ini ia peroleh ketika berkonsultasi dengan dr. Tan Shot Yen. Saat itu ia ditanya soal keluhannya. Ternyata keluhannya soal tangan kesemutan itu menjadi alarm bahwa tubuhnya tidak beres. Tak jarang ketika ke dokter, obat yang dikasih hanya mematikan alarm itu saja. Persoalan dasarnya belum tertangani.

Kini, ketika alarm itu berbunyi, Purnomo segera menyongsong hari dengan bersepeda.

Artikel Terkait