Advertorial
Intisari-Online.com -Teuku Umar lahir dengan nama Teuku Umar Johan Pahlawan. Ia lahir di Meulaboh pada 1854.
Kendati orang asli Aceh, nenek moyang Teuku Umar, Datuk Makudum Sati, adalah keturunan Minangkabau. Ia punya jasa besar pada Sultan Aceh.
Bakat Teuku Umar sebagai seorang pemimpin pasukan perang sudah terlihat dari kecil.
Bakat itu terlihat dari kegemarannya berkelahi dan selalu menjadi pemimpin kelompok bermainnya.
(Baca juga:Usman-Harun dan Kuil Yasukuni: Tipisnya Garis Pemisah antara Gelar Pahlawan dan Penjahat (Perang))
(Baca juga:Berkunjung ke Kota Pahlawan, Carilah Nasi Udang Bu Rudy plus Sambalnya yang Bikin Betah Nongkrong)
Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar yag baru berumur 19 tahun pun ikut bertempur.
Saat berumur 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sopiah anak Ulebalang Glumpang.
Untuk menaikkan derajatnya menjadi seorang ningrat, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai seorang putri Panglima Sagoe XXV Mukim.
Sejak pernikahan itu gelar Teuku secara resmi bisa disandang oleh Umar, Sehingga nama lengkapnya menjadi Teuku Umar.
Sedangkan nama Johan Pahlawan diberikan oleh Belanda saat Teuku Umar pura-pura menyatakan kooperatif.
Peristiwa yag sangat menggemparkan itu terkenal dengan nama “sandiwara besar” dan berlangsung ketika Teuku Umar beserta pasukannya pura-pura melakukan sumpah setia kepada Belanda.
Padahal tindakan kooperatif itu hanya merupakan taktik tipu daya untuk memperoleh logistik dan amunisi dari Belanda.
Begitu semua perlengkapan diperoleh termasuk gelar Johan Pahlawan, Teuku Umar dan pengikutnya kembali bergabung dengan pasukaan Cut Nyak Dien.
Cita-cita Teuku Umar sejak remaja sendiri adalah mengusir penjajah Belanda yang telah merugikan rakyat Aceh.
Oleh karena itu ia sama sekali tidak mungkin melakukan kerjasama terhadap Belanda.
Akibat tipu daya Teuku Umar, Gubernur Belanda di Aceh, Mayor Jenderal C. Deijkerkhof dicopot dari jabatannya.
Walaupun Teuku Umar tak memperoleh pendidikan sekolah seperti pemimpin-pemimpin lainnya tapi ia mampu tampil sebagai pemimpin pejuang yag mahir, disiplin, dan sekaligus memiliki semangat tempur tinggi.
Ia pintar mengatur strategi peperangan mulai dari perang gerilya, perang frontal, dan melancarkan tipu daya.
Ketika suami Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim gugur. Teuku Umar datang dalam acara penguburan.
Dalam kesempatan itu ia berkenalan dengan Cut Nyak Dien yang kemudian menjadi istrinya.
Karena memiliki cita-cita yang sama, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien lalu menjadi pasangan pemimpin yang tangguh.
Setelah memimpin sejumlah pertempuran yang menimbulkan kerugian besar bagi pihak Belanda, secara perlahan kekuatan pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien melemah.
Belanda yang terus melancarkan tipu daya dan politik pecah belah akhirnya membuat Cut Nyak Dien dan Teuku Umar makin terdesak.
Pada bulan Februari 1899 Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap pertahanan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien di Meulaboh.
Dalam pertempuran sengit itu Teuku Umar gugur. Namun gugurnya Teuku Umar justru memicu semangat tempur Cut Nyak Dien makin berkobar-kobar.
Saat Teuku Umar gugur, jasadnya dikuburkan secara rahasia di kawasan terpencil, Meugo.
Tujuannya agar Belanda tidak memanfaatkan gugurnya Teuku Umar untuk meruntuhkan moril tempur pejuang Aceh.
Kawasan makam Teuku Umar itu kemudian secara rutin dipakai sebagai tempat upacara memperingati Hari Pahlawan 10 Novmbeer.