Advertorial
Intisari-Online.com -Sejak bangun pagi, wajah Ardi terus ditekuk.
“Sayang, kenapa sih?” akhirnya Lia bertanya.
“Enggak apa-apa.” Yang ditanya menjawab asal-asalan. Lia mulai kesal.
“Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri. Aku ini kau anggap siapa?”
“Udah, udah, aku bisa handle sendiri. Kenapa sih mau tahu aja?”
BACA JUGA:Sepenggal Kisah Asmara: Ketulusan Cinta Rahwana yang Menggetarkan Jiwa
“Handle sendiri? Kamu diam, tapi perilakumu bicara banyak. Tanpa kata pun istrimu ini sudah ikut merasakan stres.”
Ardi menengok dengan heran seperti baru terjaga dari tidur. Dirangkulnya Lia dan mulai berbagi tentang masalahnya.
*****
Paris 1895. Sekumpulan orang sedang menghadiri pameran “gambar hidup” karya Lumiere Bersaudara. Film pendek (dan bisu) tentang kereta api yang memasuki stasiun.
Lengkap dengan embusan uapnya, kereta api bergerak langsung menuju kamera. Hadirin menjerit ketakutan, semua otomatis melompat berlindung di kolong kursi!
Kini ilmuwan telah membuktikan, bahwa saraf manusia diperkaya dengan mekanisme untuk merespons ilusi yang disajikan film, persis seperti terhadap pengalaman nyata dalam kehidupan.
Salah satunya, dengan cara “memantulkan” emosi yang terpancar dari orang-orang yang dihadapinya. Orang stres, kita secara spontan akan terbawa stres.
Bagaimana manusia saling mempengaruhi dan merespons dibahas oleh Daniel Goleman dalam Social Intelligence (2006).
Dipaparkannya bagaimana otak kita memang terdesain untuk saling terhubung. Kemarahan membangkitkan kemarahan, senyum mengundang senyum.
BACA JUGA:Tjipto Mangunkusumo: Si Kromo Bernyali Singa Yang Suka Menolong Orang Miskin
Bahkan kita memiliki perangkat sirkuit saraf bawah sadar yang menangkap ketidaktulusan.
Betapa banyak energi terbuang, karena kita keburu mengayunkan tinju sebelum ingat untuk tersenyum.
Bahwa memahami orang lewat kata-kata baru awal untuk saling mengerti. (Lily Wibisono)
BACA JUGA:Jalan Sunyi Jenderal Hoegeng, Jalannya Para Pemberani