Advertorial
Intisari-Online.com -Himawan Sutanto lahir di Gorang-Gareng, Magetan, Jawa Timur, 14 September 1926.
Karier militernya diawali saat lulus dari Akademi Militer Yogyakarta tahun 1948 dan kemudian terlibat perang gerilya melawan Belanda.
September 1948, Himawan masuk Divisi Siliwangi Jawa Barat gara-gara ikut menumpas PKI/Moeso lalu bergabung dengan Kompi Tentara Pelajar pimpinan Solihin G P (pernah menjabat Gubernur Jabar).
(Baca juga:Di Bawah Berondongan 120 Peluru Temannya Sendiri, Tentara Korut Ini Berhasil Kabur ke Korsel)
Pada agresi Belanda kedua , Himawan yang sudah bergabung dengan pasukan Siliwangi diperintahkan melaksanakan Long March dari Jawa Tengah menuju Jawa Barat sesuai hasil kesepakatan Perjanjian Renville.
Keikutsertaan Himawan dalam aksi Long March itu scara otomatis menjadikan dirinya bagian dari Divisi Siliwangi termasuk perkembangan karier puncak berikutnya di dunia militer.
Karier Himawan berikutnya di Divisi Siliwangi adalah komandan peleton di bawah Komandan Batalyon Nasuhi.
Pada tahun 1950 ketika ia menjabat Komandan Kompi pada Batalyon 204, Himawan turut dalam operasi militer melawan DI/TII di Jawa Barat.
Pada bulan April 1964 ketika Himawan yang saat itu berpangkat Mayor bersama pasukannya diperintahkan menumpas pemberontakan Permesta.
Himawan pun berhasil menunjukkan semangat tempur yang luar biasa.
Ketika pasukannya sedang dalam kondisi terdesak Himawan justru mengambil inisiatif untuk memimpin pasukan Batalyon 330/Kujang-1, menyerbu ke sarang para pemberontak Permesta.
Pasukan Batalyon 330/Kujang-1, yang sebenarnya hanya seper-lima dari seluruh kekuatan pasukan Permsta di Polewali, akhirnya berhasil membunuh Letkol Andi Sele dan menghancurkan salah satu kekuatan utama pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Berkat keberaniannya itu Panglima TNI Angkatan Darat (PANGAD) saat itu , Letjen TNI Ahmad Yani memberikan kenaikan pangkat khusus kepada Himawan Soetanto.
Himawan menjadi Letnan Kolonel dan juga Bintang Jasa Nararya pada HUT Kodam III/Siliwangi ke-19 di Lapangan Tegalega, 20 Mei 1965.
Setelah itu karier Himawan terus melesat dan menjabat sebagai Komandan Batalyon 330/Kujang I Siliwangi yag merupakan satuan kebanggaan Jawa Barat .
Jabatan berikutnya adalah Komandan Brigade Lintas Udara 17/Kujag, Asisten Operasi Kodam VI/Siliwangi dan Paglima Kodam VI Siliwangi.
Sebelum menjabat sebagai Pangdam VI/Siliwangi, Himawan yang saat itu berpagkat Brigjen pernah memimpin pasukan PBB di Kongo dan terbilang sebagai perwira tinggi Indonesia yang sukses dalam tugasnya.
Ketika masih menjabat sebagai Komandan pasukan PBB Kongo, Himawan secara mendadak dipanggil pulang ke Indonesia untuk memangku jabatan yang lebih tinggi yakni Pangkostrad.
Kendati hanya menjabat selama tujuh bulan, Himawan yang dikenal sebagai jenderal pemikir itu berhasil meletakkan dasar bagaimana perkembangan Kostrad di masa depannya.
Jabatan Himawan setelah Pangkostrad adalah kembali ke asal-usulnya, Divisi Siliwangi, Pangdam VI Siliwangi.
Usai menjabat sebagai Pangdam VI, Himawan yang saat itu menyandang pangkat Letnan Jenderal antara lain menjabat sebagai Panglima Kostranas (Komando Strategis Nasional) dan kemudian Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) yag membawahi daerah Sulawesi dan Kalimantan.
Jabatan terakhir di militer adalah Kepala Staf Umum TNI/ABRI.
Setelah pensiun, di usia senjanya, Himawan justru aktif menulis buku tentang sejarah militer dan sekaligus mengikuti program doktoral (S3) di Fakultas Ilmu Budaya UI.
Kinginan untuk terus belajar itu meskipun kesehatannya makin menurun dan harus menjalani cuci darah dua kali seminggu tetap menggeu-nggebu.
Maklum Himawan di masa remajanya pernah bergabung dengan Tentara Pelajar dan minat belajanya terus terbawa hingga dirinya pensiun.
Kediaman Himawan di perumahan Permata Hijau, Jakarta Barat bahkan dipenuhi buku yang menjadi bahan untuk menyelesaikan studi S3.
Himawan meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta. pada Rabu, 20 Oktober 2010, pukul 09.51 WIB.
Himawan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Kediaman Himawan di Permata Hijau lalu dijual oleh keluarganya dan buku-buku Himawan disumbangkan ke perpustakaan Pusat Sejarah TNI yang berlokasi di Museum Satria Mandala Jakarta.
Begitu banyak buku yang dimiliki oleh Himawan sehingga Pusjarah TNI sampai mengalokasikan ruangan tersendiri.