Advertorial
Intisari-Online.com -Andre Graff (kini 56 tahun) datang ke Pulau Sumba sebagai turis, sekitar delapan tahun lalu.
Tapi tanah yang gersang dan kesederhanaan kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur itu membukakan mata batinnya untuk berbuat sesuatu.
Ia mulai mencari cara untuk mencari sumber air dari tanah dan menggalinya.
Tak langsung jadi, tapi belakangan berhasil.
(Baca juga: Meski Miskin dan Sering Dilanda Kekeringan Hebat, Ternyata Ethiopia Bisa Bikin Kendaraan Tempur Sendiri)
(Baca juga: Gadis 8 Tahun Sumbangkan Celengan Miliknya untuk Membantu Petani yang Kekeringan di India)
Masyarakat pun tak perlu lagi berjalan berkilo-kilometer ke rawa yang airnya tinggal sedikit, keruh pula, untuk mengambil air untuk dibawa pulang.
Pertama kali datang ke Sumba sekadar mampir karena ia ikiut kapal pesiar dari Bali.
Kemudian, pada 2004 ia menghabiskan waktu lebih lama. Ia berjalan menyusuri pulau yang sebagian tanahnya tandus itu, menemui orang, mengambil foto.
Ketika pulang ke Prancis dan kembali ke rutinitasnya sebagai penerbang balon udara panas (hot air balloon) dan punya usaha wisata, Andre pun mencetak foto-foto hasil perjalanannya ke Sumba.
Ribuan foto dia punya, sebagian besar berisi wajah orang. Ia memang berjanji sepulang ke negerinya akan mencetak foto-foto itu dan mengirimkan kepada para "model" fotonya.
Tapi ia sadar, foto-foto itu tak akan sampai ke alamat kalau dikirim melalui pos.
Sebab banyak daerah yang dia datangi begitu terpencil, tidak tersentuh pembangunan, tak ada jalan, apalagi memiliki alamat.
Tapi janji tetap janji. Akhirnya pada 2005 Andre kembali ke Sumba dan berkeliling pulau lagi buat menyerahkan foto-foto yang ia rasa sebagai utangnya.
(Baca juga: Cegah Banjir dan Kekeringan dengan Biopori)
(Baca juga: Dilanda Kekeringan, Warga Desa di India Selatan Mengarak Pemuda Bugil untuk Menyenangkan Dewa Hujan)
Ternyata ia begitu terkesan pada alam, masyarakat, dan kebudayaan Sumba yang tetap mereka pegang.
Di sisi lain perasaan ibanya muncul karena alam yang tidak mendukung menyebabkan rakyat menderita. Ia terpanggil untuk berbuat sesuatu.
Andre Graff terkesan akan keramahan masyarakat Sumba. Mereka tak pernah kehilangan senyum walau hidup menderita di tanah gersang.
Ia membandingkan mereka dengan masyarakat di perkotaan atau di negara-negara semaju Eropa.
Masyarakatnya sibuk, sebagian besar tak punya waktu, bahkan tak punya senyum.
"Di Sumba saya menemukan orang-orang yang punya banyak waktu dan punya senyum. Saya hidup bersama mereka, menurut cara mereka, benar-benar menggantungkan nasib pada alam," kata pria lajang 56 tahun ini.
Ia lantas terpanggil untuk mengabdi. Sadar bahwa hal paling mendasar dari penderitaan hidup masyarakat Sumba adalah kurangnya air, ia pun mulai berikhtiar mencari sumber air.
Begitu ketemu, ia meminta bantuan orang-orang ramah untuk menggali dengan peralatan seadanya.
(Baca juga: Tahun 2016 Indonesia Akan Alami Kekeringan Hebat?)
(Baca juga: Peradaban-peradaban Ini Runtuh karena Kekeringan)
Tidak langsung berhasil, memang. Benar-benar trial and error.
Tapi begitu sumber air ketemu dan air memancar, kebahagiaan bagai tak terperi.
Maka Andre pun melanjutkan kiprahnya dengan menggali dan terus menggali sumur di seantero Pulau Sumba.
Sumur dalam bentuk yang sederhana memerlukan biaya sekitar Rp10 juta.
Mula-mula biaya keluar dari kantong Andre sendiri, dari tabungan dan hasil persewaan rumahnya di Prancis.
Tapi lama-lama, sumur harus makin besar dan harus dipompa dengan mesin dan ditampung.
Biayanya bisa puluhan, bahkan ratusan juta.
Malah untuk jenis yang bagus, dengan pompa berkualitas buatan Jerman yang digerakkan dengan tenaga Matahari, membangun rumah beratap untuk menyimpan bak penampungan, dan jalur distribusi melalui pipa-pipanya, biayanya bisa mencapai Rp700 juta.
Andre pun mengontak dan mendatangi para donatur, juga meminta bantuan peralatan dari perusahaan jasa air minum di Jakarta.
"Sampai sekarang sudah terbangun 29 sumur di seuruh Sumba," kata Andre.
Berkali-kali Nyaris Mati
Menetap di Sumba dalam pola dan cara hidup seperti orang setempat makin membuat Andre Graff seperti orang sana.
"Yang membedakan adalah saya punya kamera foto dan video, punya laptop untuk mengakses internet kalau sinyal lagi bagus. Selebihnya, saya makan dan hidup seperti orang sini," kata Andre dari rumah biiknya di Waru Wora, Lamboya, Sumba.
Ia makan dari hasil bumi setempat, bahkan rokok pun dari tembakau yang dia tanam sendiri dan dilinting pakai kulit jagung kering.
Ia begitu total hidup secara orang Sumba, bahkan mengalami sakit seperti orang setempat.
Malaria, demam berdarah, dsb berkali-kali.
Bahkan ia pernah dirawat di sebuah rumah sakit di Bali, namun keluar sebelum dinyatakan sembuh karena berpikir, "Wah, dengan biaya segitu, saya bisa bikin satu sumur," katanya.
Tapi Oktober lalu Andre mulai berpikir tentang asuransi. Ia pulang ke negaranya, selain untuk mencari donasi bagi proyeknya membangun sumur-sumur air di Sumba, juga untuk mengurus asuransi.
"Supaya kalau saya sakit tidak terlalu terbebani biaya."
Ia menegaskan, semata-mata agar tidak terlalu terbebani biaya, bukan soal takut mati.
"Waktu masih jadi penerbang hot air balloonsaya sering terkena angin gunting sampai hampir celaka, Apalagi dalam cuaca buruk, malam hari pula. Banyak teman saya yang sudah mati."
Ingin Mati di Sumba
Meski telah membangun 29 sumur di seantero P. Sumba, Andre Graff belum merasa berhasil.
"Saya sekadar mengantarkan masyarakat menuju ke peradaban yang lebih baik. Tugas merekalah untuk terus menjaga kelangsungan sumur-sumur itu agar terus bisa memancarkan air," katanya dalam bahasa Indonesia diselingi bahasa Inggris dengan aksen Prancis.
Meski hampir delapan tahun bekerja tanpa pamrih, belum semua warga Sumba tersadarkan akan pentingnya karya Andre.
Ia kadang masih dianggap bule yang sekadar ingin mengeksploatasi alam dan mencari keuntungan, kadang dimintai uang, kadang pula dicurangi misalnya dalam soal sewa kendaraan untuk mengangkut peralatan pembangunan sumur.
"Ya, masih ada orang-orang yang belum sadar, malah menggali kuburnya sendiri. Air bersih kan untuk mereka sendiri? Untuk masa depan anak-anak mereka?" sambung pria 56 tahun kelahiran Prancis ini.
Tapi itu semua tak mengurangi kecintaannya kepada Sumba. Andre telah menganggap kawasan yang sebagian masyarakatnya masih hidup dalam tradisi Marapu, kepercaraan warisan nenek moyang, itu sebagai tanah air keduanya.
"Saya sudah minta ke Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, nanti kalau saya mati, jangan bawa mayat saya pulang. Mayat saya tidak ada gunanya. Saya ingin dikubur di Sumba, karena yang penting adalah apa yang sudah saya perbuat untuk Sumba.
(Mayong Suryolaksono)