Advertorial

Penelitian: Dipoligami, Perempuan akan Sering Menderita Emosi Negatif

Ade Sulaeman

Editor

Sebuah studi tentang perasaan perempuan yang dipoligami, mengungkap bahwa perempuan yang dipoligami sering menderita emosi negatif.
Sebuah studi tentang perasaan perempuan yang dipoligami, mengungkap bahwa perempuan yang dipoligami sering menderita emosi negatif.

Intisari-Online.com -Ketika berbicara mengenai poligami, isu yang berkembang bukan semata tentang hati yang terbagi.

Lebih kompleks dari itu, apa yang disebut keadilan meliputi sangat banyak sisi.

Sebuah studi yang dilakukan Dr. Rana Raddawi, professor di Departemen Bahasa Inggris American University of Sharjah tentang perasaan perempuan yang dipoligami, mengungkap bahwaperempuan yang dipoligami sering menderita emosi negatif.

Perasaan tersebut memang sudah bisa diprediksi.

Dan, perasaan perempuan-perempuan itulah yang seharusnya menjadi pijakan awal saat pria berencana menikah lagi.

Dari hasil surveinya, Dr. Raddawi juga menemukan bahwa banyak dari perempuan yang dipoligami ini merasa diabaikan dan cemburu.

Lebih lanjut, perasaan ini memancing emosi-emosi negatif berkembang dalam diri perempuan tersebut.

“Mengapa saya melakukan penelitian tentang poligami? Karena saya punya banyak kenalan dan anggota keluarga yang terlibat dalam poligami. Dan, banyak dari mereka menderita,” ungkapnya.

(Baca juga: Selain Mendapat Predikat Desa Terbersih, Penglipuran Juga Dikenal Sebagai Desa Antipoligami)

Ia pun mengaku, selama ini ia menyaksikan konsekuensi yang menyedihkan.

“Seorang perempuan tak punya tempat tinggal dan tak punya dukungan keuangan karena poligami.”

Maka, ia memfokuskan penelitiannya pada emosi-emosi negatif yang dialami perempuan-perempuan dalam pernikahan poligami.

Ia mengungkap, saat pria yang poligami memiliki kewajiban untuk memperlakukan setiap istri dengan keadilan, kewajaran, dan kesetaraan, buktinya banyak responden yang mengaku bahwa kondisi itu tak terjadi pada dirinya.

(Baca juga: Gara-gara Sering “Ditantang” Istri Untuk Berpoligami, Suami Akhirnya Benar-Benar Membuktikannya. Giliran Ada Prahara, Yang Salah Siapa?)

(Baca juga: Beginilah Jejak Poligami Zaman Purba 3,6 Juta Tahun Lalu)

Hak-hak itu banyak yang tak dilakukan. Dr Raddawi mencatat, sejumlah responden mengaku sering ditinggalkan dan jarang melihat suami mereka.

Banyak pula yang mengatakan bahwa suami tidak memenuhi kebutuhan mereka, baik berupa dukungan moral maupun finansial.

"Padahal sebelum memutuskan poligami, pria harus memastikan bahwa pria harus adil pada istri dan anak-anaknya dalam hal keuangan, dukungan moral, cinta, perhatian, perawatan, dan pendidikan."

Dr Heba Sharkas, konselor di Al Amal, Pusat Masalah Keluarga di Abu Dhabi, mengatakan seorang pria harus menikahi istri kedua hanya jika ia memiliki kemampuan untuk memberikan perawatan dan perhatian yang sama untuk masing-masing istri dan anak-anaknya.

“Saat seorang pria berkehendak memiliki beberapa istri, ia harus menjamin dirinya aman secara finansial dan emosional. Tanggung jawab adalah faktor yang paling penting.”

Dr Sharkas mengutarakan, ia sangat mengerti emosi perempuan ketika mengetahui suaminya hendak memperistri perempuan lain.

"Dalam beberapa kasus, perempuan yang dipoligami merasakan depresi, amukan amarah, histeris, bahkan ada pula yang berlanjut pada penyakit. Hal ini tergantung pada toleransi istri. Lingkungan di mana perempuan itu tumbuh juga mempengaruhi faktor penerimaannya atas poligami.”

Ia menegaskan, setiap pria harus mempertimbangkan hal ini saat ia berencana menikah lagi.

(Baca juga: Kematian Ketua DPRD Kolaka Utara di Tangan Istrinya Sendiri, Diawali oleh Rencana Poligami)

Suami juga harus menjelaskan apa tujuannya menikah lagi pada sang istri pertama.

(The Nationalviatabloidnova.com)

Artikel Terkait