Advertorial

Kebohongan Dwi Hartanto: Peringatan Agar Orangtua Tak Pernah Sekalipun Anggap Wajar saat Anak Membual

Ade Sulaeman

Editor

Terbongkarnya kebohongan Dwi Hartanto tidak hanya menyelamatkan banyak nyawa, jika dirinya diberi posisi di bidang kedirgantaraan, tapi juga menjadi peringatan untuk para orangtua.
Terbongkarnya kebohongan Dwi Hartanto tidak hanya menyelamatkan banyak nyawa, jika dirinya diberi posisi di bidang kedirgantaraan, tapi juga menjadi peringatan untuk para orangtua.

Intisari-Online.com – Terbongkarnya kebohongan Dwi Hartanto tidak hanya menyelamatkan banyak nyawa, jika dirinya diberi posisi di bidang kedirgantaraan, tapi juga menjadi peringatan untuk para orangtua.

Peringatan yang dimaksud terkait dengan kebiasaan membual pada anak, yang bisa terbawa hingga dewasa.

Membual pada dasarnya masih masuk dalam tindakan berbohong. Hanya saja, kebohongannya sangat berlebihan.

Menurut psikolog Agoes Dariyo, Psi., membual masih bisa dikatakan wajar bila dilakukan anak usia prasekolah.

Sebab, pada masa ini anak sedang mengembangkan kemampuan imajinasi dan kognisinya, selain sedang mengembangkan daya kreativitasnya.

Tetapi, membual jadi tak wajar kalau dilakukan anak usia sekolah, apalagi usia 8-10 tahun.

"Bila membual terjadi pada usia sekolah, maka orangtua perlu mengkritisi dan mencari pemecahan masalahnya agar jangan sampai jadi kebiasaan yang menetap dalam kepribadian anak."

Banyak faktor yang menyebabkan anak suka membual atau melebih-lebihkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan/fakta yang ada.

Di antaranya, karena dalam dirinya muncul perasaan tidak nyaman, kurang percaya diri atau memiliki kelemahan.

"Karena memiliki kelemahan, baik secara kepribadian, fisik atau intelektual, maka ia takut seandainya berbicara yang sesungguhnya, dirinya akan mendapat celaan dari anak atau orang lain," tutur staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, ini.

Nah, akibat rasa tak nyaman, anak pun berusaha mengembangkan daya pertahanan diri, yaitu dengan cara melebih-lebihkan cerita tentang pengalaman atau kejadian yang sebenarnya tidak benar.

Tujuannya tentu saja agar ia dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

"Sehingga diharapkan orang lain yang mendengar bualannya akan memiliki persepsi positif terhadap dirinya."

Jadi, memang membual baru dilakukan kalau dalam diri anak timbul ketakutan atau kecemasan, dirinya akan ditolak oleh orang lain atau lingkungan sosialnya.

Anak bisa ditolak

Sebetulnya, membual masih dikatakan wajar kalau hanya dilakukan sesekali atau dalam waktu sesaat untuk menghindari dirinya dicela.

Tetapi kalau hal tersebut dilakukan terus-menerus, bahkan telah menjadi kebiasaan, maka dampaknya jelas tidak baik untuk perkembangan diri anak.

Agoes menuturkan, bila membual jadi kebiasaan, anak pun akan mendapat cap atau label sebagai anak yang tidak bisa dipercaya oleh kelompok sosialnya.

"Anak akan mendapat penolakan, sehingga anak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya."

Kalaupun anak membual agar dirinya dapat diterima, penerimaan itu sendiri sebenarnya semu atau tidak dapat berlangsung lama.

"Kelompok sosial atau teman sebaya, akan menerima kehadiran anak yang berbohong tadi hanya dalam batas waktu tertentu. Kalau seandainya kelompok sosialnya tidak mengetahui kelemahannya, mungkin tak masalah. Tapi kalau ketahuan belangnya, anak pun tidak akan dipercaya lagi."

Anak yang ketahuan suka membual, tindak-tanduknya tidak pernah lagi diperhatikan atau digubris oleh anak-anak lain.

"Akibatnya kalau ia bicara, mengemukakan ide atau pendapat, tidak pernah ditanggapi oleh kelompok sosialnya. Anak menjadi terlantar dan terisolasi di dalam lingkungan sosialnya."

Berikan kesempatan bercerita

Mau tak mau orangtua harus segera meluruskannya bila anaknya sudah kadung suka membual.

Caranya dengan banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk bercerita.

"Pancing anak untuk mengemukakan pendapat atau bercerita dengan tuntas, apa yang dialami atau menjadi masalahnya." Orangtua pun harus bersikap sabar saat mendengarkan cerita anaknya.

Selain itu, orangtua juga perlu mengorek/bertanya kepada anak untuk menguji kebenaran jawaban dan pernyataan yang telah diberikan.

"Jadi, intinya orangtua mengklarifikasi dan mengkonfirmasi kembali kebenaran cerita anaknya."

Kalau seandainya anak tetap bersikeras dengan pendapat atau kebohongannya, orangtua perlu membuat si anak untuk berpikir lebih rasional.

Misal, "Kalau kamu berbohong kepada orangtua, berarti kamu membohongi diri sendiri."

Bila ternyata cara ini sulit dilakukan, misal si anak tak mau diajak berkomunikasi, tak ada salahnya orangtua mengembangkan otoritasnya sebagai orangtua untuk mendidik dan mengarahkan anak.

Misal, memarahi atau menghukum anaknya yang berbohong.

Mudah, ‘kan, Bu-Pak, cara mengatasinya?

Beban psikologis yang berat

Bagi anak kebohongan yang terus-menerus dilakukan juga dapat menjadi beban psikologis yang sangat berat.

Suatu ketika, kebohongan itu pun akan meledak dalam bentuk konflik batin.

"Konflik batin ini kalau tidak terselesaikan dengan baik, maka anak bisa mengalami gangguan emosi dan psikis." jelas Agoes.

Selain itu, tambah Agoes, anak juga bisa mengalami gangguan fisik, seperti pusing-pusing, sakit perut atau tiba-tiba merasa tegang.

Anak juga akan mengalami kesulitan berkonsentrasi, ada perasaan tidak tenang dari sisi emosi, dan ekspresi bicaranya pun meledak-ledak, tidak stabil, dan bisa marah-marah sendiri.

"Akibatnya, anak tidak bisa menjalin relasi sosial atau hubungan dengan anak lain."

Kemungkinan akan diulang

Agoes mengungkapkan, ketika anak membual dan ternyata berhasil atau orang lain tidak tahu kalau dirinya melakukan kebohongan, besar kemungkinan akan diulang kembali.

"Apalagi kalau kebohongan itu matah mendapat reward dari lingkungan sosial."

Juga jika kondisi yang dihadapi memungkinkan untuk melakukan kebohongan.

"Anak akan melakukan kebohongan lagi bila kondisi yang dihadapi hampir mirip, di mana kebohongan itu pernah berhasil dilakukannya."

Menerima kemampuan diri

Kehidupan keluarga sehari-hari atau pola asuh orangtua juga sangat berpengaruh terhadap kebiasaan membual pada anak.

Besar kemungkinan, sehari-harinya orangtua tidak pernah memberikan perasaan aman dalam diri anaknya.

Misal, orangtua selalu mengkritik, mencela, atau tidak pernah mau menerima apa yang dilakukan si anak.

Nah, karena sehari-hari tidak pernah "dianggap" oleh orangtuanya, maka ia pun membual.

"Jadi, perilaku membualnya berawal semata-mata bertujuan agar bisa diterima oleh orangtuanya," kata Agoes.

Selain pola asuh orangtua, faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi terbentuknya kebiasaan membual pada anak.

Misal, anak yang berasal dari status sosial ekonomi yang rendah, suka membual tentang kehidupan ekonomi keluarganya agar dapat diterima anak-anak dari lingkungan ekonomi yang lebih tinggi.

"Supaya bisa dipandang atau diterima oleh tingkungan sosial yang lebih tinggi, anak pun melebih-lebihkan segala hal yang ada dalam kehidupannya."

Yang jelas, pada prinsipnya sikap suka membual ini bisa terjadi baik pada anak leiaki maupun perempuan.

"Semua itu tergantung sejauh mana anak mendapatkan kasih sayang atau perhatian yang baik di lingkungan keluarga. Anak yang sejak kecil mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orangtua, kecil kemungkinan untuk jadi si pembual."

Namun, kalau sejak usia dini anak tidak pernah memperoleh pengasuhan dengan baik, atau tidak mampu memenuhi tuntutan dari orangtuanya yang terlalu tinggi, anak pun bisa tumbuh menjadi pembual.

"Anak membual karena ia berusaha melakukan rasionalisasi atau mekanisme pertahanan diri, di mana anak melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuan dirinya."

Namun kalau ia bisa menerima keadaan dirinya apa adanya, anak pun tak bakalan membual.

(Ditulis oleh Rodin Daulat G.T. Seperti pernah dimuat di Tabloid Nakita edisi Juli 2002)

Artikel Terkait