Advertorial
Intisari-Online.com – Tahun lalu saya membeli rumah. Rumah tipe minimalis, harga minimalis.
Saya tidak menawar harga yang diajukan oleh penjual karena menurut saya harga itu cukup murah.
Kata para ustaz, sengaja mengambil keuntungan dari orang yang sedang kepepet bukanlah tindakan baik.
Ketika mengurus sertifikat hak milik, saya menanggung semua biaya balik nama.
(Baca juga: Saat Kejujuran Selalu Dihargai, Keserakahan akan Selalu Mendapatkan Hukuman)
Pajak penjual pun saya tanggung. Sekalipun rumah sudah saya beli, keluarga penjual itu tidak langsung pindah.
Mereka minta waktu tenggat pindah 1,5 bulan. Saya tidak keberatan.
Tapi setelah waktu tenggat ini habis, mereka kembali minta waktu tenggat dua minggu lagi. Saya masih tidak keberatan.
Ketika waktu tenggat ini habis, mereka kembali minta waktu tambahan.
Sampai di sini saya mulai berburuk sangka. Suuzon, kata para ustaz.
Saya curiga mereka berbohong karena alasan yang mereka pakai selalu berubah-ubah.
Kali ini saya menolak permintaan mereka. Berbohong dalam akad jual beli adalah tindakan tercela.
Namun saya sama sekali tak menyangka ini akan menjadi masalah besar.
(Baca juga: Keramahan Merpati Itu Meluluhkan Ketamakan Pemburu Burung)
Keluarga itu meninggalkan rumah dengan marah. Kunci rumah dititipkan di tetangga sebelah tanpa memberi tahu saya.
Yang lebih mengenaskan, di tembok kamar ada tulisan umpatan yang ditujukan kepada saya.
Jelas saya tersinggung. Jika saya tetap bisa tenang dalam kondisi itu, tentu saya sudah lama menjadi ustaz tukang ceramah keliling, minimal tingkat kampung.
Saya mengampelas tulisan umpatan di tembok sambil menulis “umpatan balik” di dalam hati. Umpat dibalas umpat.
Ketika saya menceritakan kejadian itu kepada kawan guyon saya, ia memberi nasihat, “Daripada marah, lebih baik berdoa kebaikan buat dia.”
Kurang ajar sekali dia, menyuruh saya berdoa kebaikan buat orang yang telah mengumpat saya.
Secara berkelakar dia bilang, “Doa orang yang banyak dosanya seperti kamu tidak akan dikabulkan oleh Tuhan. Tapi setidaknya doa bisa menghilangkan rasa jengkel.”
Penasaran dengan kata-katanya, saya mencoba trik ini. Sejujurnya, ini eksperimen pertama dalam hidup saya.
Saya berdoa agar penjual rumah itu menjadi orang yang lebih baik, lebih terdidik, lebih paham akad jual beli.
Ternyata berhasil. Rasa jengkel saya ternyata bisa hilang, berganti perasaan jenaka.
“Kelihatannya doamu dikabulkan,” kata teman saya. (Ahsan – Intisari November 2011)
(Baca juga: Kisah Burung Pipit yang Terus Membawa Batu Kesedihannya ke Mana pun Dia Pergi)