Advertorial
Intisari-Online.com - Hotel yang berjarak 200 m dari Kantor Polisi Resort Jakarta Utara itu terlihat kusam. Begitu juga lobinya. Kesan muram makin terasa karena dinding penyekat yang dijadikan sebagai front office terbuat dari bambu tua berwarna kecokelatan. Di dindingnya tertempel tarif kamar dengan rentang antara Rp50.000 dan Rp100.000. Di bagian bawahnya tertulis Hotel BM (nama disamarkan - Red).
Ada hal janggal di hotel ini. Salah satu kamarnya, yang bernomor 17 AB telah “menghilang.” Menurut seorang petugas hotel, “Kamarnya sudah tidak ada, sudah dibongkar.” Hal ini tentu akan mengundang tanya.
Namun, bagi mereka yang mengetahui peristiwa empat tahun lalu di kamar tersebut, pasti akan memakluminya.
Sepuluh tahun lalu, 17 Januari 2008, para petugas Hotel BM dikagetkan oleh temuan bercak darah di lantai hotel. Setelah ditelusuri, ternyata mengarah ke kamar yang terletak di pojok di lantai dua, yakni kamar 17 AB.
(Baca juga: (Video) Demi Selamatkan Suaminya, Ibu Ini Tembaki Penjahat di Depan Rumah Mereka)
Status kamar tersebut masih disewa orang. Tapi ketika diketuk dan dipanggil, tidak ada jawaban. Para petugas pun berinisiatif membuka pintu yang ternyata tak terkunci itu. Tidak ada seorang pun di sana. Kondisinya bersih dan rapi. Karena penasaran, salah seorang petugas melongok ke kolong tempat tidur. Alangkah terkejutnya dia, di depannya terbujur tubuh perempuan tanpa kepala.
Polisi yang dihubungi lantas melakukan penyelidikan. Berdasarkan kesaksian petugas kasir, sebelumnya, perempuan yang sudah menjadi mayat tersebut menginap bersama seorang pria.
Seorang petugas lain juga menyatakan sempat bertemu pria tersebut yang terlihat terburu-buru meninggalkan hotel. “Pulang, Mas? Kok sendirian?” tanya petugas tersebut. “Iya, sendiri aja. Besok ke sini lagi,” jawab pria tersebut.
Sayang, identitas pria bertubuh tinggi dan kurus, berambut hitam pendek, serta berkulit putih tersebut tidak tercatat. Begitu pula dengan perempuan tanpa kepala yang memiliki ciri-ciri berkulit sawo matang, bertubuh gemuk, tinggi (perkiraan dengan kepala) sekitar 165 cm, dan perut yang besar seperti sedang hamil. Tampaknya identitas korban memang sengaja dihilangkan.
Ponsel tak bisa dihubungi
Selang sehari setelah kejadian, di Kelurahan Lagoa, Koja, Jakarta Utara, seorang lelaki tua bernama Muchtardjo kebingungan. Sudah dua hari anak perempuannya Atikah Septiani, 22 tahun, menghilang.
Baru pada hari kedua ada sebuah pesan SMS di ponselnya dari Atikah yang mengabarkan bahwa dirinya sedang sakit dan berada di Sukabumi karena urusan pekerjaan.
Kabar ini sedikit menenangkan perasaan Muchtar. Maklum, anaknya memang sering pergi ke sana untuk keperluan pekerjaan. Tapi, perasaan tenang itu hanya sementara. Sebab, saat dihubungi, Atikah tak pernah mengangkat telepon atau membalas SMS.
Diburu rasa penasaran, Muchtar lalu mendatangi perusahaan tempat anak perempuannya bekerja, PT. Kaho Indah Citra Garment di kawasan KBN Cakung, Jakarta Utara. “Ternyata tidak ada jadwal ke Sukabumi,” jelas Muchtar yang bertambah panik.
Kecemasan Muchtar makin menjadi setelah menerima SMS mengagetkan. Atikah, janda cerai satu anak, memberi kabar telah mendapat musibah. “Dia bilang dirampok, diperkosa, dan dibuang di Cibubur,” Muchtar bercerita.
Potongan kepala di Kali Kresek
Pada hari keempat, 20 Januari 2008, seorang petugas kebersihan Pemerintah DKI Jakarta yang enggan disebutkan namanya, menemukan sepotong kepala manusia di tumpukan sampah di pintu air Kali Kresek di Jalan Raya Cilincing.
Temuan tersebut disambut “gembira” pihak kepolisian. Maklum, temuan tersebut tidak berselang lama dari penemuan tubuh wanita tanpa kepala di Hotel BM yang berjarak 2,5 KM dari Pintu Air Kali Kresek. Potongan kepala tersebut langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.
Sehari sebelumnya, 19 Januari 2008, petugas kepolisian juga menerima laporan orang hilang dari Muchtar. Petugas lalu meminta surat-surat yang memuat sidik jari anak perempuan Muchtar tersebut.
Dokter forensik RSCM menyatakan, potongan kepala dengan tubuh yang ditemukan di Hotel BM merupakan satu bagian. Sidik jari potongan tubuh dengan sidik jari anak perempuan Muchtar juga sesuai.
Terakhir, saksi dari Hotel BM juga menyatakan bahwa wajah perempuan yang menginap di kamar 17AB sesuai dengan foto anak perempuan Muchtar. Badan Muchtar pun langsung lemas saat mengetahui anaknya telah meninggal secara tragis.
Kenal karena iseng
April 2007 atau sembilan bulan sebelum peristiwa tragis di Hotel BM. Seorang pria 27 tahun, Zaky Afrizal Nurfaizin, bersama seorang temannya menemukan bon belanja yang memuat sebuah nomor ponsel.
Iseng-iseng, teman Zaky menghubungi nomor tersebut memakai ponsel Zaky. Dia mengaku sebagai Mahasiswa Trisakti Jurusan Akuntansi dan bekerja sebagai sales marketing di sebuah bank di Jakarta.
Pemilik nomor ponsel tersebut seorang perempuan. Hampir tiap malam keduanya mengobrol via ponsel dan saling mencurahkan isi hati. Hingga suatu hari, teman Zaky pulang ke kampung halaman.
Tapi perempuan tersebut masih terus menghubungi ponsel Zaky. Meski awalnya cuek, Zaky akhirnya tergoda untuk menjawab panggilan tersebut.
Zaky kemudian berpura-pura menjadi temannya. Tak dinyana, dia keterusan dan sampai “lupa” dengan statusnya yang telah berkeluarga dan dikaruniai satu anak.
Komunikasi dua insan yang tidak pernah bertemu tersebut berlangsung tiga bulan. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk bertemu di Pulogadung, Jakarta Timur, pada Juli 2007.
“Saya janda, Mas, mempunyai anak satu,” ujar perempuan yang ternyata bernama Atikah Septiani tersebut.
Zaky kaget. Tapi dia tetap menyembunyikan identitasnya dan terus melanjutkan permainan. Hingga suatu hari mereka berdua sepakat berpacaran.
Setelah menjalin asamara selama tiga bulan, Atikah mengajak Zaky ke rumahnya untuk diperkenalkan kepada orangtuanya. Melihat keseriusan Atikah, Zaky merasa bersalah. Dia lantas mengaku telah memalsu identitas temannya.
Hanya saja, kenyataan bahwa dia sudah berkeluarga bahkan sudah memiliki anak masih dirahasiakan.
Atikah tak mempermasalahkan hal itu. “Ya udah, saya terima Mas apa adanya. Yang penting Mas mau nasihati saya dan (mau) bertukar pikiran,” ujarnya.
Sebuah penyerahan diri yang membuat mereka semakin dekat. Bahkan, berani melakukan hubungan intim layaknya suami-istri tanpa status pernikahan.
Akhir 2007, usia hubungan mereka menginjak usia enam bulan. Atikah mulai menginginkan hubungan yang lebih serius dan ingin dinikahi.
Zaky pun bingung. Maklum dia sudah punya istri dan anak. Keputusan berat diambil Zaky dengan membeberkan statusnya yang asli.
“Selama ini saya telah membohongi kamu. Saya orang biasa, dan saya sudah menikah,” ujar Zaky. Atikah terkejut dan kecewa.
Mengaku hamil
Sejak saat itu keduanya jarang berkomunikasi. Sampai suatu ketika Atikah mendatangi rumah mertua Zaky. “Saya pacarnya Zaky dan saya sedang hamil tiga bulan,” ujar Atikah saat itu.
Tentu saja mertua Zaky murka. Namun, mereka juga ingin masalah ini diselesaikan. Kalau memang hamil, Zaky harus bertanggungjawab.
Zaky pun mendatangi rumah Atikah. Tapi Atikah tidak ada di rumah. Saat itu juga Zaky memberitahu orangtua Atikah mengenai masalahnya. Orangtua Atikah marah dan mencaci maki Zaky.
Dalam kondisi “panas”, Zaky dan orangtua Atikah sepakat melakukan tes DNA untuk memastikan bahwa anak yang dikandung Atikah benar-benar anak Zaky.
Saat bertemu Atikah di tempat kerjanya, Zaky menyatakan niatnya untuk melakukan tes DNA. Entah kecewa atau marah, Atikah justru meninggalkan Zaky dengan pergi ke Sukabumi selama lima hari dengan alasan pekerjaan.
Zaky tersinggung. Dia merasa dipermainkan. Apalagi kondisinya saat itu sedang tertekan akibat tuntutan dari orangtuanya, istrinya, mertua, dan orangtua Atikah.
Dalam kondisi stres Zaky menerima pesan singkat dari teman Atikah. “Kalau memang jantan, kamu harus berani. Dan kalau bener suka sama Atikah, kamu datang ke tempat kerja,” isi pesan singkat tersebut.
Pesan tersebut langsung dibalas oleh Zaky dan disambut telepon balik oleh Atikah. Awalnya percakapan tersebut berlangsung baik. Sayang, di akhir keduanya malah bertengkar.
Atikah memaki dan mengancam Zaky, “Selagi saya masih hidup, saya akan cari Mas. Saya akan hancurin keluarga Mas semua.”
Kemesraan berakhir pembunuhan
Siang hari, 17 Januari 2008, kedua sejoli yang sedang berkonflik ini bertemu di halte yang terletak di depan Plaza Koja, Jakarta Utara.
Di halte yang berjarak 3 km dari rumah Atikah ini mereka kembali bertengkar. Keributan tersebut juga melibatkan istri Zaky yang dihubungi Atikah melalui ponsel. Saat itu, Atikah memaki-maki istri Zaky.
Dengan pikiran yang kalut dan bingung, Zaky mengajak Atikah pergi ke hotel.
Sekitar pukul delapan malam, mereka tiba di Hotel BM. Di dalam kamar 17 AB, Atikah kembali meminta pertanggungjawaban Zaky.
“Mas, perut saya makin besar. Saya mau nikah tanpa janin dan minta duit untuk menggugurkan kandungan,” pinta Atikah.
Ketegangan sempat mereda ketika mereka mulai saling mengungkapkan perasaan sayang. Bahkan keduanya sempat akan melakukan hubungan badan.
Hanya saja, akhirnya Zaky mengetahui bahwa saat itu Atikah sedang menjebaknya. Atikah menghubungi ponsel istri Zaky dan membiarkan telepon tersebut tetap tersambung saat mereka bermesraan.
Kontan, Zaky meninju rahang Atikah. “Mas, matiin saya saja, kalau Mas berani,” tantang Atikah kala itu. Zaky pun makin mata gelap. Pisau yang sebelumnya disiapkan untuk mengancam Atikah ditodongkannya.
Atikah berontak. Tangannya sampai tergores. Sambil berusaha merebut pisau, Atikah terus mencaci Zaky.
Malam itu pergumulan keduanya berlangsung begitu sengit hingga akhirnya menyebabkan Atikah harus meregang nyawa.
Untuk menghilangkan jejak, kamar yang penuh bercak darah pun dibersihkan.
Zaky juga mengganti seprai, handuk, dan bantal yang berlumuran darah dengan yang masih bersih dari kamar sebelah. Tubuh korban yang sudah tanpa kepala ditaruh di bawah tempat tidur.
Potongan kepala korban dan pakaiannya dimasukan ke tas dan dibuang ke Kali Kresek yang terletak di antara Hotel BM dan rumah Atikah.
Sementara uang senilai Rp120.000, ponsel merek Nokia tipe 3220, dan motor Yamaha Jupiter Z milik korban dibawa pulang.
Nasib penjual nasi goreng
Hasil penyidikan kasus kematian Atikah membawa polisi kepada satu nama, Zaky Afrizal Nurfaizin. Namun, keberadaan Zaky masih belum diketahui.
Sampai akhirnya polisi mencoba menelusuri sinyal ponsel Atikah. Ponsel tersebut digunakan Zaky untuk menghindari kecurigaan keluarga Atikah dengan mengirim pesan palsu yang menyatakan bahwa dirinya sedang berada di Sukabumi, serta mengabarkan bahwa telah dirampok, diperkosa, dan dibuang di Cibubur, Depok, Jawa Barat.
Akhirnya ponsel tersebut justru menjadi bumerang bagi Zaky karena mempermudah pihak kepolisian melacak keberadaanya. Pada 22 Januari 2008, atau hanya berselang lima hari setelah pembunuhan, polisi menangkap Zaky di sebuah kontrakan di Jalan Kota Bambu Utara 2, Palmerah, Jakarta Barat.
Kontrakan Zaky diisi oleh sejumlah pedagang nasi goreng, profesi asli Zaky. Di kawasan yang banyak dihuni oleh para penjual makanan seperti bakso atau nasi goreng ini, Zaky dikenal sebagai seorang pria yang alim dan rajin beribadah.
Selain menangkap Zaky, polisi juga menemukan barang bukti berupa KTP, sepeda motor, helm serta ponsel milik Atikah.
Ponsel Zaky pun disita sebagai barang bukti beserta sepatunya yang masih terkena bercak darah. Dengan kaos dan celana jeans warna biru, Zaky masuk ke mobil polisi.
Delapan bulan kemudian, tepatnya pada 8 September 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis bersalah Zaky Afrizal Nurfaizin dan memberinya hukuman penjara seumur hidup.
Benarkah semua salah pelaku?
Mutilasi biasanya terjadi apabila pelaku dan korban sudah saling kenal dan interaksi keduanya terjadi dalam intensitas tinggi. Apabila pelaku dan korban tidak saling kenal, maka pembunuhan biasanya berhenti sampai pada tindakan mematikan hingga korban meninggal. Demikian analisis Eko Hariyanto, kriminolog dari Universitas Indonesia membedakan kasus mutilasi dengan kasus pembunuhan lainnya.
Yang menarik, menurut Eko, “Mutilasi kerap terjadi setelah korban ataupun pelaku melakukan provokasi.” Kekerasan verbal seperti mencaci dan mengancam merupakan contoh bentuk provokasi yang sering dilakukan. Ketika keduanya merasa provokasi dalam bentuk verbal tersebut tidak cukup melampiaskan kekesalan atau kemarahan mereka, kekerasan fi sik pun dilakukan.
Dalam pembunuhan Atikah, diketahui korban juga sempat mencaci-maki Zaky. Pelaku disebutnya sebagai “Laki-laki yang pengecut, tidak bertanggung jawab dan kere.” Atikah juga sempat mengancam, “Selagi saya masih hidup, saya akan cari Mas. Saya akan hancurin keluarga Mas semua.” Bahkan, sesaat sebelum dibunuh, Atikah sempat mengatakan “Ayo, Mas, matiin saya saja kalau Mas berani.” Zaky yang merasa terhina dan dalam kondisi tertekan pula, akhirnya memutuskan untuk membunuh Atikah.
Tindakannya memutilasi, dalam pengakuan Zaky, dilandasi perasaan bingung dan takut diketahui orang. Jadi, seperti yang dikatakan Eko, “Selain karena ingin melampiaskan dendam, mutilasi juga dilakukan untuk menghilangkan jejak.”
Dalam hal penghilangan jejak, Eko menggarisbawahi peran media. Menurutnya tayangan media yang menunjukan cara menghilangkan jejak, termasuk memutilasi, sangat mungkin tersimpan dalam alam bawah sadar seseorang. Hingga suatu saat, dalam kondisi tertentu, ingatan tersebut muncul dan dilakukan.
(Baca juga: Kotak Mainan si Maniak, Kisah Menyeramkan Wanita yang Dijadikan Budak Nafsu Seorang Sadomasokis)