Advertorial
Intisari-Online.com – Beberapa bulan lalu seorang kepala sekolah di Malang meninggal dunia. Ini memang peristiwa kecil.
Barangkali akan menjadi istimewa kalau yang wafat adalah seorang presiden atau artis terkenal.
Namun kehyataannya, wafatnya "sekadar" seorang kepala sekolah itu melahirkan inspirasi yang luar biasa pada perspektif pemikiran tentang relasi antarmanusia.
Jenazah almarhum disemayamkan di aula sekolah selama tiga hari. Sekolah yang sehari-hari hanya dikunjungi oleh ratusan siswa-siswinya, kini harus menampung ribuan pengunjung.
(Baca juga:Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
Sebagian besar dari-mereka adalah para mantan anak didik almarhum, yang datang khusus untuk memberikan penghormatan terakhir. Hamparan karangan bunga memenuhi ruang-ruang dan dinding-dinding sekolah.
Terbaca di sana para pengirim karangan bunga berasal dari berbagai penjuru kota di Tanah Air, bahkan dari luar negeri.
Peristiwa ini menjelma sebagai ajang reuni para alumnus dan alumnae. Mereka hadir dalam kebersamaan hangat, saling berkomunikasi dengan penuh keakraban; mereka sungguh merefleksikan bagaimana manusia bisa menggalang relasi yang baik dan benar.
Itu semua terjadi dalam naungan keteladanan sang kepala sekolah yang sehari-harinya dulu selalu memperhatikan penggalangan relasi antarinsan yang baik.
Wibawa sang maestro relasi yang kini sudah wafat itu memang selalu terpancar. Ketika dia dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, ratusan pengunjung silih berganti datang membesuk.
Para pengunjung itu berkumpul, namun mereka nyaris selalu hening, hanya berbicara bilamana sangat diperlukan. Pembicaraan mereka pun kebanyakan bertopik upaya terapi dan pengpbatan terbaik untuk kepala sekolah yang sangat mereka cintai.
Pada hari pemakaman, ribuan pelayat mengantar sang pendidik ke tempat peristirahatan terakhir. Tak pelak, lalu lintas macet karena iring-iringan pelayat dan kendaraan memadati jalanan.
Banyak orang di pinggir jalan berdecak kagum ketika menyadari betapa para pelayat yang jumlahnya ribuan itu mengantar "sekadar" seorang pelayan masyarakat yang sehari-hari berkarya sebagai pendidik dan kepala sekolah, bukan pejabat tinggi pemerintah, dan bukan tokoh konglomerat.
Tak dapat disangkal, figur pendidik yang wafat itu menjelmakan hikmah tentang kekuatan relasi antarinsan yang baik dan benar.
Kesaksian para anggota keluarga, alumnus dan alumnae, para guru, tokoh masyarakat, meneguhkan fakta betapa kelebihan sang kepala sekolah adalah perhatian dan kepeduliannya pada nasib relasi antarinsan di tengah kehidupan sehari-hari.
Almarhum mendidik dengan sangat memperhatikan kehidupan murid-muridnya, satu demi satu. Dia menyapa setiap muridnya dengan nama masing-masing secara tepat.
Dia bisa tiba-tiba hadir di rumah karyawan sekolah, di rumah guru, atau di rumah murid. Di sana dia menyapa mereka, memberikan semangat untuk selalu menjalani kehidupan dengan baik, memberi dorongan untuk terus berharap atas terwujudnya kebaikan dan kebenaran, serta menyemangati untuk terus berjuang dengan mengalahkan pesimisme, kesedihan, keputusasaan.
Seorang guru memberikan kesaksian betapa kepala sekolah itu tidak segan mengunjungi keluarganya dengan kehangatan yang tulus.
Seorang mantan murid yang menderita sakit kronis memberikan kesaksian bahwa pendidik yang sejati itu menyempatkan mengunjungi dirinya beberapa kali untuk memberikan dorongan dan semangat dalam berperang melawan penyakit yang dideritanya.
Wajar, ketika sang pendidik, wafat, semua merasa amat kehilangan.
Kesaksian publik memang perlu dipetik sebagai butir-butir pencerahan relasi antarinsan yang bersifat mendidik. Publik mengenali salah satu kebaikan luhur almarhum, yakni kepedulian dan perhatiannya pada relasi antarinsan.
Dia sendiri meneladankan praktik pendidikan riil yang berpusatkan relasi antarinsan yang penuh pengertian, penuh penerimaan, dan cinta kasih. Ini memberikan kekuatan luar biasa.
Seorang rohaniwan mantan muridnya memberikan kesaksian, dirinya pernah mendambakan mendapatkan hukuman dari sang kepala sekolah, karena dia pernah mengalami, ketika dirinya dihukum, bisa merasakan relasi yang menumbuhkembangkan dirinya.
Publik juga memberikan kesaksian, almarhum selalu tampil sebagai, manusia yang berdisiplin tinggi dan konsekuen menegakkan peraturan.
Itu semua bisa dilaksanakan dengan baik, karena dia sendiri lebih dulu mengejawantahkan perikehidupan yang bisa dipercaya, taat aturan, konsekuen dan konsisten dalam kebaikan serta kebenaran.
Beberapa mantan muridnya mengaku, sekarang sulit menemukan manusia yang berdisiplin tinggi sekaligus mengejawantahkan teladan nyata hidup yang konsekuen dan konsisten dalam kebaikan serta kebenaran.
Sebaliknya, kini terlalu banyak orang yang hanya berbicara tentang kebaikan dan kebenaran, namun bukan pengejawantah kebaikan dan kebenaran.
Seorang siswi memberikan kesaksian, almarhum adalah seorang pemimpin yang tegas. Diakui, para murid sekolah yang semuanya remaja dan insan muda itu amat memerlukan figur pemimpin yang tegas.
Namun, kata siswi itu, almarhum kian disegani dan dicintai justru karena di samping ketegasannya, ia selalu siap berdialog dengan siapa pun. Satu lagi, beliau tak pernah menghukum muridnya dengan menyakiti hatinya.
Siswi yang juga sering dihukum itu mengakui, dirinya tidak pernah sakit hati. Bahkan kini dia menghayati cinta kasih almarhum yang telah mendidik dirinya dengan baik.
Mudah-mudahan ini semua bisa memberikan inspirasi untuk penggalangan relasi antarinsan yang baik dan benar.
Beberapa pilar relasi itu adalah perhatian dan kepedulian kemanusiaan yang tinggi; disiplin yang konsekuen dan konsisten dalam kebaikan dan kebenaran; keteladanan hidup yang baik; dialog; serta tindakan korektif tanpa menyakiti hati.
(Ditulis oleh Limas Sutanto, SpKJ. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2002)