Sekitar tahun 1960-an, masih lumrah ke mana-mana orang Madura pergi membawa clurit. Bahkan pada masa itu lelaki di daerah Kecamatan Batang-Batang (bangkai-bangkai), 20 km timur laut Sumenep yang terkenal dengan caroknya, pergi kondangan pun tak lupa menyelipkan clurit di punggungnya.
BACA JUGA: Cara Mengusir Sakit Kepala Dalam 5 Menit Tanpa Pil Ataupun Obat Kimia
Menurut D. Zawawi Imron, penyair daerah tersebut yang juga dikenal sebagai ustadz, selain sebagai senjata untuk bela diri, keberadaan clurit memang ada latar belakang filosofisnya.
"Kaum lelaki di sini menyadari tulang rusuk sebelah kiri jumlahnya kurang satu karena dipakai untuk menciptakan wanita. Nah, untuk menutup kekurangan itulah setiap keluar rumah lelaki Madura harus melengkapinya dengan si bengkok (clurit yang biasanya berbentuk melengkung seperti tulang rusuk)," ujar Zawawi.
Sekarang ini yang namanya carok nyaris tak lagi terdengar. Sebagai gambaran misalnya, di Desa Lombang, Kec. Batang-Batang yang terkenal dengan carok ampu kerem (kalau melakukan carok menghabiskan berpuluh-puluh senjata) hampir tak pernah terdengar peristiwa carok.
"Di masa lalu pelaku carok di daerah sini terkenal sakti. Bahkan menurut penuturan kakek saya, pernah ada carok yang berlangsung selama sehari penuh. Tapi tak satu pun pelakunya mati, meskipun berpuluh-puluh clurit patah. Perkelahian berhenti hanya karena kedua belah pihak sudah kehabisan tenaga," ujar M. Riwani (43), Kepala Desa Lombang saat diwawancarai Intisari pada 1991.
Yang lebih menarik, justru cara aparat desa sekarang ini mengatasi carok. Saat jabatan kepala desa dipegang ayah Riwani sekitar tahun I960, cara mendamaikan pelaku carok cukup unik, meski hanya bersifat simbolik.
Kalau ada carok, pelakunya dipanggil ke kelurahan. Disaksikan kepala desa dan aparat keamanan, kedua pelaku carok disuruh duduk berhadapan. Pihak yang merasa dirugikan, diberi wewenang memukul pihak lawannya sebanyak tiga kali dengan tangan kosong, sedangkan pihak yang bersalah tidak boleh melakukan pembalasan.
"Meski hanya simbolik, pukulannya tidak main-main. Mereka benar-benar memukul sekuat tenaga. Rasa sakit jelas ada," tutur Riwani. Selesai melancarkan pukulan tiga kali, biasanya diakhiri dengan pukulan tangan pak lurah sekali.
Setelah itu di hadapan saksi kedua pelaku carok lantas disuruh menandatangani surat pernyataan untuk tidak meneruskan permusuhan atau perkelahian. "Siapa pun yang di kemudian hari masih melakukan pembalasan atau perkelahian, akan berhadapan dengan yang berwajib. Akan diadili sesuai hukum negara yang berlaku," tambah Riwani.
Dalam perjalanan kemudian, tradisi carok ini memang semakin luntur. "Kini kalau ada masalah biasanya sudah bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Misalnya ada perkawinan yang sudah tidak cocok, sang istri tak lagi suka dengan suaminya lantas merasa cocok dengan orang lain, ya sebaiknya diselesaikan dengan perceraian saja," tambah Riwani.
BACA JUGA: Wanita Ini Pecandu Berat Film Porno Hingga Akhirnya Saat di Bali Menemukan Pencerahan
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR