Advertorial
Intisari-Online.com – Masyarakat negeri yang terlalu lama dicabik-cabik, diadu-domba, dan dipecah belah (devide et impera) tentu sangat mendambakan kerukunan. Terutama setelah mereka capek bertikai.
Begitu pula, rakyat yang sudah muak dengan rekayasa kerusuhan yang dikobarkan dengan serbaneka sentimen primordial (suku, agama, ras), sungguh membutuhkan tata sikap-laku kebersamaan (inklusivitas) yang mentransendensi semua kepicikan suku, agama, ras.
Demikian halnya dengan publik yang tatanan dan ketertibannya diacak-acak selama puluhan tahun oleh praktik suap, korupsi, kolusi, nepotisme, dan politik uang, amat menginginkan ketentraman menyeluruh (inklusif) yang jauh dari egosentrisme kelompok dan elitisme eksklusif.
Begitulah gambaran potret masyarakat di bumi negeri dengan penduduk plural lebih dari 200 juta insan ini.
Sesungguhnya sebagian besar rakyat sangat mendambakan kerukunan, amat menginginkan ketentraman yang inklusif, dan membutuhkan tata sikap-laku kebersamaan.
Oleh karena itu wajarlah rakyat yang dalam kondisi psikososial seperti itu, - sangat . membutuhkan kepemimpinan yang mamu mengejawantahkan semangat kebersamaan, tulus dalam relasi antarwarga bangsa.
Namun kepemimpinan saja belum cukup. Kepemimpinan berspirit inklusivitas itu harus didukung oleh seluruh warga masyarakat yang berupaya keras mendarahdagingkan semangat inklusivitas serta mewujudnyatakannya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Nelson Mandela mungkin bisa dianggap sebagai contoh pemimpin yang sukses mengejawantahkan inklusivitas dalam praktik kepemimpinannya.
Afrika Selatan memiliki sejarah panjang hidup tercabik-cabik oleh diskriminasi rasial dan apartheid.
Dalam kurun panjang pemerintahan kulit putih sebelum Mandela naik ke tampuk kekuasaan, kaum kulit hitam menjadi bulan-bulanan permainan diskriminasi dan apartheid. Bahkan Mandela pernah dipenjarakan oleh rezim apartheid.
Namun ia memang seorang pemimpin berjiwa besar. Ketika sudah menjadi orang nomor satu di negerinya dengan jabatan tertinggi, dia tidak mau balas dendam.
Dia tidak menghantarn balik kaum kulit putih yang pernah menyengsarakan diri dan kaumnya. Justru, sebagai presiden Afrika Selatan, Mandela mampu merengkuh spirit inklusivitas dan mengejawantahkan sikap inklusif dalam menjalankan roda pemerintahannya.
(Baca juga: Cara Mudah dan Manjur Hilangkan Bopeng Bekas Jerawat, Bisa Dipraktikkan Sekarang Juga)
Sembari berupaya keras menyejahterakan kaum kulit hitam dan mengakomodasi aspirasi mereka, Mandela mengajak kaum kulit putih bekerja sama, menggalang kebersamaan tulus, serta melibatkan mereka dalam kepemimpinannya.
Daya kepemimpinan Mandela yang nyata dan konsisten meresapkdn kekuatan penyembuhan pada jiwa rakyat Afrika Selatan.
Terbukti, rakyat memberikan sambutan memadai. Sebagian besar dari mereka tidak sudi lagi dicabik-cabik oleh kepicikan sentimen ras.
Bercermin dari fenomena di atas, setiap warga bangsa Indonesia pun seyogianya kini tidak lagi sudi dicabik-cabik oleh eksklusivitas berlabel apa pun.
Dewasa ini bukan lagi zaman adu domba dan pemecahbelahan. Bukan lagi zaman pencabikan kebersamaan oleh egosentrisme yang melahirkan politik uang, korupsi, kolusi, dan hepotisme.
Sekarang adalah era inklusivitas. Sudah, semestinya setiap warga Indonesia mengejawantahkan sikap inklusif di tengah relasi dengan sesamanya.
Sebagai contoh, dibawah ini ada sepenggal kisah menarik. Saya mengenal seorang pria yang menjadi direktur sebuah rumah sakit. Di rumah sakit itu bekerja beberapa dokter, seratus lebih perawat, dan ratusan karyawan-karyawati.
Pria ini memang orang yang cerdas, namun yang lebih menonjol dari dirinya adalah sikap inklusif yang benar-benar diejawantahkan dalam kehidupan sehari-harinya sebagai pemimpin.
Sikap inklusif itu bisa dideskripsikan dalam beberapa wujud tindakannya. Pertama, tidak mau maju sendiri, melainkan terus berupaya maju bersama-sama. Ini terlihat dalam upayanya melibatkan semua karyawan dalam proses institusional.
Sikap tersebut memungkinkan, misalnya, semua karyawan bersama-sama maju untuk meraih peningkatan karir, peningkatan kesejahteraan, dan mengatasi kesulitan yang harus dihadapi institusi.
Barangkali pepatah 'berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", benar-benar merepresentasikan sikap inklusif.
Kedua, menanggapi perbedaan sebagai panggilan untuk melakukan kebaikan tulus. Direktur rumah sakit itu sadar betul bahwa dirinya sangat berbeda dengan tukang kebun, tukang parkir, dan pesuruh di lembaga yang dia pimpin.
Setidaknya, itu terjadi karena memang ada perbedaan penghasilan antara dirinya dan mereka.
Namun sang direktur menanggapi perbedaan ini dengan mengulurkan bantuan dana tatkala anak tukang kebun harus membayar uang pangkal di sekolah, tatkala istri tukang parkir perlu mengeluarkan biaya besar untuk operasi usus buntu, ketika pesuruh sakit dan membutuhkan biaya untuk menebus obat.
Bapak pemimpin itu sadar, betapa dirinya tidak bisa sungguh hidup bahagia, jika hanya dirinya sendiri yang memiliki uang berlimpah.
Bagaimana mungkin ia bahagia kalau orang-orang di sekitarnya mengerang kesakitan, menjerit dalam kesengsaraan, dan mengeluh karena hidupnya serba berkekurangari?
(Ditulis oleh dr. Limas Sutanto, D.S.J., pengamat psikososial. Seperti pernah ditulis di Majalah Intisari edisi Desember 1999)
(Baca juga: (Foto) Operasi Plastik Tidak Seinstan yang Dibayangkan, Wanita Ini Menderita 3 Bulan Setelah Jalani Operasi)