Advertorial

Senjata Ilegal: Belajar dari Equatorial Guinea, Negara yang Hampir Dikudeta oleh Pemasok Senjata

Ade Sulaeman

Editor

Pasokan senjata atau pembelian persenjataan dalam jumlah besar oleh suatu negara memang patut dicurigai seperti kasus di Equatorial Guinea.
Pasokan senjata atau pembelian persenjataan dalam jumlah besar oleh suatu negara memang patut dicurigai seperti kasus di Equatorial Guinea.

Intisari-Online.com - Pasokan senjata atau pembelian persenjataan dalam jumlah besar oleh suatu negara memang patut dicurigai seperti kasus di Equatorial Guinea.

Negara yang berada di kawasan Benua Afrika ini pernah diguncang kudeta oleh para tentara bayaran yang juga pedagang senjata.

Upaya kudeta di negara Republik Equatorial Guinea memang tak bisa dilepaskan dari seseorang yang berprofesi sebagai pengusaha sekaligus pemasok senjata dan juga tentara bayaran asal Inggris, Simon Mann.

Mantan anggota SAS dan veteran Perang Teluk I itu pada Maret 2004 sempat menggemparkan dunia ketika pemerintah Zimbabwe berhasil meringkus dirinya bersama 69 tentara bayaran lainnya.

Penangkapan Mann dan orang-orangnya berlangsung di bandara Harare saat pesawat B727 yang mengangkut mereka tengah memasukkan barang mencurigakan.

Pasukan Zimbabwe yang memeriksa pesawat terkejut karena mereka menemukan peralatan dan senjata tempur dalam jumlah besar.

Simon Mann dan anak buahnya pun diringkus. Mereka dicurigai sedang merencanakan kudeta terhadap negara yang digarap Simon Mann selama ini, Equatorial Guinea.

Equatorial Guinea sendiri merupakan negara kecil di Afrika Tengah bagian barat dan kerap menjadi tempat persinggahan para pereli padang pasir.

Kendati kecil, Guinea tanahnya cukup subur dan berhutan lebat. Penghasilan terbesar dari negara yang dipimpin oleh Presiden Teodoro Obiang Nguema ini adalah minyak bumi.

Sebanyak 10 persen kebutuhan cadangan minyak dunia bahkan diambil dari Guinea.

Presiden Nguema berhasil menduduki kursi presiden sebelumnya yang juga masih pamannya sendiri, yakni Francisco Macias Nguema.

Untuk menjaga keamanan terhadap aset-aset negaranya, Nguema antara lain mempercayakan kepada lembaga keamanan swasta yang dipimpin Simon Mann.

Kemampuan Mann untuk mengamankan aset Nguema tak diragukan lagi.

Apalagi Simon Mann merupakan pendiri lembaga keamanan Sandline Internasional dan Excecutive Outcomes serta telah memiliki reputasi internasional.

Namun ketika menyadari masa depan Guinea tampaknya akan diwariskan kepada putra Obiang Nguema yang dianggap kurang kooperatif, Mann dan komplotannya lalu merencanakan kudeta dengan cara menculik dan sekaligus membunuh Presiden Obiang Nguema.

Apalagi selama berkuasa Obiang cenderung memperkaya diri dan tak peduli pada rakyatnya yang masih menderita.

Simon Mann antara lain bekerjasama dengan tokoh yang nanti sudah disiapkan untuk mengganti Obiang Nguema, Severo Moto yang yakin kudeta akan sukses, saat itu (2004) sedang bersiap-siap di Madrid, Spanyol.

Puluhan tentara bayaran asal Portugis yang pernah dipimpin Mann menumpas gerilyawan di Angola juga telah diberangkatkan.

Dalam penerbangan secara rahasia mereka mampir di Zimbabwe untuk mengambil logistik.

Sedangkan untuk penyandang dana kudeta, Mann menggandeng Mark Thatcher, putera mantan PM Inggris Margareth Thatcher.

Mark selama ini dikenal sebagai investor di Guinea dan telah menjalin kerjasama dengan Mann. Khususnya untuk pengadaan dana serta transportasi logistik.

Namun kudeta yang dirancang Simon itu akhirnya gagal karena pemerintah Zimbabwe yang curiga lalu menahan pesawat yang ditumpangi Simon dan anak buahnya.

Mereka dikenai tuduhan telah melanggar aturan imigrasi, kepemilikan senjata ilegal dan menggunakan fasilitas Zimbabwe untuk melancakan kudeta terhadap Guinea.

Simon Mann berusaha berkelit bahwa pesawat yang disewanya akan terbang menuju kongo.

Tapi pemerintah Zimbabwe tak mau percaya, Simon Mann dan anak buahnya lalu ditahan dan diadili.

Mann sendiri harus mendekam di penjara Zimbabwe selama 7 tahun. Sedangkan Mark Thatcher berhasil diringkus di rumahnya, Cape Town, Afrika Selatan.

Terkait ulah Simon Mann di Equatoral Guenia, Indonesia sebenarnya juga pernah mengalami kejadian serupa.

Ketika pada tahun 1958 di Indonesia meletus pemberontakan PRRI/Permesta sejumlah tentara bayaran dan juga agen CIA terbukti turut terlibat dalam upaya pemasokan senjata.

Salah seorang tentara bayaran yang sekaligus agen CIA, Allan Pope bahkan tertangkap sehingga keterlibatan militer AS dan CIA dalam aksi pemberontakan PRRI/Permesta berhasil dibongkar.

Pemberontakan PRRI/Permesta sendiri berhasil ditumpas dan gagal menumbangkan pemerintah RI di bawah pimpinan Presiden Soekarno.

Artikel Terkait