Advertorial

Negara Kecil Ini secara Gagah Berani Pernah Berperang Melawan dan Menunjukkan Kelemahan Militer Amerika

Moh Habib Asyhad

Editor

Meski kalah, tapi kekalahan itu merupakan tindakan kesatria sekaligus menunjukkan ke dunia bahwa operasi militer AS masih banyak memiliki kelemahan yang berakibat fatal.
Meski kalah, tapi kekalahan itu merupakan tindakan kesatria sekaligus menunjukkan ke dunia bahwa operasi militer AS masih banyak memiliki kelemahan yang berakibat fatal.

Intisari-Online.com -Krisis politik yang diwarnai pertumpahan darah pernah melanda Grenada yang berada di Kepualauan Karibia, pada 25 Oktober 1983.

Militer Grenada yang mendukung Jenderal Austin Hudson, tokoh militer yang prokomunis Kuba, melancarkan kudeta dan membunuh Perdana Menteri Grenada, Maurice Bishop.

Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang kelabakan akibat aksi kudeta yang sebelumnya tidak diprediksi itu. Saat itu, ada sekitar 1.000 warga AS yang berada di Grenada.

(Baca juga:Inilah Pertempuran Laut yang Membuat Militer Amerika Serikat Menemukan Jalan Mengalahkan Tentara Jepang pada Perang Dunia II)

(Baca juga:Sungguh Militer Amerika Serikat Tidak Pernah Belajar dari Pengalaman Mengerikan Perang Vietnam)

Sebagian besar warga AS yang berada di Grenada adalah para mahasiswa yang menempuh studi di St George University Medical School.

Militer AS pun memutuskan untuk mengevakuasi warganya yang terjebak. Mereka juga berusaha “menyelematkan” Grenada dari kekuasaan Jenderal Austin Hudson melalui operasi tempur berskala besar.

Untuk melaksanakan operasi itu, militer AS mengerahkan kapal induk USS Independence dan kapal pendarat pasukan marinir, 22nd Marine Amphibious Unit (22nd MAU), kapal transportasi amfibi Treton, kapal angkut pendarat tank Manitowoc dan Barnstable County.

Selain sebagai kapal pendarat pasukan, 22nd MAU juga mempunyai skuadron helikopter tempur dan helikopter transportasi.

Kebetulan saat itu 22nd MAU sedang dipersiapkan untuk melaksanakan operasi militer ke Lebanon sehingga kondisinya benar-benar siap tempur.

Sejumlah heli tempur yang dimiliki oleh 22nd MAU antara lain UH-1N, AH-1 TOW, CH-53 D, CH-46 F, dan helikopter ukuran medium HMM-261.

Operasi tempur ke Grenada kemudian diberi nama sandi “Operation Urgent Fury”.

Serbuan awal dilakukan oleh penerjunan pasukan dari Army EightySecond Airborne Division dan didukung oleh puluhan helikopter transportasi tempur UH-60A Blackhawk.

Sasaran operasi airborne itu adalah bandara Port Salines dan Pearls Airfield Granville yang lokasinya berdekatan dengan pantai.

(Baca juga:Dinilai Memprihatinkan, Negara Kecil Ini Akan Hapus Sebutan ‘Suami, Istri, Ibu, dan Ayah’)

Pasukan khusus Navy Seals yang telah berhasil menyusup ke pantai dan sekaligus mengamankan area pendaratan kemudian mengontak heli transportasi agar segera mendaratkan para marinir.

Pada malam harinya, operasi pendaratan pasukan marinir ke pantai Grenada terus dilakukan.

Pendaratan pasukan dalam jumlah besar ini diberangkatkan helikopter transportasi yang berpangkalan di kapal pengangkut heli, MAU.

Operasi pendaratan pasukan di pantai itu ternyata mendapat perlawanan sengit dari pasukan Grenada yang membangun pertahanan di bukit-bukit seputar pantai.

Untuk mengantisipasi perlawanan pasukan Grenada, helikopter tempur Cobra pun dikerahkan dan bertugas sebagai payung udara.

Tapi gempuran meriam antipesawat yang dioperasikan pasukan Grenada sempat juga merontokkan sejumlah helikopter Cobra dan menimbulkan korban bagi para awaknya.

Baik awak helikopter Cobra yang selamat maupun tewas kemudian dievakuasi oleh militer AS dengan menggunakan helikopter transportasi CH-46 Sea Knight.

Perlawanan secara terkoordinasi dari pasukan Grenada itu betul-betul tidak terduga karena operasi pendaratan marinir (amfibi) pada dasarnya merupakan yang sangat berisiko jika mendapatkan perlawanan dari darat (pantai).

(Baca juga:Korea Utara Uji Coba Bom Nuklir Hidrogen, AS Pun Segera Siapkan Kekuatan Militer untuk Menggempurnya)

(Baca juga:Inilah Pertempuran Laut yang Membuat Militer Amerika Serikat Menemukan Jalan Mengalahkan Tentara Jepang pada Perang Dunia II)

Seharusnya pertahanan pasukan Grenada di sepanjang pantai dan bukit-bukit yang mengelilingi dihancurkan terlebih dahulu melalui bombardemen udara atau gempuran meriam kaliber besar dari kapal perang.

Namun, kendati mendapat perlawanan sengit pasukan marinir AS terus bergerak maju.

Pada 26 Oktober 1983 pagi pasukan marinir AS yang berhasil mendarat di Grenada dari berbagai arah makin banyak dan secara perlahan pertahanan pasukan Grenada mulai kocar-kacir.

Ketika pasukan marinir AS mulai memasuki pusat kota, militer AS mendapat informasi dari intelijen bahwa masih ada sekitar 200 mahasiswa yang terjebak di St George University.

Pasukan marinir yang didukung oleh helikopter HMM-261 pun dikerahkan menuju universitas yang berlokasi di kawasan pantai Grand Anse itu.

Untuk mendaratkan pasukan dan melaksanakan misi evakuasi di kawasan Grand Anse sebenarnya cukup riskan.

Pasalnya lokasi Grand Ase merupakan daerah yang pendek dan berbatasan langsung dengan tebing pantai yang curam serta dipenuhi oleh pohon-pohon palem yang tinggi.

Kendati medan operasi sulit 200 mahasiswa tetap harus dievakuasi sebelum menjadi sandera pasukan Grenada.

Sembilan unit helicopter CH-46 pun mendarat disusul sejumlah heli transport pasukan HMM-261 yang mendarat di pantai.

Puluhan pasukan Ranger yang berlompatan dari heli HMM-261 segera bergerak mendekati St George University untuk mengamankan area sekaligus membangun perimeter.

Tak lama kemudian sejumlah heli CH-53 menyusul mendarat dan siap mengangkut mahasiswa AS yang berhasil dievakuasi.

Untuk melindungi operasi evakuasi yang cukup riskan itu, sejumlah pesawat A-7 Corsair dan AC-130 gunship yang terbang dari kapal induk USS Independence terus terbang berputar-putar di udara dan bertugas sebagai payung udara.

Berdasar pengalaman telah mendapatkan perlawanan sengit dari pasukan Grenada ketika melaksanakan serbuan amfibi, kali ini pasukan AS melakukan bombardemen terlebih dahulu.

Setelah kawasan Grand Anse dihujani tembakan artileri, mortir, dan pemboman dari udara, serbuan St George pun dimulai.

Pasukan Grenada yang bertahan di gedung-gedung tinggi yang berada di sekitar kawasan Grand Ase berusaha keras menahan serbuan pasukan AS sehingga menimbulkan perang kota dalam jarak dekat yang sengit.

Satu heli CH-46 yang sedang mengudara untuk mengevakuasi pasukan tiba-tiba rotor belakangnya menghantam pohon palem dan pilotnya memutuskan melaksanakan pendaratan darurat.

Setelah melalui pertempuran yang hanya berlangsung singkat, proses evakuasi untuk menyelamatkan 200 mahasiswa AS di St George akhirnya sukses.

Memasuki hari ketiga pertempuran, 27 Oktober 1983, militer AS melancarkan serbuan besar-besaran di pusat kota St George.

Puluhan heli transport yang mendaratkan pasukan Ranger terus berdatangan dan dilindungi oleh pesawat tempur A-6, A-7E, dan AC-130 H Spectre gunship.

Tapi dalam pertempuran sengit di hari ketiga itu korban yang cukup besar jatuh di pihak militer AS.

Sejumlah pasukan Ranger tewas dan tiga heli UH-60 A Blackhawk hancur, dua unit AH-ITOW dan satu unit CH-47 hilang.

Ketika Operations Urgent Fury berakhir dan AS sukses menguasai Grenada, kerugian yang dialami oleh AS antara lain 18 prajurit tewas, dan 116 luka.

Sedangkan militer grenada kehilangan 45 tentara, 337 prajurit terluka.

Sementara secara keseluruhan helikopter AS yang rusak atau hancur adalah satu unit 500HD Defender dan tiga unit UH-60 Blackhawk , satu unit OH-58 Kiowa dan satu unit Blackhawk rusak parah, dua AH-IT Sea Cobra dan satu unit UH-46 Sea Knight rusak berat.

Dari sisi militer gugurnya sejumlah pasukan khusus AS bisa terjadi karena militer Grenada ternyata telah menyiapkan diri dari gempuran militer AS yang dinilai terlalu tergesa-gesa.

Perlawanan di pantai Grenada ketika pasukan AS mendarat jelas menunjukkan bahwa pasukan Grenada telah siap menyambut dan tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan AS.

Sebagai negara kecil yang dengan gagah-berani bertarung melawan raksasa militer AS, Grenada memang akan kalah.

Tapi kekalahan itu merupakan tindakan kesatria sekaligus menunjukkan ke dunia internasional bahwa operasi militer AS masih banyak memiliki kelemahan yang berakibat fatal.

Artikel Terkait