Advertorial

Uang Tip Lahir Karena Keinginan Untuk Pamer, Sekarang Bagaimana Aturannya?

Yoyok Prima Maulana

Editor

Di AS sendiri, pemberian uang tip awalnya untuk menunjukkan budaya aristokrat. Semacam aksi pamer atau untuk membuktikan pendidikan atau kelas mereka yang tinggi.
Di AS sendiri, pemberian uang tip awalnya untuk menunjukkan budaya aristokrat. Semacam aksi pamer atau untuk membuktikan pendidikan atau kelas mereka yang tinggi.

Intisari-online.com - Ya, kita mungkin sering bingung. Sebenarnya, bagaimanakah aturan pemberian tip? Atau, berapakah jumlah yang pantas ketika kita harus memberikannya?

Misalnya pada saat makan di restoran atau saat memakai jasa seorang sopir mobil sewaan. Dalam ilmu keuangan, pos untuk uang tip sebenarnya tidak ada dan tidak perlu dimasukkan kedalam anggaran rutin kita.

Tejasari Asad, financial planner dan Direktur Tatadana Consulting mengatakan, tip sebenarnya juga terbagi menjadi dua. Ada yang sudah dicantumkan dalam penambahan service charge , tapi ada yang belum.

Jika dalam tagihan belum tercantum service charge, maka selanjutnya terserah kita, mau memberi atau tidak. Begitu pula dengan jumlahnya.

BACA JUGA:Dulu Berat Badannya 300 kg Sekarang 150 kg, Perjuangan Wanita Ini Sungguh Mencengangkan

“Dari sisi keuangan harusnya itu tidak menganggu, misal anggaran makan kita sebesar Rp100.000 kemudian kita makan Rp95.000. Sisa sebesar Rp5.000 bisa kita berikan sebagai uang tip,” tutur Tejasari.

Bagi sebagian orang yang menginginkan pencatatan rinci setiap pengeluaran , uang tip mungkin saja menjadi masalah. Tejasari mengatakan, boleh-boleh saja kita mencatatnya terpisah, asalkan tidak merepotkan.

Uang tip bisa dicatat dengan cara digabungkan bersama uang makan yang dianggarkan sebagai biaya makan.

AWALNYA PAMER

Tejasari berpendapat, etika memberi tip sebenarnya diserahkan kepada diri kita masing-masing. Tidak memberi tip mungkin akan membuat keuangan kita lebih hemat.

Beberapa perusahaan jasa pelayanan konsumen juga secara tegas melarang pegawainya menerima tip, agar tidak ada pembedaan dalam pelayanan.

Di Jepang, di mana masyarakatnya percaya bahwa pelayanan terbaik adalah sebuah standar, mereka akan menolak untuk diberi uang tip. Tapi ini juga tidak mutlak.

Beberapa staf yang bekerja dalam industri pariwisata, bersedia menerimanya asalkan kita memberinya menggunakan amplop.

BACA JUGA:Hati-hati Tertipu Karat Emas!

Kalau memang Anda memiliki uang lebih, tidak ada salahnya memberikan tip. Hanya saja, sebaiknya tetap mengikuti aturan dan kebudayaan setempat, serta kondisi keuangan Anda sendiri. Toh, kalau memang mepet kita juga tidak perlu memaksakan diri untuk memberi uang tip.

Kalau menurut sejarah, memberikan tip terkait dengan kebudayaan Eropa seperti di Inggris abad ke-17 saat para pelanggan memberikan uang lebih kepada pelayan.

Kata “tip” sendiri berasal dari kalimat to insure promptitude yang berarti “untuk memastikan kesiagaan bertindak”. Kebiasaan ini akhirnya ditiru di Amerika Serikat (AS) pada akhir tahun 1800-an setelah Perang Sipil.

Di AS sendiri, pemberian uang tip awalnya untuk menunjukkan budaya aristokrat. “Semacam aksi pamer atau untuk membuktikan pendidikan atau kelas mereka yang tinggi,” tutur Michael Lynn, profesor perilaku konsumen dan pemasaran di Universitas Cornell.

Di era modern sekarang ini, wajar jika konsumen memberi tip. Mereka memberikan uang lebih sebagai penghargaan atas jasa baik yang telah mereka dapatkan.

Meski sudah lazim, tetap saja ada pengecualian. Contohnya, di beberapa restoran di AS. Seperti Danny Meyer selaku CEO Union Square Hospitality Grup di New York yang menghilangkan pemberian tip di semua restorannya.

Danny melarang pemberian tip, karena ia sudah memberlakukan biaya tambahan bernama “Hospitality Included” atau semacam service charge. Biaya itulah yang dianggap sebagai tip.

BACA JUGA:Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur

Artikel Terkait