Advertorial
Intisari-Online.com -Sepanjang 2018, dua kali wilayah Indonesia diterjang tsunami, yaitu tsunami Palu pada 28 September dan tsunami Banten (atau tsunami Selat Sunda) yang terjadi pada 22 Desember.
Kedua tsunami ini terjadi nyaris tanpa dapat diprediksi sebelumnya, termasuk oleh sistem peringatan dini.
Hal inilah yang menyebabkan jumlah korban jiwa pun cenderung masif. Tsunami Palu (beserta gempa) menimbulkan korban jiwa 2.113 orang, sementara korban jiwa tsunami Banten, hingga berita ini diturunkan, sudah mencapai 64 orang.
Lalu, mengapa tsunami seolah sangat sulit dideteksi apalagi diprediksi kedatangannya?
Baca Juga : (Video) Detik-detik Panggung Seventeen Diterjang Tsunami, Tepat Saat Ifan Minta Penonton Tepuk Tangan
Ya, misteri tsunami nampaknya belum benar-benar terpecahkan, khususnya terkait dengan kapan dan dimana tsunami akan terjadi.
Saking tidak dapat diprediksinya, seolah hanya soal waktu tsunami terjadi di wilayah Indonesia, juga di wilayah-wilayah lain di dunia yang berpotensi mengalami tsunami.
Dua puluh dua tahun lalu, gempa dan tsunami dahsyat melanda Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 2.500 orang tewas.
Kerusakan terparah terutama dialami Kota Maumere dan Pulau Babi, pulau berdiameter 2,5 kilometer di utara Flores.
Dari kedahsyatan dan dampaknya, tsunami Flores merupakan salah satu yang terkuat di Indonesia, selain tsunami Aceh pada 2004.
Petaka itu dimulai oleh gempa berkekuatan 7,5 skala Richter pada Sabtu, 12 Desember 1992, sekitar pukul 13.29 Wita.
Pusat gempa terletak di kedalaman laut, 35 kilometer (km) arah barat laut Kota Maumere.
Gempa itu lalu memicu longsor bawah laut, yang membuat tsunami Flores mematikan.
Kombinasi gempa dan longsor itu membangkitkan ketinggian tsunami hingga lebih dari 25 meter dan melanda 300 meter ke daratan.
Terjadinya longsor bawah laut itu dipetakan para peneliti Jepang yang berkunjung ke pantai utara Flores dan Pulau Babi, dua pekan setelah petaka itu.
”Kami ke pantai utara Flores mengunjungi 40 desa di sana untuk mengukur ketinggian tsunami,” tulis Yoshinobu Tsuji dan tim dalam publikasi berjudul Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami (1995).
Disebutkan, ketinggian tsunami di Kampung Wuring (Flores) mencapai 3,2 meter.
Seluruh Kampung Wuring, yang hanya 2 meter di atas permukaan laut itu, tenggelam.
Sebanyak 87 orang tewas di sana. Di Desa Riangkroko, di sisi timur Pulau Flores, tinggi gelombang 26,2 meter dan menewaskan 137 orang.
Zona rentan
Hingga tahun 1992 itu, Indonesia belum memiliki ahli tsunami sehingga riset soal tsunami Flores lebih banyak dilakukan ahli-ahli Jepang.
Perhatian kalangan ilmuwan Indonesia terhadap tsunami baru terbangkitkan setelah tsunami Aceh 2004.
Namun, hingga saat ini, penelitian tentang gempa dan tsunami, terutama di kawasan Indonesia timur, ternyata masih tetap minim.
”Dibutuhkan penelitian mendalam terkait sumber gempa dari subduksi ganda di Indonesia timur. Daerah ini belum banyak datanya sehingga kami sulit memetakan ancamannya,” tutur Irwan Meilano, ahli gempa dari Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (Kompas, Senin, 16/11/2014).
Padahal, kawasan Indonesia timur merupakan yang paling rentan tsunami.
Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI), sepanjang tahun 1629-2014, Indonesia dilanda 174 tsunami. Sebanyak 60 persen di kawasan Indonesia timur.
Di mana dan kapan tsunami berikut masih misteri. Misalnya, pada 2003, ahli gempa Kerry Sieh dari California Institute of Technology merekonstruksi riwayat gempa di segmen Mentawai.
Dia menemukan megathrust ini di ujung siklus. Ancaman tsunaminya diprediksi akan mencapai Kota Padang.
Namun, pada 2004, tsunami ternyata terjadi di zona Aceh-Andaman, bukan di Mentawai. Setelah tsunami Aceh, Kerry kembali mengingatkan ancaman segmen Mentawai ini.
Lagi-lagi, tsunami terjadi di tempat lain, yaitu di Nias pada 2005 dan Pangandaran pada 2006.
Masalahnya, segmen Mentawai ini datanya paling lengkap. Bagaimana dengan kawasan timur Indonesia yang masih gelap datanya?
Setelah tsunami Tohoku (Jepang) 2011, para ahli sepakat bahwa gempa besar dan tsunami dapat terjadi di semua jalur subduksi di dunia.
Ini berarti, hanya soal waktu, tsunami terjadi di Indonesia dan di wilayah timur Indonesia.
Gempa dan tsunami dapat terjadi kapan saja di jalur subduksi yang mengepung Indonesia, mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Flores, utara Sulawesi dan utara Papua, serta Maluku dan Seram.
(Aulia Dian Permata)