Advertorial
Intisari-Online.com – Alkisah, hiduplah seorang penggembala miskin yang tuli.
Setiap hari ia menggiring domba-dombanya ke bukit mencari rumput segar.
Dari sana ia memandangi desa tempat ia tinggal bersama keluarganya.
Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusan makan siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk membawakannya.
(Baca juga: Hujan Duit di Kuningan, Ternyata Pihak Inilah Biang Keroknya!)
Sampai tengah hari kiriman itu tidak datang juga.
Si penggembala itu berpikir, “Aku akan pulang dan mengambilnya. Aku tidak dapat berdiam di sini sepanjang hari tanpa sepotong makanan.”
Namun ia tidak dapat meninggalkan domba-dombanya.
Ia pun menghampiri seorang pemotong rumput di tepi bukit, yang ia tidak tahu kalau pemotong rumput itu juga tuli.
Katanya, “Saudaraku, tolong jaga domba-dombaku dan awasi jangan sampai tersesat atau berkeliaran. Aku akan mengecek kenapa istriku lupa mengirim makan siangku.”
Karena tidak mendengar kata-kata gembala itu sama sekali, si pemotong rumput itu berkata, “Mengapa aku harus memberi rumput untuk ternakmu? Sedangkan aku sendiri memiliki seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah. Tidakkah kau lihat, aku ini harus pergi jauh demi mencari rumput bagi ternak-ternakku. Tinggalkan aku sendiri.”
Ia menggerakkan tangannya dan tertawa kasar.
Penggembala itu tentu saja tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si pemotong rumput.
(Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi)
Katanya, “Oh, terima kasih kawan, atas kebaikkan dan kesediaanmu. Aku akan segera kembali. Semoga keselamatan dan berkah tercurah atas dirimu. Engkau telah meringankan bebanku.”
Ia segera berlari ke desa menuju gubuknya yang sederhana.
Di sana ia mendapati istrinya sakit demam dan sedang dirawat oleh para istri tetangga.
Penggembala itu kembali ke bukit sambil membawa bungkusan makanan.
Ketika ia mengetahui bahwa dombanya lengkap, ia ingin menghadiahi seekor domba pincang untuk disembelih pemotong rumput itu.
Katanya, “Wahai saudaraku, ini hadiah dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku selama aku pergi. Pangganglah domba ini untuk makan malammu nanti malam; lihat domba ini kakinya pincang dan memang akan aku sembelih!”
Namun, karena si pemotong rumput itu tidak mendengar kata-kata si penggembala, ia berteriak marah, “Penggembala busuk! Aku tidak tahu apapun yang terjadi selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku atas kaki pincang dombamu! Sedari tadi aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu mengapa hal itu terjadi! Pergilah, atau aku akan memukulmu!”
Merasa heran atas sikap marah si pemotong rumput, apalagi ia tidak mendengar apa yang dikatakannya, penggembala itu bertanya kepada seorang penunggang kuda bagus yang kebetulan lewat.
Kata penggembala itu, “Tuan penunggang kuda yang mulia, aku mohon katakan padaku apa yang diucapkan oleh pemotong rumput itu. Aku ini tuli, dan tidak tahu mengapa ia menolak pemberianku berupa seekor domba ini, malah marah-marah seperti itu.”
Si penggembala dan si pemotong rumput mulai saling berteriak pada si penunggang kuda untuk menjelaskan kemauannya masing-masing.
Si penunggang kuda yang ternyata juta tuli, tidak mendengar apapun yang dikatakan kedua orang itu.
Justru, ia ini sedang tersesat dan hendak bertanya dimana dirinya saat ini.
Tetapi ketika melihat sikap keras dan mengancam dari ke dua orang itu, akhirnya ia berkata, “Benar, benar, saudara. Aku telah mencuri kuda ini. Aku mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku, karena aku tidak dapat menahan diriku dan bertindak mencuri.”
Mereka bertiga pun saling berkata-kata sendiri dengan maksud yang mereka mengerti sendiri.
Saat itulah dari kejauhan tampak seorang biksu tua berjalan.
Si pemotong rumput pun lari menghampirinya, menarik jubah biksu itu dan berkata, “Guru, aku seorang tuli yang tidak mengerti ujung pangkal apa yang dibicarakan oleh kedua orang ini. Aku mohon kebijaksanaan anda, adili dan jelaskan apa yang mereka teriakkan.”
Namun, karena si Guru tua ini bisu dan tidak dapat menjawab, ia hanya memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan penuh selidik.
Sekarang, ketiga orang tuli itu menghentikan teriakan mereka.
Guru itu memandangi sedemikian lama dan dengan tajam, satu per satu hingga ketiga orang itu merasa tidak enak.
Matanya yang hitam berkilauan menusuk ke dalam mata mereka, mencari kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba mendapatkan petunjuk dari situasi itu.
Ketiga orang tuli itu mulai merasa takut. Tiba-tiba si pencuri kuda meloncat ke atas kuda dan memacunya kencang-kencang.
Begitu juga si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiringnya jauh ke atas bukit.
Si pemotong rumput tidak berani menatap mata guru tua itu, lalu ia mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya ke atas bahu dan berjalan menuruni bukit pulang ke rumahnya.
Guru tua itu melanjutkan perjalanannya, berpikir sendiri bahwa kata-kata merupakan bentuk komunikasi yang tidak berguna jika dilakukan salah.
Komunikasi yang berguna adalah sama-sama tahu dan menyadari tujuan yang di maksud. Orang mungkin lebih baik diam namun tetap fokus dengan tujuan. (Tatik)
(Baca juga: Pantas Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest Terlihat Memilukan, Ternyata 13 Hal Ini Yang Terjadi)