Advertorial
Intisari-Online.com – Betapa seringnya pertanyaan itu timbul kalau malapetaka datang menimpa. Mungkin tulisan Harold S. Kushner, When bad things happen to good people, ini bisa memberi titik terang di malam yang gelap kalau kita mengalami musibah. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1986.
Putra kami, Aaron, anak yang cerdas dan gembira. Sebelum berumur dua tahun ia sudah mengenal belasan macam dinosaurus dan bisa menjelaskan kepada orang-orang dewasa bahwa dinosaurus sudah punah.
Namun, istri saya dan saya risau memikirkan kesehatannya. Sejak umur delapan bulan, berat badan Aaron berhenti naik. Ketika umurnya setahun, rambutnya rontok. Pelbagai dokter terkemuka kami datangi.
Seorang dokter ahli penyakit anak di Boston memberi tahu bahwa Aaron menderita progeria, artinya menjadi tua dengan cepat. Ketika itu Aaron berumur tiga tahun.
Baca Juga : 'Tuhan Melindungi Saya', Keyakinan John Chau Untuk Menjamah Pulau Sentinel Meski Tahu Nyawa Taruhannya
Kata dokter itu, putra kami tidak akan bisa lebih tinggi dari 1 m. Ia tidak akan memiliki sehelai rambut pun di kepala maupun tubuhnya. Pada masa kanak-kanak ia sudah akan kelihatan seperti kakek-kakek dan akan meninggal pada umur belasan.
Yang saya rasakan ketika itu ialah sakit hati, karena tidak diperlakukan dengan adil oleh Tuhan.
Selama ini saya selalu berusaha menjadi orang baik. Saya lebih religius dari banyak orang lain yang saya kenal, yang memiliki banyak anak sehat.
Saya yakin saya menjalankan perintah-perintah Allah dengan taat, untuk memuliakan namaNya. Mengapa justru kami yang harus mengalami hal itu?
Kalaupun seandainya saya bersalah, mengapa Aaron yang mesti menderita? Ia tidak berdosa, ia anak yang bahagia.
Mengapa ia harus selalu menerima lirikan dari setiap orang setiap hari ke mana pun ia pergi?
Baca Juga : Dalam Buku Pamungkasnya, Stephen Hawking Tetap Nyatakan ‘Tidak Ada yang Namanya Tuhan’
Mengapa ia divonis untuk hidup sampai remaja, untuk menyaksikan teman-temannya mulai berkencan dan menginsafi ia tidak pernah bisa menerima semua itu.
Seperti istri saya, saya dibesarkan dengan membayangkan Allah sebagai tokoh orang tua yang Maha Bijaksana, yang Maha Kuasa, yang akan memperlakukan kami dengan kasih sayang seperti seorang ayah, bahkan lebih daripada itu.
Kalau kami taat dan giat menjalankan PerintahNya, Ia akan memberi imbalan.
Kalau kami menyimpang, Ia akan menghukum. Ia akan melindungi dan membimbing kami.
Setelah mendengar vonis atas putra kami, iman saya betul-betul goyah.
Saya mencoba mencari pertolongan dari buku-buku, tetapi tidak menemukannya.
Teman-teman bersungguh hati menolong kami, tetapi hasilnya tidak banyak.
Baca Juga : Alexandra Tolstoy Mengenang Ayahnya: Mengajarkan Cinta Kasih dan Tuhan, Tapi Tidak Suka Emansipasi Wanita
Akhirnya suatu hari saya menulis buku ini, buku untuk orang-orang yang merasa diperlakukan tidak adil karena kematian, penyakit, disakiti, dicampakkan atau dikecewakan.
Kalau Anda termasuk salah seorang di antaranya, kalau Anda ingin percaya akan kebaikan Allah dan keadilanNya, tetapi merasa sulit karena hal yang menimpa Anda atau keluarga Anda, saya harap buku ini bisa menolong, sehingga kesakitan dan air mata Aaron tidak sia-sia.
Bukan cuma kami yang pernah goyah iman.
Saya kenal suami-istri yang anak tunggalnya meninggal.
Mereka merasa kematian itu merupakan hukuman bagi mereka, karena enam bulan sebelumnya mereka alpa berpuasa.
Mereka pikir, kalau saja waktu itu mereka berpuasa, putri mereka masih hidup sekarang.
Sebenarnya mereka marah kepada Tuhan karena merasa hukuman itu tidak setimpal, tetapi mereka takut Tuhan akan menghukum mereka lagi, jadi mereka tidak berani mengakui kemarahan itu.
Mereka merasa kehidupan melukai mereka dan agama tidak bisa menghibur mereka.
Baca Juga : 'Tuhan Tidak Menyerang Dua Kali': Cerita Orang-orang Palu yang Membangun Kembali Puing-puing Rumahnya
Saya juga mengenal seorang wanita muda yang taat menjalankan perintah agama.
Tiba-tiba saja ia mendapati dirinya menderita multiple sclerosis, yaitu penyakit saraf yang makin lama makin parah.
Suatu saat kelak ia akan lumpuh, tidak bisa lagi mengendalikan kandung kemih dan usus besarnya.
Akhirnya ia akan tewas, padahal anaknya masih kecil-kecil.
Wanita itu mencoba berpegang pada keyakinan bahwa Tuhan mempunyai maksud dengan penderitaannya itu. Tetapi setiap kali keyakinannya goyah.
Ia menantang keluarganya, teman-temannya, pembimbing rohaninya, untuk menjelaskan mengapa malapetaka itu menimpa dirinya atau orang lain.
Kalau Tuhan memang ada, katanya, ia membenciNya, apa pun juga rencana besar Tuhan.
Baca Juga : Ini Isi Surat Berisi Pandangan Albert Einstein tentang Tuhan, Agama, dan Yahudi yang Dilelang Rp22,7 Miliar
Saya juga pernah membaca buku tulisan Harriet Sarnoff Schiff, The Bereaved Parent, yang menceritakan perihal penderitaannya karena putranya tewas dalam operasi jantung.
Pembimbing rohaninya mencoba menghibur, "Saya tahu Anda sedang mengalami masa sulit. Tetapi saya tahu Anda akan bisa menanggulanginya, sebab Tuhan tidak akan mengirimkan beban yang lebih berat daripada yang bisa kita pikul."
Reaksi Harriet Schiff ketika itu ialah, "Kalau saya lebih lemah, Robbie tentu masih hidup sekarang."
Padahal dalam hidup sehari-hari kita lihat tidak selalu yang dinamakan cobaan itu terpikul oleh orang yang menerimanya.
Baca Juga : (Foto) Saat Dua Juta Umat Muslim dari Seluruh Dunia Berkumpul di 'Rumah Tuhan', Bikin Merinding
Memang ada orang-orang yang lantas menjadi lebih baik dan lebih peka terhadap penderitaan orang-orang lain karena penderitaannya, tetapi banyak juga yang malah menjadi sinis dan penuh kepahitan, yang cemburu kepada orang-orang di sekitarnya, yang tidak mampu ambil bagian dalam kehidupan masyarakat yang normal.
Kalau kita pikirkan dengan mendalam, apakah betul Tuhan kita yang pengasih dan penyayang tega mencacatkan anak, merusakkan kehidupan seseorang, membunuh remaja yang tidak berdosa, menciptakan anak-anak terkebelakang agar orang-orang sekeliling mereka belajar menghayati penderitaan orang lain dan merasa berterima kasih akan apa yang mereka terima?
Mustahil Tuhan sesadis itu.
Tidakkah kita mempunyai gagasan yang keliru, yang menganggap semua kemalangan kita adalah hukuman bagi dosa-dosa-kita, sehingga dalam menanggapi semua tragedi yang terjadi pada kita, kita menganggap Tuhan sebagai penyebab penderitaan kita?
Baca Juga : Nyai Roro Kidul Sering Dipercaya Sebagai Wakil Tuhan yang Tak Kasat Mata
Bukankah bisa ada pendekatan lain, yaitu bahwa penderitaan itu datang bukan sebagai kiriman Tuhan?
Namun, kalau malapetaka datang bukan sebagai keinginan Allah, lantas apa yang menyebabkan ia terjadi?
Tuhan telah memberi kita dunia yang istimewa, persis dan teratur. Kita mengenal gaya berat yang menyebabkan benda-benda berat selalu jatuh ke bumi.
Hal itu memungkinkan kita membangun rumah tanpa bahan-bahan bangunan melayang-layang di udara.
Kita mengenal zat-zat kimia. Beberapa zat yang dicampurkan dalam jumlah tertentu, menurut cara tertentu, akan memberi hasil yang sama, sehingga dokter bisa memberi resep obat.
Kita memiliki matahari yang setiap hari timbul dan tenggelam dengan setia. Di zaman yang lampau gerhana dianggap peringatan dari Tuhan, namun kini kita tahu gerhana itu kejadian alam yang bisa diramalkan.
Baca Juga : Dari Neno Warisman Hingga Iwan Fals, Ini Kisah Para Selebritas saat Sedang Mencari Tuhan
Tubuh kita sendiri pun merupakan mukjizat. Kalau ada yang tidak benar, tubuh memberi isyarat dengan rasa sakit.
Namun, hukum alam yang persis itu ada konsekuensinya juga. Gaya tarik bumi membuat orang bisa jatuh dari jendela atau gunung. Orang baik, orang jahat tidak terkecuali.
Orang yang masuk ke rumah penderita penyakit menular, menghadapi risiko ketularan, tidak peduli ia dokter yang akan mengobati maupun perampok.
Ketika Lee Harvey Oswald menembakkan peluru ke Presiden John F. Kennedy, hukum alam berlaku pada peluru yang ditembakkan. Karena peluru itu telak kenanya, Presiden Kennedy tewas, tidak peduli rakyatnya menganggap ia sangat dibutuhkan.
Baca Juga : Kisah Mangunwijaya, Memilih untuk Memenuhi Panggilan Tuhan Justru Setelah Jadi Tentara
Peluru tidak mempunyai hati nurani, begitu juga tumor dan mobil yang tidak terkendalikan. Kalau sayap pesawat presiden AS patah sebelah, apakah kita mengharapkan Tuhan tidak akan memberlakukan hukum alam sekali itu?
Apakah dunia akan lebih baik jadinya kalau Tuhan memilih beberapa orang untuk kebal hukum alam? Kiranya akan timbul lebih banyak masalah lagi.
Saya sungguh tidak setuju kalau dikatakan gempa bumi, angin ribut dan bencana yang menewaskan ribuan orang dikatakan sebagai tindakan Tuhan.
Ini tindakan alam dan alam itu buta, ia mengikuti hukumnya.
Tuhan itu adil dan penuh kasih sayang yang mengajari kita untuk marah pada ketidakadilan dan menolong orang yang tertimpa kemalangan.
Tuhan merupakan tempat kita berpaling untuk diberi kekuatan membangun hidup kembali setelah gempa bumi dan malapetaka lain.
Baca Juga : Kisah Pilu Mantan Seorang Jugun Ianfu Setelah 50 Tahun: Oh Tuhan, Jangan Biarkan Mereka Membawaku!
Dalam Perang Dunia II, apakah Tuhan yang salah kalau Hitler membunuh enam juta orang Yahudi? Manusia, kita ketahui, memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Tingkah lakunya tidak ‘diprogram’ seperti binatang.
Ada manusia yang memilih untuk menjadi orang baik dengan beramal, dengan menjenguk orang-orang sakit, dengan tekun mencari obat baru yang bisa menyembuhkan penyakit, atau dengan membela hak-hak manusia yang miskin dan tidak berdaya. Namun, ada pula yang sebaliknya.
Dapatkah kita meminta Tuhan untuk mengubah hukum alam demi kepentingan kita?
Mukjizat memang kadang-kadang terjadi, tetapi kalau pada kesempatan lain kita berdoa dan permintaan kita tidak terlaksana, kita bisa bertanya-tanya mengapa doa kita tidak manjur?
Kalau kita tidak bisa meminta yang tidak wajar atau tidak mungkin, kalau kita tidak bisa meminta Tuhan melakukan sesuatu untuk kita, lantas apa gunanya kita berdoa?
Baca Juga : Saus Spesial dari Tuhan karena Kita Sabar Menunggu
Orang yang tertimpa malapetaka cenderung untuk mengucilkan diri, iri kepada orang-orang yagn lebih beruntung dan menyakiti diri sendiri.
Dengan berdoa bersama-sama, kita bisa tetap berhubungan dengan orang-orang lain yang mempunyai keprihatinan yang sama, nilai-nilai yang sama, cita-cita yagn sama dan penderitaan yang sama.
Kita bisa berbagi kesedihan, ketakutan, dan juga kesenangan. Kalau kita merasa sendirian, kita akan diingatkan bahwa kita merupakan bagian dari masyarakat dan ada orang-orang yang menaruh perhatian kepada kita.
Doa juga tetap membuat kita berhubungan dengan Tuhan. Kita mendekati Tuhan bukan sebagai peminta-minta atau seperti orang menawarkan barang dan menanyakan harganya, “Tuhan, saya perlu ini, ini dan ini. Kalau Tuhan berikan, saya akan rajin beribadah, saya akan beramal."
Doa terutama bukan untuk meminta Tuhan untuk mengubah sesuatu atau menyuapNya.
Orang yang berdoa untuk minta mukjizat akan kecewa, begitu juga yang meminta musuh dilumpuhkan.
Namun, mereka yang berdoa untuk meminta ketabahan, meminta kekuatan untuk bisa memikul beban yang rasanya sudah tidak tertahankan, untuk menghargai apa-apa yang masih tersisa pada mereka — bukan yang hilang — sering doa mereka terjawab.
Mereka mendapatkan bahwa mereka mempunyai kekuatan lebih besar daripada yang mereka duga.
Janda yang pada hari pemakaman suaminya merasa sudah tidak mempunyai keinginan untuk hidup, beberapa minggu kemudian bisa bangun pagi-pagi untuk menghadapi hari-hari selanjutnya.
Baca Juga : Kekuatan Doa! Guru Ngaji di Tanjung Redeb Minta Anak Perempuan Eh Oleh Tuhan Diberi Empat Sekaligus
Pria yang kehilangan pekerjaan atau usahanya bangkrut sehingga merasa dirinya sudah terlalu tua, lelah dan tak sanggup untuk bangkit lagi, ternyata kemudian mulai lagi berjuang.
Dari mana orang-orang yang sakit menahun atau orang tua yang mempunyai anak terkebelakang memperoleh kembali kesabaran, ketabahan dan kekuatan kalau Tuhan tidak memperbaharuinya?
Kita tidak perlu meminta-minta atau menyuap Tuhan untuk memperoleh harapan, kekuatan dan kesabaran.
Kita cukup berpaling kepadaNya, mengakui ketidakberdayaan kita untuk menghadapi semua itu sendiri, maka la akan berjalan di sebelah kita, menderita bersama kita, sehingga kita tidak begitu takut lagi.
Baca Juga : Percayakah bahwa Tuhan itu Ada? Percakapan Berikut ini Membuktikannya
Aaron, putra saya, meninggal ketika umurnya empat belas tahun.
Kehidupan dan kematiannya saya yakin membuat saya lebih peka menghayati penderitaan orang-orang lain dan lebih efektif memberi penghiburan.
Saya percaya kepada Tuhan dan Tuhan saya tidak kejam.
Saya sadar betapa banyaknya saya kehilangan, tetapi saya juga sadar betapa banyaknya pula yang saya peroleh.
Hari kemarin rasanya tidak begitu menyakitkan dan saya tidak takut pada hari esok.
Baca Juga : Aneh, Wanita Ini Justru Merasa Dihukum Tuhan Karena Berusia 129 Tahun