Advertorial

PLO, Para Pejuang yang Gigih Melawan Pasukan Israel Demi Mendapatkan Kemerdekaan di Bumi Palestina

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com -Pasca-Perang Yom Kippur (1973), Israel tidak lagi berseteru dengan negara-negara Arab dalam bentuk kontak senjata.

Tapi justru bermusuhan dengan gerilyawan Palestina (Palestine Liberation Oraganization/PLO) yang kerap melancarkan serangan.

PLO di bawah pimpinan Yasser Arafat semula bermarkas di Yordania.

Pasukan Israel pun kerap memburu para pejuang PLO itu masuk ke Yordania dan kemudian malah bentrok dengan pasukan Yordania.

(Baca juga:Perang Arab-Israel, Perang Berkepanjangan yang Tak akan Berhenti Sebelum Warga Palestina Merdeka)

(Baca juga:Perang Arab-Israel 1948, Perang yang Berujung pada Pengukuhan Kemerdekaan Israel secara Sepihak)

Keberadaan para pejuang PLO lama-lama membuat Pemerintah Kerajaan Yordania jengah karena PLO seperti ‘’negara dalam negara’’.

Apalagi pengaruh PLO di Yordania cukup kuat dan banyak rakyat Yordania yang turut bergabung.

Konflik antara PLO dan militer Yordania yang bermaksud mengusirnya pun meletus.

Para pejuang PLO akhirnya terusir dari Yordania setelah dipukul mundur oleh pasukan tempur Yordania yang terkenal bernama Legiun Arab.

Para pejuang PLO lalu mengungsi ke Lebanon, wilayah yang semula tenang dan memiliki garis pantai yang indah.

Kehadiran para pejuang PLO diterima oleh Pemerintah Lebanon karena adanya kesepakatan bahwa PLO tidak akan menyerang Israel dari wilayah Lebanon.

Tapi aspirasi rakyat Palestina dan PLO yang kini terusir itu tetap menginginkan negara merdeka di wilayah Palestina yang sedang diduduki Israel, PLO pun kemudian melakukan konsolidasi.

(Baca juga:Yasser Arafat, Pejuang Palestina yang Legendaris dan Pernah Memukul Mundur Pasukan Israel)

(Baca juga:Pembantaian Atlet Israel di Munich Inilah yang Memicu Keganasan Agen Mossad dan Pasukan Israel di Lebanon)

Para pejuang PLO yang bermarkas di wilayah Lebanon Selatan terus melakukan konsolidasi termasuk membentuk pasukan tempur dan mulai memiliki pengaruh kuat, khususnya di kota Tyre dan Sidon.

Di wilayah itu, secara politik dan kekuatan militer pengaruh PLO ternyata demikian kuat sehingga malah mengalahkan pengaruh Pemerintah Lebanon sendiri.

Apalagi sejumlah negara Arab mulai terang-terangan mendukung.

Upaya PLO untuk memiliki negara merdeka di Palestina sehingga Pemerintah Lebanon mulai merasakan ‘’gangguan’’ PLO seperti ketika PLO menetap di Yordania.

Masalah PLO pun menjadi perhatian internasional dan sejumlah fraksi di Pemerintah Lebanon pun berusaha memanfaatkannya.

Fraksi dalam Pemerintah Lebanon yang cenderung sering bentrok itu antara lain kelompok Kristen, kelompok Muslim (Syiah dan Sunni), dan kelompok Druze.

Perang antara fraksi itu, yang sebenarnya merupakan perang saudara, kadang demikian parah dan sampai membuat militer Lebanon kewalahan untuk mengatasinya.

Sementara itu pejuang PLO yang makin kuat diam-diam melanggar kesepakan dengan Pemerintah Lebanon untuk tidak menyerang Israel, dengan melancarkan secara gerilya.

Situasi perbatasan Lebanon Selatan dan Israel pun makin memanas karena sering terjadi bentrok senjata antara pasukan Israel dan PLO.

Korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.

Untuk mengatasi serangan PLO, pada tahun 1978, militer Israel pun melancarkan operasi militer dalam skala besar untuk mendesak mundur pejuang PLO dari Lebanon Selatan.

Operasi militer yang melibatkan kekuatan darat dan udara Israel itu akhirnya berhasil memukul mundur pejuang PLO hingga wilayah Lebanon Utara di kawasan sepanjang Sungai Litani.

Untuk mencegah kondisi makin parah, pasukan PBB, UNIFIl pun diturunkan.

Tujuannya adalah untuk menciptakan kawasan penyangga yang damai sekaligus memisahkan pasukan Israel dan PLO di wilayah Lebanon Selatan.

(Baca juga:Dan Halutz, Jenderal yang Membuat Malu Militer Israel Setelah Kalah Bertempur Melawan Hizbullah)

Di wilayah Lebanon Selatan setelah terusirnya PLO, gantian Israel yang saat itu mempunyai pengaruh secara militer.

Untuk menangani aksi gerilyawan PLO, militer Israel kemudian memprakarsai pembentukan milisi bersenjata Tentara Lebanon Selatan, South Lebanon Army (SLA).

Keberadaan SLA itu memang membuat PLO menjadi terbatas ruang geraknya.

Tapi PLO tak hilang akal mereka mengusahakan persenjataan jarak jauh untuk menyerang Israel, yakni roket Katyusha.

Dengan menggunakan roket buatan Rusia di era PD II yang sudah dimodifikasi itu, pejuang PLO tidak lagi perlu masuk ke kawasan penyangga yang dijaga UNIFIL untuk menggempur wilayah Israel.

Tidak hanya meluncurkan roket Katyusha, PLO juga menembakkan meriam artileri jarak jauh yang didapat dari Suriah sehingga bisa menyerang wilayah Israel bagian utara (Galilea).

Pasukan Suriah sudah lama masuk ke wilayah Lebanon dengan dalih mengatasi perang saudara yang kerap berkecamuk di Lebanon.

Pasukan Suriah bahkan memasang radar untuk mengamati penerbangan jet-jet tempur Israel, sehingga tindakan Suriah itu membuat Israel makin berang.

Akibat serangan roket dan gempuran artileri PLO, Israel pun melancarkan serangan balasan melalui udara.

Tempat pangkalan PLO di Beirut dibombardir demikian juga pangkalan-pangkalan PLO di beberapa tempat lainnya di Lebanon.

Karena serangan udara itu mengakibatkan korban sipil yang demikian banyak, atas prkarsa AS dan mediasi Arab Saudi akhirnya tercapai gencatan senjata.

Sedangkan pasukan PBB yang berada di daerah penyangga Lebanon Selatan sama sekali tak berdaya.

Aksi gerilyawan PLO terus berlanjut dan sejumlah kelompok sempalan PLO yang memilih tindakan berupa teror juga melancarkan serangan di tempat lain.

Pada bulan Juni 1982, Dubes Israel untuk Inggris ditembak dan luka parah oleh sekelompok orang.

Pasukan khusus Inggris berhasil menangkap para pelaku penembakkan itu yang mengaku sebagai pejuang PLO.

Meskpiun petinggi PLO di Lebanon menyangkal bahwa para pelaku merupakan anggota PLO, militer Israel pun kemudian melancarkan serangan balasan secara besar-besaran dari darat dan udara.

(Baca juga:Meski dalam Perang Yom Kippur Pasukan Mesir Terpukul Mundur, tapi Secara Politis Israel Sebenarnya Kalah)

Para pejuang PLO berusaha memberikan perlawanan sengit atas serbuan Israel itu sehingga menimblukan pertempuran hebat.

Jet-jet tempur Suriah juga turut terjun dalam pertempuran di Lebanon setelah sistem pertahanan udara Suriah yang berada di pangkalan Lembah Bekaa diserang Israel.

Duel tank dan jet tempur antara Israel dan Suriah kembali terjadi.

Ketika pasukan Israel mulai mendekati Beirut tempat Markas Besar PLO, militer Israel ternyata menghentikan serangannya karena untuk merebut Beirut pasti akan jatuh korban besar, khususnya penduduk sipil.

Pemerintah AS kembali turun tangan untuk mengatasi perseteruan antara Israel dan PLO.

Dengan supervisi pasukan PBB, PlO akhirnya memilih meninggalkan Beirut dan bergerak pindah ke negara Arab yang mau menerimanya, Tunisia.

Ribuan pejuang PLO lainnya pindah secara tersebar ke negara-negara Arab lainnya.

Dengan perginya para pejuang PLO militer Israel pun menjadi penguasa atas Lebanon Selatan dan sebagian Lebanon Utara dekat Beirut.

Tapi pada tahun 2006 pasukan Israel berhasil diusir dari Lebanon Selatan oleh para pejuang Hizbullah.

Namun, bulan Desember 2017, Israel secara sepihak memindahkan ibukotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Tindakan Israel itu segera membangkitkan perlawaanan dari PLO, Hamas, Hizbullah, dan negara-negara Arab sehingga kondisinya seperti di ambang peperangan.

Artikel Terkait