Advertorial
Intisari-Online.com – Meskipun begitu ada juga kendala lain yang harus dijaga. Jasad si mati jangan sampai jatuh ke tangan bokor, dukun aliran hitam.
Soalnya, mayat baru itu bisa-bisa diisi roh dewa zombie, dan ia akan hidup kembali.
Kalau sampai begitu, arwahnya akan sengsara. Ia akan terkatung-katung di dunia dan tak bisa meneruskan perjalanan ke "dunia lain".
Sering kali zombie itu pulang ke rumahnya untuk meminta pertolongan pada keluarganya agar ia dibebaskan.
(Baca juga: Wanita Ini Usir Anak dan Menantunya yang Baru Menikah, Tapi Malah Disebut Mertua Idaman. Kok, Bisa?)
Namun, dalam kondisi seperti itu, pembebasan arwah sulit dilakukan. Bokor yang menghidupkan mayat mempunyai kontrol sepenuhnya pada si jasad.
Konon, tenaga zombie kuat sekali dan ia tak perlu makanan, minuman, atau tidur seperti manusia biasa. Ia cocok untuk dipekerjakan di perkebunan.
Jadi, jangan heran apabila ada kuburan baru yang dijaga siang-malam selama seminggu oleh sanak saudaranya.
Para kerabat membuat gubuk-gubuk tidak permanen, beratap daun nyiur dan ditopang empat buah tiang.
Mereka berjaga-jaga agar mayat saudaranya tidak dicuri. Kuburan pun dibuat seperti bungker, agar sulit dibongkar.
Tetapi, kebenaran tentang zombie ini masih diperdebatkan. Kata zombie dalam bahasa Inggris sekarang ini digunakan untuk orang yang tidak mempunyai pendirian yang hanya mengikuti tindakan orang lain tanpa dipikir.
Sementara pakar antropologi melihatnya hanya sebagai mitos rakyat Haiti pada kepercayaan mereka bahwa dukun dapat menghidupkan kembali orang mati. Padahal, sang dukun mempergunakan racun tetrodoksin yang berasal dari ikan buntal.
Barang siapa memakari racun ini, ia akan menyerupai orang mati, meskipun beberapa saat kemudian akan hidup lagi.
(Baca juga: Bikin Ngakak! Editan Photoshop Terhadap Pasangan Ini Sungguh Kelewat Batas!)
Bagi orang Haiti, mereka tetap percaya, dukun bisa menghidupkan orang mati dan zombie itu ada. Maka untuk menolak roh jahat, mereka kerap melakukan upacara untuk mohon petunjuk.
Atau mereka pun melakukan pengucapan syukur, seperti saat sehabis panen, tahun baru, atau hari-hari istimewa seperti saat perkawinan, kelahiran, atau upacara inisiasi.
Maka jangan heran, apabila senja tiba, sayup-sayup terdengar geridang ritme Afrika. Jalanan yang tadinya gelap gulita, tiba-tiba diterangi remang-remang cahaya lilin yang ditaruh dalam patung berbentuk wajah wanita. Pemujaan terhadap roh dewa-dewi pun dimulai.
Tarian pun digelar dengan goyangan pinggul menurut ritme gendang.Menurut kepercayaan, goyangan pinggul itu mempengaruhi pusat saraf di punggung. Pusat saraf itu akan menekan cairan yang mengelilingi otak, sehingga otak akan bereaksi untuk memanggil roh-roh yang ada “di atas”.
Turunnya roh-roh itu ditandai dengan kerasukan, yang buat mereka merupakan lambang kebaikan. Lewat orang yang kerasukan, segala macam keruwetan di dunia bisa diatasi. Roh bisa mampir kepada siapa pun.
Legitimasi Duvalier
Selain di Haiti, voodoo ini juga ada di negara-negara lain yang penduduknya banyak berasal dari Afrika. Contohnya di Kuba, voodoo dikenal dengan santeria, di Trinidad shango, di Jamaika obeah, sementara di Brasil dikenal sebagai condomble, xango, dan macumba.
Di Amerika, istilah voodoo (atau hoodoo) mempunyai makna segala macam upaya sihir-menyihir. Lebih khas lagi adalah adanya praktik dukun voodoo yang biasa dilakukan orang-orang Negro di Selatan.
Biarpun tak ada bukti yang kuat, bahwa budaya yang ditemukan di Haiti itu ada . hubungannya dengan budaya serupa yang ditemukan di New Orleans pada abad XIX, kepercayaan itu tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Menurut psikolog dari Harvard, Dr. Walter B. Cannon, seseorang bisa mati ketakutan jika dilakukan upacara voodoo untuk mencelakakan dirinya.
Shock yang menimpa menghambat peredaran darah dan menyebabkan pasokan oksigen berkurang pada organ vitalnya.
Di Haiti, voodoo menjadi alai dan bahasa spiritual yang mempersatukan. la menjadi wahana politis yang efektif untuk mempertahankan kekuasaan.
Maka kalau ingin menjadi pemimpin, orang itu haruslah memiliki "kekuatan". la haruslah seorang houngan, tentunya houngan tertinggi.
Regim Duvalier misalnya, bisa berkuasa selama 29 tahun (1957 - 1986) bukan semata-mata karena memiliki Tonton Macoutes yang memerintah dengan tangan besi, tetapi juga karena voodoo.
Duvalier menjadikan dirinya sebagai houngan tertinggi yang membawahi jaringan intel houngan yang selalu melapor kepadanya. Dalam voodoo, rakyat patuh pada houngan dan praktis patuh pada Duvalier.
Para pemimpin Haiti tak bisa melarang voodoo. Selain memungkinkan mereka berkuasa (seperti halnya Duvalier yang menyalahgunakannya), voodoo juga menjadi satu-satunya sumber kekuatan untuk menempuh belantara kesengsaraan.
Soalnya, negeri itu begitu papanya dan termasuk dalam 30 negara termiskin di dunia.
Kesuraman hidup mewarnai negeri seluas 27.750 km2 ini. Ibu kotanya, Port Au Prince, bak kampung miskin. Tukang penjaja gorengan tepung diberi irisan cabai menggelar dagangannya yang digoreng dengan minyak berwarna hitam pekat yang entah sudah dipakai untuk keberapa kali.
Sementara di dekat gerobak jualan, sampah membentuk gunung sambil menyebarkan baunya ke mana-mana.
Bahan-bahan makanan yang dijual di pasar pun begitu minimnya. Itu semua bukan hanya karena tanahnya, sulit ditanami, tetapi negeri itu juga seperti tidak menghasilkan apa-apa.
Jadi jangan heran apabila kubisnya kecoklat-coklatan padahal baru dipetik, tomatnya kecil-kecil dan berbercak hitam, sementara terongnya layu. Buah-buahan pun jarang ada. Makanan praktis sulit didapat. Kalaupun ada, harganya mahal.
Masalah kemiskinan menjalar di segala bidang: miskin sandang, pangan, pendidikan, dan papan. Hidup jadi begitu berat. Satu-satunya harapan cuma voodoo.
Lewat voodoo, mereka berharap roda kehidupan menjadi baik. Lewat voodoo, biarpun cuma sejenak, mimpi buruk kenyataan bisa dilupakan. Lewat voodoo, warga pergi ke "tanah impian"! (Als)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1996)
(Baca juga: Betapa Terkejutnya Bocah Ini ketika Tahu Lukisan yang Ia Beli Seharga Rp26 Ribu Ternyata Karya Pelukis Terkenal)