Intisari-Online.com - Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, tak ada yang mengira bahwa erupsi Gunung Anak Krakatau, Sabtu (22/12/2018) malam menyebabkan longsoran bawah laut yang memicu tsunami.
Hal ini dikarenakan letusan erupsi yang terjadi kala itu bukan yang paling besar.
Dilihat dari segi frekuensi dan tremor letusan pun tidak menunjukan tanda-tanda erupsi yang berpotensi menimbulkan tsunami.
"Kalau kita lihat letusannya juga tidak paling besar. Bulan Oktober dan November letusannya lebih besar," kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (25/12).
Baca Juga : Sebelum Tsunami Banten Terjadi, Anak Krakatau Berfluktuasi Terus Menerus Sejak Juni 2018
Tidak adanya sistem peringatan dini tsunami yang dipicu longsoran bawah laut dan erupsi gunung merapi menyebabkan tsunami akibat erupsi Gunung Anak Krakatau kian sulit diprediksi.
Hal ini, menyebabkan masyarakat tidak punya kesempatan untuk evakuasi diri lantaran tak menyadari ancaman bencana yang akan terjadi.
Sutopo menerangkan, tsunami yang dibangkitkan oleh gempa bumi tektonik lebih mudah diprediksi.
Sebab, Indonesia memiliki sistem peringatan dini tsunami jenis tersebut, meskipun kini banyak yang mengalami kerusakan.
Baca Juga : Kisah Willy di Tsunami Banten, Selamatkan 2 Anak Orang Lain Tapi Kehilangan Istri dan Anak-anaknya
Berdasarkan sejarah catatan tsunami di Indonesia, sebanyak 90% tsunami dibangkitkan oleh gempa bumi.
Sementara 10% dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan erupsi gunung api.
Kondisi ini, kata Sutopo, menjadi tantangan bagi Indonesia untuk dapat mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan longsoran bawah laut dan erupsi gunung api.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR