Advertorial
Intisari-Online.com- Pemberitaan mengenai Gunung Padang beberapa bulan belakangan ini memang berhasil menyedot rasa penasaran banyak orang, termasuk media dan pejabat pemerintah. Padahal sejatinya Situs Gunung Padang ini bukan penemuan baru.
Pada 1979, petani setempat yang bernama Endi, Soma, dan Abidin “menemukan” serakan batu dengan wilayah sebaran yang luas dan terpola yang tertutup semak belukar Bukit Gunung Padang, Desa Karyamukti, Cianjur, Jawa Barat. Karena rasa penasaran, mereka kemudian melaporkannya ke Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Cianjur.
Itu pun ternyata bukan kali pertama penemuan, karena ternyata pada 1914, N.J. Krom, arkeolog Belanda yang juga meneliti Candi Borobudur masa itu, sudah mencatat keberadaan situs megalitikum di Gunung Padang ini. Sejak itu belum ada penelitian intensif.
(Baca juga:Gunung Padang, Misterinya Mengundang Banyak Wisatawan)
Pada 1980, mulailah dilakukan penelitian ulang yang dipimpin oleh Prof Dr. Raden Panji Soedjono, pakar prasejarah pertama Indonesia. Mulai saat itu, proses ekskavasi dan restorasi terus berjalan, melibatkan banyak pakar dari disiplin ilmu dan berbagai dinas pemerintah terkait.
Sampai akhirnya pada Desember 2011, Kantor Staf Khusus Kepresidenan membentuk Tim Katrastopik Purba yang beranggotakan pakar dari berbagai disiplin ilmu, seperti geologi, geofisika, paleotsunami (ilmu tsunami purba), paleosedimentasi, geodinamika, arkeologi, filologi (ilmu yang mempelajari naskah kuno), dan antropologi. Penelitian oleh tim ini masih berlangsung sampai sekarang.
Ditemukannya struktur yang selama ini tersembunyi, baik di dalam tanah maupun di lereng bukitnya menjadikan Gunung Padang kembali menarik minat. Menurut juru pelihara situs tersebut, hari Sabtu dan Minggu saja jumlah kunjungan bisa mencapai 9.000 pengunjung!
Untuk mencapai kesimpulan akhir mengenai Situs Gunung Padang, peradaban dan kebudayaan purba yang terjadi di sana, tentu bukan jalan yang singkat dan mudah. Namun kearifan agung macam ini layak untuk dinanti, sampai cerita utuhnya menunjukkan betapa hebatnya peradaban Indonesia dahulu kala.
Banyak Konstruksi Tersembunyi
Hasil penelitian tim terpadu penelitian mandiri yang dibentuk oleh Staf Khusus Kepresidenan Bidang Bencana dan Bantuan Sosial, Andi Arief, yang terdiri dari tim geologi dan arkeologi menemukan struktur bangunan yang yang jauh lebih besar daripada yang sudah diketahui di Situs Megalitikum Gunung Padang saat ini. Tak pelak, kabar ini menjadikannya kembali menjadi perbincangan. Istilah “piramida terpendam” pun mencuat.
Penelitian awal yang dilakukan dari Desember 2011 sampai Maret 2012 oleh tim geologi menggunakan berbagai metode, seperti citra satelit, georadar, geoelektrik, pengeboran, dan analisis karbon. Hasil penelitian tersebut memang meneguhkan pendapat bahwa ada struktur bangunan yang dibuat oleh manusia di dalam bukit tersebut.
(Baca juga:Arkeolog dan Geolog Gugat Hasil Riset Gunung Padang)
Ribuan batuan yang berbentuk kolom-kolom memanjang yang tersebar di seluruh bukit – bukan hanya di puncaknya, tapi juga ditemukan di lereng bahkan kaki bukit - merupakan batuan andesit berwarna hitam. Batuan ini terbentuk dari aktivitas vulkanik, yang akhirnya membeku dan membentukcolumnar joint, batuan berbentuk kolom. Batu panjang itu belum dikerjakan manusia, asli bikinan alam. Namun manusia kemudian menyusun batuan tersebut menjadi sebuah bangunan.
Penelitian juga berhasil memperkirakan usia bangunan tersebut. Tim geologi mengambil sampel tanah dengan mengebor, kemudian diuji radioisotop C14,umur sisa arang, tumbuhan organik paleosoil (carbon dating) dengan alat Liquid Scintillation Counting (LSC). Hasilnya, dari sampel tanah yang diambil dari Teras II dengan pengeboran dengan kedalaman 3,5 m dan sampel tanah yang diambil dari Teras V pada kedalaman 8 - 10 m menunjukkan usia 10.000 tahun sebelum Masehi.
Dari hasil pengeboran oleh tim geologi, ditemukan lapisan-lapisan yang memperkuat pendapat bahwa di dalam tanah tersebut ada jejak perbuatan manusia. Dr. Ir. Andang Bachtiar, M.Sc., salah seorang geolog yang ikut dalam penelitian Situs Gunung Padang, menjelaskan bahwa di kedalaman tanah di bawah situs tersebut ditemukan pasir halus yang ukurannya sama. “Ini seperti sudah diayak,” kata Andang saat memaparkan hasil penelitian pada 7 Februari lalu di Gedung Krida Bakti, Jakarta Pusat.
Lapisan pasir berselang-seling dengan lapisan hasil lapukan batuan andesit sampai berulang beberapa kali lapisan. Tim geologi memperkirakan, ini adalah struktur yang berfungsi untuk menahan bangunan tetap utuh jika terjadi gempa.
Serba Lima
Situs Gunung Padang di Cianjur memang menawarkan cerita menarik. Penduduk di sana mempercayai Gunung Padang adalah tempat yang sakral. Salah satu yang menarik adalah cerita tentang serba lima. Apa saja itu?
“Jabal Nur” Indonesia
Nanang, dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang, Banten, sekaligus koordinator juru pelihara di Gunung Padang menceritakan, asal nama Gunung Padang berasal dari Nagara Siang Padang.Padangbahasa Sunda, yang berarti terang, atau cahaya. Masyarakat setempat menghubungkan nama Gunung Padang dengan Jabal Nur di Arab Saudi. Artinya sama, yaitu gunung yang bercahaya. “Jabal Nur itu ciptaan Yang Mahakuasa. Gunung Padang juga sama, ciptaan Yang Mahakuasa. Karena berbagai penelitian dari dulu belum bisa menjelaskan batu Situs Gunung Padang itu berasal dari mana, sumbernya dari mana, yang membuat siapa, sejak kapan,” jelas Nanang.
Nanang melanjutkan, cerita turun temurun yang dipercaya warga, punden berundak dengan teras-teras tersebut mengandung makna yang sangat dalam. “Di teras pertama ada yang namanya Eyang Pembuka Lawang. Ada dua menhir besar yang sayangnya sekarang tinggal satu yang masih berdiri tegak. Secara filosofis, sebagai simbol membuka dan mempersiapkan hati sebelum memasuki areal pemujaan tersebut.
(Baca juga:Ada Gunung Padang, Ada Kalumpang)
Kemudian ada yang namanya Gunung Masigit/Masjid. Di situ terdapat dua menhir yang miring, seperti orang bersujud. Arah sujudnya mengarah ke Gunung Gede.
Di Teras II, ada yang disebut Mahkuta Dunia. Menurut Nanang, banyak orang yang salah persepsi. Orang bersemedi dan tirakat di tempat tersebut untuk meminta sesuatu, kekayaan misalnya. “Sebetulnya bukan seperti itu, Mahkuta Dunia itu sebenarnya simbol kehormatan dunia. Artinya, buat apa kita punya kekayaan berlimpah kalau tidak didasari dengan zakat. Karena di dekat Mahkuta Dunia itu ada batu yang dinamakan Batu Lumbung, simbol sikap saling berbagi.
Di Teras III, ada batu yang dinamakan Telapak Kujang. Kujang itu senjata pusaka masyarakat Sunda. Menurut Nanang, Batu itu tepat berada di sentral Situs Gunung Padang. “Dulu berdiri, cuma sekarang sudah rubuh,” jelasnya. Nanang menjelaskan, Kujang berasal dari “ku ujang”,bahasa Sunda,yang artinya “oleh kamu”. “Artinya, makna-makna yang ada di Gunung Padang itu harus dipegang teguh olehmu,”
Tingkat keempat, ada Batu Gendong, simbol kekuatan. Banyak orang yang berpikir bahwa jika berhasil mengangkat Batu Gendong tersebut, maka doanya akan terkabul. “Itu pemahaman yang salah. Kenapa Batu Gendong tersebut ada di Teras IV? Artinya, silakan Anda melanjutkan perjalanan ke tingkat kelima atau tingkat yang tertinggi, asal mampu dulu mencapai tingkat-tingkat sebelumnya,” papar Nanang.
Makanya, di tingkat kelima itu ada singgasana raja. “Warga mempercayai itu singgasana Prabu Siliwangi,” kata Nanang. Fungsi utama di Teras V itu adalah tempat istirahat, tempat berhening, karena sudah berhasil melalui tingkatan satu sampai lima.
Nanang melanjutkan kisahnya. Mengenai orientasi situs Gunung Padang yang mengarah ke Gunung Gede, dengan makna spiritual yang dalam, Nanang menjelaskan, karena tempat itu adalah tempat peribadatan dan berkumpul manusia pada masa lalu, Gunung Gede itu mungkin semacam “kiblat” pada zaman dahulu. “Tapi kini, bagi umat muslim kiblatnya tetap Ka’abah,” lanjut Nanang.
Gunug Padang adalah kearifan mulia yang sudah seharusnya dipelihara, menjadi monumen abadi peradaban manusia Nusantara yang agung. Di tengah keheningan dan kemisteriusan Gunung Padang yang menanti dikuak, ada pelajaran hidup yang tak ternilai harganya dari bukit cahaya ini.
Jauh Lebih Tua dari Borobudur
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh tim geologi, umur Situs Gunung Padang diperkirakan sekitar 10.000 tahun Sebelum Masehi. Itu berdasarkan tes karbon dari tanah sampel hasil pengeboran di beberapa titik.
Mengenai usia situs tersebut, Ali mengakui tidak begitu sependapat dengan hasil penelitian tim geologi yang menyatakan bahwa usia situs tersebut sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi. Menurut Ali, jika mencari usia tanah, metode yang dilakukan geolog mengambil sampel tanah dengan cara mengebor di kedalaman tertentu itu sudah benar. Tapi jika mencari usia bangunannya, beda lagi. “Cara kerja arkeologi, temukan dulu bangunannya, baru ambil sampel tanahnya,” jelas Ali.
Arkeolog juga mempunyai metode lain dalam memperkirakan usia bangunan. Metode tersebut adalah dengan cara membandingkan konstruksi dan teknologi yang dipakai dalam membuat bangunan tersebut. “Jenis bangunan semacam itu biasanya berusia sekitar 2.500 tahun Sebelum Masehi, secara teknologi.”
Artinya, perlu dilakukan kajian terpadu lintas disiplin ilmu mengenai usia situs ini. Tapi jika boleh membandingkan umur, Candi Borobudur dibangun pada 800 Masehi, “Berarti Situs Gunung Padang ini dibangun ribuan tahun sebelum Candi Borobudur!” papar Ali.
Tempat Pemujaan, Bukan Pemakaman
Mengenai sebutan “piramida” untuk struktur bangunan yang terdapat di Gunung Padang, Ali Akbar S.S., M.Hum., arkeolog dari Universitas Indonesia yang ikut dalam tim pengungkap Gunung Padang, mempunyai pendapat sendiri. Menurutnya, sebutan piramida itu cuma istilah khas, yang mengacu ke Mesir. “Bentuk geometris piramida memang ada, tapi unsur-unsur seperti piramida di Mesir itu tidak ada,” kata arkeolog itu. Piramida Giza di Mesir itu dibangun di dataran, yang kemudian batu-batu disusun di atas dataran tersebut. Karena disusun secara sengaja, maka bisa dibangun ruangan di dalamnya.
“Kalau Gunung Padang ini bukit alami, kemudian ditumpuk batuan. Fungsinya adalah tempat pemujaan, maka biasanya enggak ditemukan adanya makam biasanya. Dan karena dia bukit alami dan ditaruh batuan, maka enggak ada ruangan,” Ali melanjutkan penjelasannya.
Ali memang sengaja menghindari penggunaan kata “piramida” untuk menyebut struktur yang baru saja ditemukan tersebut. “Karena memang bentuknya tidak menyerupai piramida. Dan juga bangunan ini konteksnya pemujaan, bukan pemakaman,” papar Ali. Seperti diketahui, Piramida di Mesir adalah tempat jasad Firaun disemayamkan.
Dia lebih memilih menyebutnya punden berundak, karena kebudayaan punden berundak-lah yang mencirikan Nusantara, bukan piramida. “Kebudayaan itu sesuatu yang khas, enggak perlu berkiblat dengan kebudayaan bangsa lain,” Ali menjelaskan. Mesopotamia itu bangunan kunonya berbentukzigurrat, melingkar ke atas. Colloseum di Italia itu berbentuk elips. Mesir, berbentuk piramida. Tembok Besar Cina berbentuk panjang. “Kalau Indonesia, ya, punden berundak!” kata Ali. Dia mencontohkan punden sejenis yaitu Situs Lebak Sibedug di Banten. Seharusnya, Indonesia percaya diri dengan kebudayaan punden berundak seperti itu.
Kalau ditilik dari bentuk konstruksi utuh dan unsur-unsur pembentuknya, rekonstruksi situs Gunung Padang ini ada kemiripan dengan Machu Picchu di Peru, yang dibangun pada 1.450 tahun Sebelum Masehi. “Usia Gunung Padang yang lebih tua dan ukuran bangunan yang lebih besar, seharusnya bangsa Indonesia lebih percaya diri lagi,” kata Ali.
Ali melanjutkan ceritanya mengenai situs ini, “Yang pasti, dulu, kalau ngomongin punden itu kesannya bangunan sederhana.Nyaribukit, kemudian batu disusun. Tapi dengan adanya situs ini, dengan kanan kirinya ada konstruksi, yang bikin bukan masyarakat sembarangan, tapi masyarakat yang sudah rapi, kenal teknologi.”
Air Cikahuripan Bikin Awet Muda?
Abah Ruskawan, budayawan Cianjur dan Ketua Paguyuban Pasundan Cianjur, menceritakan wilayah Gunung Padang termasuk tempat yang dikeramatkan. “Biasanya ada indikator adanya sumur,” kata Abah. Menurut Abah, di Gunung Padang dulu ada dua sumur. Yang di atas saat ini kering, tinggal yang di bawah, dekat tangga naik. Sumur tersebut dinamakan Sumur Cikahuripan.
Sumur tersebut dipercaya bisa membuat suara bagus, awet muda, dan dekat dengan jodoh jika diminum. Abah Ruskawan punya penjelasan ilmiahnya, Dia pernah membawa sampel air dari sumur itu ke Laboratorium Teknik Pangan Universitas Padjadjaran.
Dari hasil penelitian, air Sumur Cikahuripan mengandung asam laureate, Fe (besi), dan mangan dengan kandungan standar untuk dikonsumsi manusia. “Jika diminum, metabolisme tubuh makin lancar. Kalau metabolisme lancar, kotoran dalam tubuh keluar, termasuk kotoran di tenggorokan,” terang Abah. Kalau metabolisme lancar, tubuh sehat, suara bagus, Abah melanjutkan, tentu auranya keluar, sehingga terlihat segar. “Makanya terlihat awet muda, bahkan bisa dapet jodoh juga,” Abah menjelaskan.
Saat ini, air dari Sumur Cikahuripan dimanfaatkan warga sekitar untuk kebutuhan rumah tangga. Air dialirkan dengan selang-selang ke beberapa rumah di sekitar kaki bukit Gunung Padang.
Ukurannya Dahsyat!
Geolog menggunakan metode citra satelit, georadar, geoelektrik, pengeboran, dan analisis karbon. Hasil sementara, usia Situs Gunung Padang adalah sekitar 10.000 tahun Sebelum Masehi. Juga ditemukan struktur buatan manusia di kedalaman tanah di bukit tersebut.
Tim arkeologi menggunakan metode ekskavasi dalam penelitiannya. Tim arkeologi yang memulai penelitian dari 15 Mei sampai 30 Juni lalu menggali tanah sedikit demi sedikit. Saat penggalian di Teras IV, ditemukan pecahan gerabah kecil. Kecil, memang, namun itu penting karena dia ditemukan di situs tersebut. “Kalau penduduk bilang, ‘di bawah banyak’. Iya, tapi di bawah sudah bercampur dengan masyarakat zaman sekarang,” kata Ali Akbar S.S., M.Hum., arkeolog dari Universitas Indonesia, yang mengomandoi tim arkeolog. Pecahan gerabah itu masih dalam proses analisis laboratorium.
Penemuan yang paling besar adalah ketika tim arkeologi menyusuri lereng bukit Gunung Padang dan membuka semak-semak lebat yang ada di sana. Mereka menemukan struktur batuan yang tersebar di sekeliling bukit. Konstruksi struktur tersebut membentuk undak-undakan. Tiap undakannya setinggi 1,5 meter. Bagian vertikal disusun dari batuan kolom, kemudian bagian horisontalnya adalah tanah. “Dari ukuran dan strukturnya, konstruksi tersebut bukan untuk tangga orang naik bukit. Itu adalah konstruksi mencegah longsor,” Ali menjelaskan.
Setelah tim melakukan survei ke sekeliling bukit, ternyata struktur semacam itu ditemukan hampir di semua tempat. “Sampai saat ini, kami sudah membuka sekitar 20 undakan yang tertutup semak di sisi sebelah timur bukit,” papar Ali. Dia pun bisa menyimpulkan bahwa seluruh sisi bukit itu adalah struktur punden berundak yang terintegrasi dengan tangga naik dan lima teras di puncaknya.
Yang luar biasa adalah ukurannya. Ali menjelaskan, luas wilayah punden berundak yang sudah terlihat di puncak bukit itu saja sudah menjadi punden berundak terbesar se-Asia Tenggara. “Jadi kalau struktur sampingnya bisa direkonstruksi, ukurannya sudah enggak ada lawan,” kata Ali bersemangat.
Luas areal situs di puncak bukit Gunung Padang tersebut sekitar empat hektare, sedangkan luas kompleks “bangunan” batunya sekitar 900 m2. “Dengan ditemukannya struktur di sisi samping bukit ini, luasnya mencapai 25 hektare,” kata Ali. Bandingkan dengan luas bangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, yang “hanya” 1,5 hektare. Wow!
Warga Harus Dilibatkan
“Kalau menanam padi gagal, tahun depan menanam lagi. Tapi kalo penanganan situs gagal, siapa yang bertanggung jawab?” begitulah pemikiran sederhana Abah Ruskawan, budayawan dan Ketua Payuban Pasundan Cianjur, yang sempat menolak keras proses penelitian di Gunung Padang Cianjur.
Pemikiran tersebut beralasan. Menurut dia, yang namanya budaya kalau digabung sama pariwisata, pasti pariwisatanya yang cenderung menonjol. “Hal itu dibuktikan, pagar yang dahulu ada sekarang dicabut,” kata Abah. Selain itu, pembuatan menara pandang di area Teras V yang menurut Abah termasuk zona inti situs juga “merusak” areal situs.
Tim peneliti bersama Staf Khusus Kepresidenan, Andi Arif, kemudian melakukan silaturahmi ke Abah Ruskawan. Saat pertemuan itu, Abah meminta beberapa syarat. Abah meminta penelitian dilakukan secara berurutan. “Tentukan dulu zona inti sampai mana, luasnya berapa, lalu zona penyangganya berapa. Baru dilakukan ekskavasi, kemudian restorasi, termasuk penataan,” kata Abah.
Yang kedua, Abah menanyakan apa manfaat Gunung Padang buat masyarakat sekitar. “Jangan sampai mereka terusir, bukan jadi pelaku malah hanya jadi penonton,” tegasnya. Menurut Abah, saat itu Andi Arif mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan memakmurkan warga di sekitar Gunung Padang. “Infrastruktur akan dikembangkan, termasuk pemberdayaan masyarakat sekitar."
Maka itu, penelitian kali ini sudah mendapatkan persetujuan dari masyarakat, walaupun masih ada kecurigaan bahwa janji-janji itu tidak benar dipenuhi. Namun, Pak Asep Sudrajat, Juru Kunci Gunung Padang, sepakat jika Gunung Padang terus diteliti sampai tuntas, sehingga cerita mengenai asal-usul Gunung Padang bisa jelas. “Selama ini simpang-siur,macem-macem-lah, hasil penelitian,” kata Pak Asep. Selain itu, semakin terang Si Gunung Padang, tentu masyarakat juga terkena imbasnya. “Sekarang aja sudah banyak warung di kaki bukit,” kata Pak Asep dengan logat Sundanya.
"Kembarannya" di Cilacap?
Di saat ramai pemberitaan mengenai penemuan struktur baru di Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur, Jawa Barat, sempat muncul kabar bahwa di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, ada juga struktur batuan yang mirip dengan batuan yang ada di Gunung Padang Cianjur. Struktur batuan di Majenang berbentuk kolom memanjang, menyeruak dari balik punggung bukit. Alhasil, bukit yang bernama asli Gunung Cendana, tempat bebatuan memanjang yang dinamakan Situs Batu Pabahanan itu, juga disebut “Gunung Padang” Cilacap.
Apa benar di Cilacap ditemukan kembaran Gunung Padang? Mochammad Aziz, ST., MT., geolog dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto bersama tim kemudian melakukan kajian geologi singkat di sekitar daerah “Gunung Padang” tersebut.
Batuan tersebut terletak di ketinggian sekitar 600 mdpl, berada di punggung bukit bagian tenggara Gunung Cendana. Wilayah singkapan batuan itu hanya kecil, sekitar 15 m x 7 m.
Menurut Aziz, batuan itu terbentuk secara alami, yaitu batuan andesit yang berupa retas/korok berbentukcolumnar joint. “Sama seperti yang ada di Gunung Padang Cianjur,” kata Aziz. Struktur kolom berbentuk blok-blok segi lima, enam, tujuh, maupun persegi delapan. “Sebagian besar berbentuk blok kolom persegi enam dan delapan,” terang Aziz.
Masalahnya, apakah ada campur tangan manusia di susunan batu tersebut? Aziz menjelaskan, itu adalah fenomena geologi biasa. Tidak ada campur tangan manusia di sana. Kalau terlihat ada susunan batuan, itu adalah bentuk batuan kolom membeku kemudian mengkerut, akhirnya terjadi patahan. “Apalagi, ketika saya tanyakan ke juru kunci, Pak Suganda, ternyata tidak ada batuan semacam itu di titik lain,” terang Aziz.
Mengenai posisi kolom yang rebah horizontal, dengan orientasi timur laut-barat daya, itu karena ada patahan. “Biasanya memang batuan andesit semacam ini muncul secara vertikal. Yang ini sudah terjadi deformasi, sehingga mencuatnya horizontal. Indikasi kuatnya, batuan tersebut muncul ke permukaan karena adanya patahan,” kata Aziz. Aziz memperkirakan umur batuan tersebut 5-10 juta tahun yang lalu.
Lebar singkapannya itu sekitar 7 m, dengan tinggi 15 meter. Bentuknya utuh, dan tidak ada semacam kuncian-kuncian antarbatu. Ada bentukan yang mirip kuncian. Tapi setelah diamati, itu memang pola retakan alami.
Di Purwokerto-Purbalingga, banyak ditemui fenomena alam macam ini. Lapangan Geologi Karangsambung, misalnya.”Yang fantastis lagi, itu deket Pelabuhan Ratu. Di belakang Hotel Queen’s Port. Ada bentukan tiang-tiang besar batuan andesit,” kata Aziz.
(J.B. Satrio Nugroho)