Advertorial

Kwantung Army, Cikal Bakal Militerisme Jepang yang Terkenal Ganas dan Brutal Pada PD II

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com - Menjelang dan selama PD II di Asia Timur, nama Kwantung Army atau bahasa Jepangnya ‘Kangtogun’ sangat terkenal dan paling menakutkan musuh Jepang.

Satuan tentara ini bukan hanya perkasa, namun berperan penting sebagai tempat penyemaian militerisme Jepang serta tempat kaderisasi para pemimpin militer Jepang.

Banyak tokoh militer AD, baik yang bertugas di medan perang maupun dalam pemerintahan, pernah ditempa di Tentara Kwantung.

Sebut saja misalnya para petinggi militer jepang yang berjaya di PD II seperti Jenderal Tojo, Yamashita, Imamura, Iida, Matsui, dan lain-lainnya.

(Baca juga: Wanita Ini Usir Anak dan Menantunya yang Baru Menikah, Tapi Malah Disebut Mertua Idaman. Kok, Bisa?)

Satuan tentara ini semula dibangun Jepang dengan tugas menduduki sebagian kecil manchuria yang direbut Jepang dari tangan Rusia dalam perang 1905.

Dalam perkembangannya, tentara ini semakin besar, kuat, dan elite. Apalagi sejak tahun 1919 diberi status independen dan semakin kental sebagai organisasi militer yang berpolitik.

Sehingga semakin mengendalikan arah kebijaksanaan Jepang terhadap Manchuria, dan juga China.

Ambisi nasionalistik dan militerisme yang kuat dalam Tentara Kwantung, sejak tahun 1920-an memikat para perwira AD Jepang yang terbaik dan ambisius untuk bertugas di sana.

Mereka merancang Insiden Mukden 1931, yang dijadikan dalih untuk merebut seluruh Manchuria dari tangan China.

Aksi ini tanpa sepengetahuan pemerintah di Tokyo maupun konon panglimanya sendiri, Letnan Shigeru Honjo.

Tentara Kwantung terus bertindak sendiri, mendirikan negara boneka Manchukuo dan memasang Henry Pu Yi selaku kaisar negeri buatannya.

Panglima Tentara Kwantung yang baru Letjen Jiro Minami bertindak seolah-olah menjadi Dubes Jepang untuk Machukuo tanpa harus berkonsultasi dengan Tokyo.

(Baca juga: Bikin Ngakak! Editan Photoshop Terhadap Pasangan Ini Sungguh Kelewat Batas!)

Sekalipun gencatan senjata dengan China disepakati tahun 1933, namun Tentara Kwantung tetap meneruskan ambisinya untuk merampas wilayah China lainnya.

Yang kemudian berpuncak dengan pecahnya Insiden Jembatan Marco Polo Juli 1937.

Lalu membuka perang kedua dengan China yang baru berakhir tahun 1945 seiring takluknya Jepang dalam PD II.

Namun sesungguhnya, yang dianggap musuh utama Tentara Kwantung bukanlah China.

Melainkan Rusia yang juga selalu mengincar Manchuria untuk kepentingan strategisnya di Timur Jauh.

Menurut Rusia, tentara Jepang ini sejak pembentukan Manchukuo tahun 1931, selalu memprovokasi insiden perbatasan.

Menjelang pecahnya PD II di Asia Pasifik, kekuatan Tentara Kwantung sangat disegani musuh.

Jumlah tentaranya mencapai satu juta orang yang amat terlatih dengan persenjataan lengkap termasuk kekuatan udara.

Karena itu tidaklah mengherankan apabila AS pun sejak serangan atas Pearl Harbour, terus mewanti-wanti Rusia agar berusaha “mengikat” Tentara Kwantung di Manchuria (sekalipun ada perjanjian non-agresi antara Jepang dan Rusia).

Tujuannya agar tentara ini tidak dapat dipakai Jepang bertempur ke selatan dan Pasifik.

Para perancang perang AS benar-benar yakin bahwa Tentara Kwantung merupakan pasukan tempur yang paling jempolan di antara seluruh tentara Jepang.

Rusia yang tengah menghadapi invasi Nazi Jerman, juga selalu ketar ketir apabila Tentara Kwantung tiba-tiba menyerangnya dari pintu belakang.

Karena itulah Stalin selalu mendesak dibukanya front kedua di Eropa Barat untuk mengendurkan tekanan Jerman, sekaligus membuat halaman belakangnya lebih aman.

Namun yang terjadi, sebelum D-Day di Eropa Juni 1944, Jenderal MacArthur telah membuka front kedua di Pasifik dan berhasil mendesak Jepang.

Akibatnya Jepang pun sejak Februari 1944 mengalirkan Tentara Kwantung dari Manchuria untuk membantu pertahanan Pasifik, termasuk dengan kekuatan lapis baja, artileri, serta kekuatan udaranya.

Akibatnya, Tentara Kwantung yang semula ditakuti, memasuki tahun 1945 tinggal sisa-sisanya.

Panglimanya, Jenderal Yoshijiro Umezu juga ditarik ke Tokyo menjadi KSAD.

Umezu digantikan oleh Jenderal Otozo Yamada yang saat itu memimpin negara yang kondisinya sudah melemah.

Apalagi dengan rekrutan baru yang sudah tua-tua atau terlalu muda. Persenjataannya pun tidak lengkap, bahkan senapan pun kurang.

Sementara itu Rusia yang berhasil mendesak mundur pasukan Nazi, diam-diam mulai memindahkan bagian tentaranya dari Eropa ke timur dengan kereta api Trans Siberia.

Menurut intelijen Jepang, Rusia menambah kekuatan dengan satu divisi setiap tiga harinya, sehingga pada Juli 1945 ditaksir pasukannya mencapai 1.600.000 orang.

Kekuatan tempur itu masih ditambah 6.500 pesawat terbang dan 4.500 kendaraan lapis baja.

Beberapa kali pasukan Rusia memancing insiden di perbatasan. Namun, Jepang yang menyadari kelemahannya tidak memberikan reaksi.

Sampai akhirnya Rusia melanggar perjanjian non-agresi dan menyerbu Manchuria serta mengalahkan Tentara Kwantung yang sudah compang-camping dalam tempo satu minggu, 9-15 Agustus 1945.

Begitu Jepang takluk mengalirlah eks-Tentara Kwantung mengisi kamp-kamp tawanan di Siberia.

Panglimanya Jenderal Yamada baru dikeluarkan pada Juni 1956 sebagai orang tua yang sudah berusia 76 tahun.

Ia renta dan lemah, tetapi masih punya kebanggaan pada raut mukanya.

(Baca juga: Betapa Terkejutnya Bocah Ini ketika Tahu Lukisan yang Ia Beli Seharga Rp26 Ribu Ternyata Karya Pelukis Terkenal)

Artikel Terkait